Rabu, 09 Maret 2022

puasa fathul muin

BAB PUASA 

باب الصّوم

وهو لُغَةً: الإِمساكُ. وشرعاً: إمساكٌ عن مُفطِرٍ بِشُروطِهِ الآتيَة. وفُرِض في شعبان، في السَّنَةِ الثانية مِن الهِجرة. وهو مِنْ خَصائِصِنا، ومِنَ المعْلومِ مِنَ الدّين بالضَّرورةِ. (يجبُ صومُ) شهر (رمضان) إجماعاً، بكمالِ شَعْبان ثلاثين يوماً، أو رؤية عَدْلٍ واحد، وَلَوْ مَسْتوراً هِلالَه بعد الغُروبِ، إذا شَهِدَ بها عند القاضي، ولو مع إِطباقِ غَيمٍ، بلفظِ: أشهَدُ أني رأيتُ الهِلالَ، أو أنَّهُ هَلّ. ولا يكفي: قوله: أشهدُ أن غداً من رمضان. ولا يُقْبَلُ على شهادَتِه إلا بشهادة عدلين،

Menurut bahasa kata ini mempunyai arti “menahan”. Sedangkan menurut Syara’ adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat seperti akan diterangkan. Ibadah puasa turun perintah kefardluannya pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriyah. Puasa itu sendiri adalah termasuk diantara kekhususan ummat Islam, dan merupakan suatu ibadah yang telah maklum dalam agama secara pasti. Wajib mengerjakan puasa sebulan Ramadhan - sesuai kesepakatan ulama -, dengan telah sempurnannya tgl. 30 Sya’ban  atau dengan adanya seorang adil sekalipun tertutup sifat adilnya- yang melihat hilal (bulan sabit tanggal 1) setelah matahari terbenam, sekalipun dengan tertutup awan dilangit, bila ia mempersaksikannya dihadapan Qadli.Persaksian tersebut memakai lafadz “saya bersaksi bahwa sungguh saya telah melihat hilal” atau “saya bersaksi bahwa sungguh hilal telah tampak”. Belum cukup dengan “saya bersaksi sesungguhnya besok adalah bulan Ramadhan”. Persaksian tersebut tidak diterima kecuali disaksikan persaksiannya oleh dua orang adil lainnya. 

 وبِثُبوتِ رُؤيةِ هِلال رمضان عند القاضي بشهادةِ عَدْلٍ بين يدَيْهِ  كما مرّ  ومع قوله ثَبتَ عندي: يجبُ الصَّوْمُ على جميعِ أهلِ البلدِ المرئيّ فيه، وكالثبوتِ عندَ القاضي: الخبرُ المتواترُ برؤيته، ولو من كُفار، لإِفادته العلم الضروريّ، وظنّ دخوله بالأمارَةِ الظاهرةِ التي لا تتخلّفُ عادة:  كرؤيةِ القناديلِ المعلَّقةِ بالمنائِر  ويلزَمُ الفاسِقُ والعبدُ والأنثى: العمل برؤيةِ نفسِه، وكذا من اعتقدَ صِدْق نحوِ فاسقٍ ومراهِقٍ في أخبارِهِ برؤيةِ نفسهِ، أو ثبوتها في بلدٍ متحِد مطَلعُه:  سَواء أَوَّل رمضان وآخِره على الأصح  

Dan (wajib puasa) dengan adanya persaksian bahwa melihat hilal Ramadhan oleh seorang adil dihadapan Qadli lalu sang Qadli mengatakan “hilal telah tetap bagiku” maka tibalah kewajiban berpuasa atas segenap penduduk daerah yang hilal tampak disana. Seperti halnya kekuatan hukum ketetapan Qadli atas persaksian dihadapannya, yaitu adanya berita mutawatir bahwa hilal telah tampak, sekalipun datangnya dari orang kafir sebab hal tersebut telah memberikan pengetahuan yang pasti dan juga adanya perkiraan bahwa telah masuk bulan Ramadhan berdasarkan tanda-tanda yang jelas yang biasanya tidak keliru, misalnya dengan melihat lampu-lampu yang digantung diatas menara. Orang fasiq, budak dan orang wanita yang melihat sendiri adanya hilal Ramadhan,  wajib mengerjakan puasa. Demikian pula wajib berpuasa bagi orang yang meyakini benarnya pemberitaan dari orang fasiq dan murahiq (menjelang baligh) bahwa telah melihat hilal dengan mata kepala sendiri, atau bahwa hilal telah tampak dari daerah lain yang sama mathla’nya (sama tempat keluarnya matahari dan rembulan). Baik masuknya hilal awal Ramadhan ataupun akhir Ramadhan, demikian menurut pendapat yang lebih sahih. 

والمعتمدُ: أن له  بل عليه  اعتماد العلاماتِ بدخولِ شوّال، إذا حَصَل له اعتقادٌ جازِمٌ بصِدْقِها  كما أفتى به شيخانا: ابن زياد وحجر، كجَمْعٍ محققين  وإذا صاموا  ولو برؤيةِ عَدْل  أفطروا بعد ثلاثين، وإن لم يَروا الهلالَ ولم يكن غيمٌ، لكمالِ العِدّة بحُجّةٍ شرعيّة. ولو صام بقولِ من يثِق، ثم لم يُرَ الهلالُ بعد ثلاثين معَ الصّحْو: لم يَجُزْ له الفَطرُ، ولو رجَعَ الشاهدُ بعد شروعِهِم في الصّوم: لم يجز لهم الفطر.

Menurut pendapat yang Mu’tamad, bahwa baginya bahkan wajib baginya mempedomani tanda-tanda masuknya bulan Syawwal, jika memang menyakini benarnya tanda-tanda tersebut, demikian menurut fatwa guru kita Ibnu Ziyad dan Ibnu Hajar sebagaimana pula pendapat segolongan ulama’ Muhaqqiqin. Apabila orang-orang telah melakukan puasa sekalipun berdasarkan ru’yah seorang lelaki adil, maka mulai habis puasanya setelah 30 hari berpuasa, sekalipun mereka tidak melihat hilal tanggal 1 Syawwal serta tiada awan dilangit, karena telah sempurna hitungan satu bulan berdasarkan hujjah syari’iyyah. Apabila seseorang berpuasa Ramadhan berdasarkan ucapan orang kepercayaan, kemudian setelah 30 hari ternyata tidak terlihat hilal sedang cuaca bersih, maka tidak boleh mulai berbuka dari puasa. Apabila saksi ru’yah mencabut persaksiannya setelah orang mulai berpuasa, maka tidak diperbolehkan membatalkan puasanya.

 وإذا ثَبتَ رؤيتُه ببلدٍ، لزِمَ حُكمُهُ البلدَ القريبَ  دونَ البعيدِ  ويثبت البعدُ باختلافِ المطالِعِ  على الأصح  والمرادُ باختلافِها: أن يتباعَدَ المحلان  بحيثُ لو رُؤي في أحدهما: لم يُرَ في الآخَرِ غالباً، قاله في الأنوار. وقال التاج التبريزي  وأقرّه غيره : لا يمكنُ اختلافُها في أقلّ من أربعة وعشرين فَرْسخاً. ونَبَّه السّبكيّ  وتبعه غيره : على أنه يلزم مِن الرؤيةِ في البلدِ الغربي من غير عَكْسٍ، إذ الليلُ يدْخلُ في البلادِ الشرقيّة قبل. وقضية كلامِهِم أنه متى رُؤيَ في شرقي: لزمَ كل غربيّ  بالنسبة إليه  العملُ بتلكَ الرؤية، وإن اختلفَتِ المطَالِعُ.

Apabila ru’yah telah terjadi pada suatu daerah, maka akibat hukumnya berlaku pula untuk daerah lain yang berdekatan, bukan yang berjauhan. Anggapan jauh ditetapkan berdasarkan adanya perbedaan mathali’ demikian menurut pendapat yang asah. Yang dimaksud perbedaan mathali’ ialah adanya dua daerah itu berjauhan, yang sekira hilal dapat dilihat dari daerah yang tunggal, tetapi biasanya dari daerah yang satunya lagi tidak dapat, demikian dikatakan dalam Al-Anwar. Dalam hal ini At-Tajut Tabriziy berkata yang diakui oleh Ulama lain, bahwa tidak mungkin terjadi perbedaan mathali’ dalam jarak yang kurang dari 24 farsakh. As-Subkiy memperingatkan dan diikuti oleh Ulama lain, bahwa sesungguhnya dengan adanya ru’yah didaerah timur berarti pula ru’yah telah terjadi didaerah barat, bukan sebaliknya. Sebab waktu malam datang di daerah timur sebelum ke daerah barat. Sesuai dengan pembicaraan para Ulama adalah bilamana ru’yah telah terjadi di daerah timur, maka seluruh daerah di sebelah baratnya terkena kewajiban melakukan sesuatu dalam kaitannya dengan ru’yah tersebut, sekalipun berlainan mathali’nya.

وإنما يجِبُ صَوْمُ رَمَضانَ (على) كل مُكلِّفٍ  أي بالغ  عاقِلٍ، (مُطيقٍ له) أي للصوم حِسّاً، وشَرعاً، فلا يجبُ على صَبيّ، ومجنونٍ، ولا على من لا يُطيقُه  لِكَبِرٍ، أو مَرَضٍ لا يُرْجى بَرْؤه، ويلزمهُ مِدّ لكل يوم: ولا على حائِض، ونفساءَ، لأنهما لا تُطيقانِ شَرْعاً.

Berpuasa hanya diwajibankan kepada setiap orang mukallaf yaitu orang yang baligh berakal sehat yang mampu melakukannya, baik mampu secara kasat mata maupun secara hukum. Maka puasa tidak wajib bagi anak kecil dan orang gila, juga orang yang tidak kuat berpuasa karena telah lanjut usia atau sakit yang tidak bisa diharap sembuh kembali dan orang yang tak kuat ini terkena kewajiban membayar fidyah 1 mud perhari puasa. Juga tidak wajib atas orang yang sedang mengalami haidh atau nifas, karena secara syara’ dianggap sebagai tidak kuat berpuasa. 

(وفرْضُه) أي الصّوم (نيّةٌ) بالقلبِ، ولا يُشترَطُ التلفظ بها، بل يُندب، ولا يجزىءُ عنها التسَحّرُ  وإن قُصِدَ به التّقوِّي على الصّوم  ولا الامتناعُ مِن تناولِ مُفْطِرٍ، خوفَ الفَجرِ، ما لم يَخْطُر ببالهِ الصومُ بالصفات التي يجبُ التعرّضُ له في النية (لكل يوم): فلو نَوَى أوَّل ليلةِ رمضان صَوْمَ جميعِهِ: لم يكفِ لغيرِ اليومِ الأوَّل. قال شيخنا: لكن ينبغي ذلك، ليحصل له صَوْمُ اليومِ الذي نسي النية فيه عند مالك كما تُسَنّ له أوَّل اليومِ الذي نَسِيَها فيه، ليَحْصَلُ له صَوْمُه عند أبي حنيفة. وواضِح أن محلّه: إن قلَّد، وإلا كان مُتَلَبساً بعبادَةٍ فاسدةٍ في اعتقادِهِ 

Fardlu puasa adalah niat di dalam hati, mengucapkannya tidak menjadi syarat tapi sunah dilakukan. Makan sahur belum cukup dianggap sebagai niat puasa, sekalipun dimaksudkan guna menghimpun kekuatan berpuasa, demikian pula perbuatan menahan diri dari mengambil sesuatuyang bisa membatalkan puasa karena khawatir jangan-jangan telah datang fajar, selama tidak tergores didalam hatinya melakukan puasa dengan sifat-sifatnya wajib yang harus dinyatakan dalam niat berpuasa. Niat puasa itu dilakukan setiap hari puasa.Apabila pada malam pertama orang berniat puasa seluruh bulan Ramadhan, maka belum mencukupi untuk selain hari pertama. Guru kita berkata : tapi hal itu sebaiknya saja dilakukan, agar pada hari dimana ia lupa niat dimalamnya, tetaplah berhasil puasanya, menurut imam Malik. Sebagaimana disunahkan niat di pagi hari bagi orang yang terlupakan niat dimalamnya agar tetap berhasil puasanya, menurut Abu Hanifah. Dan jelas, keberhasilan puasa disini adalah bagi orang yang taqlid (mengikuti pendapat kepada Malik, abu Hanifah). Kalau tidak, maka berarti ia melakukan ibadah yang rusak menurut keyakinannya sendiri.

(وشُرِطَ لفرضِهِ) أي الصوم  ولو نَذْراً، أو كَفارة، أو صَوْمَ استسقاءٍ أمَرَ بهِ الإِمامُ  (تَبييتُ) أي إيقاع النيّة ليلاً: أي فيما غروبِ الشمسِ وطلوعِ الفجرِ، ولو في صوم المميِّزِ. قال شيخنا: ولو شكّ  هل وقعَتْ نيّتُه قبل الفجرِ أو بعدَه؟ لم تصحّ، لأن الأصل عدم وقوعِها ليلاً، إذ الأصلُ في كل حادث تقديرُه بأقربِ زمنٍ  بخلافِ ما لو نَوَى ثم شكّ: هل طَلَعَ الفجرُ أو لا؟ لأنّ الأصلَ عدمُ طلوعِهِ، للأصلِ المذكورِ أيضاً. انتهى. ولا يُبطلها نحو أكلٍ وجماعٍ بعدها وقبل الفجرِ. نعم، لو قطعها قبله، احتاجَ لتجديدها قطعاً.

Untuk puasa fardlu sekalipun puasa nadzar atau kafarah atau istisqa’ yang diperintahkan oleh Imam disyaratkan Menginapkan niat , yaitu meletakkan niat di malam hari antara matahari terbenam hingga terbit fajar, sekalipun itu adalah puasa anak mumayyiz. Guru kita berkata : Kalau seseorang merasa ragu apakah niatnya terletak sebelum fajar terbit atau sesudahnya, maka tidak sah, sebab hukum asalnya tidak terjadinya niat dimalam hari, karena hukum asal segala hal adalah dengan diperkirakan pada masa terdekat. Lain halnya apabila orang niat puasa, lalu merasa ragu-ragu apakah fajar telah terbit atau belum, karena dasar asalnya fajar itu belum terbit, sebab hukum asal seperti diatas - habis -. Semacam makan dan persetubuhan yang dilakukan setelah berniat tetapi belum terbit fajar adalah tidak membatalkan niat. Memang benar tidak membatalkan namun jika memutus niat puasa sebelum terbit fajar, maka pasti perlu diperbaiki kembali.

 (وتعيينٌ) لمنوِيّ في الفَرْضِ كرمضان، أو نذر أو كفارة  بأن ينوي كل ليلَةٍ أنه صائمٌ غداً عن رمضان، أو النذر، أو الكفارة  وإن لم يعيِّن سَبَبَها. فلو نَوَى الصوم عن فرضِهِ، أو فرضِ وقتِهِ: لم يَكْفِ. نعم، مَنْ عليه قضاءُ رمضانين، أو نذرٌ، أو كفارَ مِن جهات مختلِفة: لم يشترَط التعيينُ لاتحادِ الجُنِسِ.

Dalam niat disyaratkan pula ta’yin (menentukan) puasa fardlu mana yang diniatkan, miasalnya Ramadhan atau nadzar atau kaffarah dengan cara setiap malam berniat bahwa besok akan melakukan puasa Ramadhan atau nadzar atau kaffarah sekalipun tidak menentukan sebab kewajiban kaffarahnya. Maka belumlah mencukupi puasa saja atau kefardluan waktu dimana puasa dikerjakan. Memang, bagi orang yang melakukan kewajiban qadla’ puasa ramadhan dua kali, nadzar atau kaffarah dariberbagai sebab, maka tidak disyaratkan ta’yin, karena kewajiban-kewajiban disini tunggal jenis. 


 واحتُرِزَ باشتراطِ التّبييتِ في الفرض عن النَّفْلِ، فتصح فيه  ولو مُوءَقّتاً  النيةُ قبلَ الزَّوال: للخبرِ الصحيحِ، وبالتعيينِ فيه النفل أيضاً، فيصح  ولو مؤقتاً  بنية مطلقة  كما اعتمده غير واحد. نعم، بحث في المجموعِ اشتراطُ التعيين في الرواتبِ كعَرَفَة وما معها فلا يحصَلُ غيرها معها، وإن نوى، بل مُقتَضَى القياسُ  كما قال الإسنَويّ  أن نيتهما مبطلة، كما لو نوى الظهر وسُنّته، أو سُنة الظهر وسنة العصر

Dikecualikan dari menginapkan yang disyaratkan pada puasa fardlu adalah puasa sunah. Maka puasa sunah sekalipun yang ditentukan waktunya, tetap sah niatnya dilakukan sebelum matahari zawal berdasarkan pada hadits sahih. Dan dikeculaikan dengan ta’yin yang disyaratkan pada puasa fardlu adalah puasa sunah juga. Maka puasa sunah sekalipun yang ditentukan waktunya, tetap sah niatnya dilakukan tanpa ta’yin, sebagaimana hukum yang dipedomani oleh tidak hanya seorang Ulama. Memang benar boleh berniat mutlak namun imam An-Nawawiy membahas dalam Al-Majmu’ mengenai disyaratkannya ta’yin dalam niat puasa sunah Rawatib, seperti puasa Arafah dan yang bergandengan dengannya. Maka puasa selain Rawatib tidak bisa berhasil bersama Rawatib, sekalipun telah diniatkan. Bahkan yang sesuai dengan qiyas sebagaimana dikatakan oleh Al-Asnawiy adalah bahwa niat sekaligus dua puasa (Rawatib dan lainnya) adalah batal. Sebagaimana orang yang niat sekaligus shalat Dhuhur dan sunah Dhuhur atau niat sunah Dhuhur sekaligus sunah Ashar

  فأقل النية المجزئة: نويتُ صَوْمَ رمضان، ولو بدون الفرض على المعتمد  كما صححه في المجموع، تبعاً للأكثرين، لأن صومَ رمضان من البالِغِ لا يقَعُ إلا فَرْضاً. ومُقتضى كلامُ الروضة والمنهاج وجوبُه، أو بلا غدٍ  كما قال الشيخان  لأن لفظ الغد، اشتهر في كلامهم في تفسير التعيين وهو في الحقيقةِ ليسَ مِن حَدّ التعيين، فلا يجبُ التعرّضُ له بخصوصِه، بل يكفي دخولُه في صوم الشهرِ المنوي لحُصولِ التعيين حينئذ، لكن قضيةَ كلامِ شيخنا  كالمزجد : وجوبه

Niat yang telah mencukupi, paling tidak adalah “saya niat berpuasa Ramadhan”, sekalipun tanpa menyebutkan fardlu, menurut pendapat yang mu’tamad, sebagaimana dalam Al-Majmu’ disahihkan oleh An-Nawawiy sebab mengikuti kebanyakan Ulama, karena puasa Ramadhan orang baligh itu mesti fardlu. Sedang yang sesuai dengan pembicaraan Ar-Raudlah dan Al-Minhaj hukumnya wajib dilakukan. Niat telah mencukupi sekalipun tanpa menyebut besok hari, sebagaimana disebutkan oleh dua guru kita ( Nawawi dan Rafi’ie), karena lafadz besok hari itu dalam pembicaraan Ulama itafsiri dengan ta’yin. Pada hakikatnya, penyebutan besok hari itu bukanlah sebagai ta’yin, oleh karenanya hal itu tidak wajib dinyatakan secara khusus, bahkan cukup dengan masuknya seseorang kedalam bulan puasa yang diniatkan, karena dengan cara begitu berarti telah ada ta’yin. Tetapi yang sesuai dengan pembicaraan guru kita, sebagaimana pula Al-Muzajad adalah wajib menyebutkannya secara khusus. 

 (وأَكملها) أي النية: (نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عن أداءِ فَرْضِ رمضان) بالجرِّ لإضافتِهِ لما بعده (هذه السَنَة لله تعالى) لِصِحّةِ النية حينئذٍ اتفاقاً، وبحث الأذرعيّ أنه لو كان عليه مثل الأداء كقَضاءِ رمضان قبله: لزمَهُ التّعرُّضُ للأداءِ، أو تَعْيينُ السّنة

Niat yang paling sempurna adalah “saya niat berpuasa besok hari sebagai memenuhi kefardluan bulan Ramadhan tahun ini karena Allah”, karena dengan ini disepakati sahnya. Kata " رمضان" dibaca jer dengan alamat kasroh karena disandarkan kepada kata berikutnya. Al-Adzra’iy membahas bahwa jika seseorang masih berkewajiban puasa seperti puasa ada’, misalnya qadlo bulan Ramadhan tahun kemarin, maka wajib menyatakan ada’ atau menententukan tahun.

 (ويَفطرُ عامِدٌ) لا ناسٍ للصوم، وإن كثر منه نحو جماعٍ وأكلٍ (عالمٌ) لا جاهل، بأن ما تعاطاه مفطرٌ لِقُرْبِ إسلامِه، أو نَشْئِهِ ببادِيَةٍ بعيدةٍ عَمّن يعرِف ذلك (مختارٌ)، لا مكرَه لم يحصلْ منه قَصْدٌ، ولا فِكرٌ، ولا تلذّذ (بجماعٍ) وإن لم يُنْزِل (واستمْناء) ولو بيَدِهِ أو بيَدِ حَليلَتِهِ، أو بِلمْسٍ لما ينقضُ لمْسُه بلا حائِلٍ (لا ب) قُبلَةٍ و (ضَمّ) لامرأة (بحائِلٍ): أي معه، وإن تكرّرَ بِشهْوَةٍ، أو كانَ الحائلُ رقيقاً، فلو ضَمّ امرأةً أو قَبَّلها بلا مُلامَسَة بدَنٍ بلا بحائِلٍ بينهما فأنْزَلَ: لم يُفْطِرْ، لانتِفاء المباشَرَةِ  كالاحْتِلامِ. والإنزالِ بِنَظَرٍ وفِكْرٍ، ولو لمَسَ محْرَماً أو شَعْرَ امرأةٍ فأنْزَلَ: لم يُفْطِر  لِعَدَمِ النَّقضِ به. ولا يُفْطِر بخروجِ مَذيٍ: خلافاً للمالكية 

Batal puasa orang yang sengaja - bukan lupa bahwa sedang berpuasa sekalipun banyak melakukan semacam jima’ atau makan - yang mengetahui- bukan yang tidak tahu bahwa apa yang ia lakukan itu membatalkan puasa karena baru saja mengenal Islam atau hidup dibelantara yang jauh dari orang yang mengetahui hal itu - dan sekehendak hati- bukan dalam keadaan terpaksa yang tidak hasil dari pemaksaaan tersebut penyengajaan berfikir dan tidak mendatangkan kelezatan - Sebab

(1). melakukan persetubuhan, sekalipun tidak mengeluarkan mani.

(2.) melakukan onani sekalipun memakai tangan sendiri atau tangan isterinya, atau dengan persentuhan yang bisa membatalkan wudlu bila dilakukan tanpa penghalang. Puasa tidak batal sebab mencium atau merangkul wanita dengan penghalang sekalipun berulang kali dan dengan syahwat, atau penghalangnya tipis. Maka apabila seorang laki-laki merangkul atau mencium wanita dengan tanpa terjadi persentuhan sesama badan karena ada penghalangnya diantara mereka berdua, kemudian mengeluarkan mani, maka puasanya tidak batal, sebab tidak terjadi persentuhan sesama kulit, sebagaimana ihtilam (keluar mani karena bermimpi) atau mengeluarkan mani yang disebabkan pandangan atau lamunan. Apabila bersentuhan kulit dengan mahram sendiri atau rambut wanita bukan muhram kemudian mengeluarkan mani, maka puasanya tidak batal sebab perbuatan seperti tidak membatalkan wudlu. Keluar air madzi tidak membatalkan puasa, lain halnya menurut pendapat ulama-ulama madzhab Maliki. 

(واستِقاءَةٌ) أي استدعاءُ قيْءٍ وإن لم يَعُدْ مِنه شيءٌ لجَوْفِهِ: بأن تَقيّأَ مُنَكّساً أو عاد بِغيرِ اختيارِهِ، فهو مُفْطِرٌ لِعَيْنِه، أما إذا غَلَبَه ولم يَعُدْ منه  أو مِنْ رِيقِهِ المتنجِّسِ به  شيء إلى جَوْفِهِ بعد وُصولِهِ لحَدِّ الظاهِرِ، أو عادَ بغيرِ اختيارِهِ: فلا يُفْطِرُ به  للخبر الصحيح بذلك (لا بِقَلْعِ نخامَةٍ) من الباطِنِ أو الدّماغِ إلى الظاهِرِ، فلا يُفْطِرُ به إن لَقَطَها لتكرّر الحاجة إليه، أما لو ابتلعها مع القدرة على لفظِها بعد وصولها لحدِّ الظاهر  وهو مَخْرَجُ الحاءِ المُهْمِلة  فيُفْطِر قطعاً. ولو دخلَتْ ذبابَةٌ جَوْفَهُ: أَفطَرَ بإِخراجِها مُطْلقاً، وجازَ له  إِن ضَرَّه  بقاوها مع القضاءِ: كما أفتى به شيخنا.

(3 ) Muntah dengan sengaja sekalipun tiada sedikitpun muntah yang kembali masuk perutnya, misalnya sengaja membuat muntah dengan cara menungging. Kalau ada yang masuk kembali dan disengaja maka puasanya batal, karena kesengajaan muntah itu sendiri telah cukup membatalkannya. Adapun bila muntah itu terjadi tanpa disengaja serta tiada sebagian muntahnya atau ludah mutanajis karena tercampur muntah itu masuk kembali setelah sampai daerah luar, atau ada juga yang masuk kembali tapi tidak sengaja dimasukkan, maka tidaklah membatalkan puasa, karena itu semua berdasarkan hadits sahih. Puasa tidak batal karena lantaran sengaja mengeluarkan lendir dahak perut atau dahak otak, jika dikeluarkan, karena butuh berulangnya perbuatan itu. Adapun jika lendir itu telah sampai daerah luar kemudian ditelan kembali padahal kuasa mengeluarkannya, maka secara pasti adalah membatalkan puasanya. Batas daerah luar adalah mulai letak makhraj huruf ح.  Apabila ada nyamuk masuk kedalam perut, maka secara muthlak (bahaya atau tidak) dengan  mengeluarkannya kembali puasa menjadi batal. Ia diperbolehkan mengeluarkan kembali jika dengan tetapnya berada didalam perut membuat dirinya bahaya, dengan kewajiban mengqadla puasanya. Demikian menurut fatwa guru kita.

(و) يُفْطِرُ (بدخول عَيْنٍ) وإن قَلَّت إلى ما يُسَمّى (جَوْفاً): أي جَوْفَ من مَرّ: كباطِنٍ أُذُنٍ، وإِحْليلٍ،  وهو مَخْرَجُ بَوْلٍ  ولبنٍ  وإن لم يجاوِزِ الحَشَفة أو الحُلمَةَ وَوصول أصبعِ المستنجِيَة إلى وراءِ ما يظْهَرُ مِن فَرْجِها عند جُلوسِها على قَدَمَيْها: مُفْطِرٌ، وكذا وُصولُ بعضُ الأنمُلَةِ إلى المَسْرَبَة، كذا أطلقه القاضي، وقيَّدَهُ السّبكي بما إذا وصَلَ شيء منها إلى المحلّ المجَوَّفِ منها، بخلافِ أوَّلها المنطبِق فإنه لا يُسَمّى جَوْفاً، وأَلحقَ بهِ أوّل الإِحْليل الذي يظهرُ عندَ تحريكِهِ، بل أوْلى. قال ولده: وقول القاضي: الاحتياط أن يَتَغَوَّطَ بالليلِ: مرادُه أنّ إيقاعَهُ فيه خيرٌ منه في النهارِ، لئلا يصلَ شيء إلى جوفِ مَسْرَبَتِه، لا أنه يؤمر بتأخيرِهِ إلى الليلِ، لأن أحداً لا يؤمَر بمضرِّةٍ في بَدَنِه، ولو خَرَجَت مَقْعَدَةُ مَبْسُورٍ: لم يُفطِر بعَوْدِها، وكذا إن أعادَها بأُصبعه، لاضطراره إليه. ومنه يؤخذ  كما قال شيخنا  أنه لو اضطرّ لدُخولِ الأُصبعِ إلى الباطِنِ لم يفطر، وإلا أفطر وصول الأصبع إليه. وخَرَجَ بالعينِ: الأثرُ  كوصول الطَّعمِ بالذَّوْقِ إلى حَلْقِهِ . وخَرَجَ بمن مرّ  أي العامد العالم المختار  الناسي للصّومِ، والجاهِلُ المعذورُ بتحريمِ إيصالِ شيء إلى الباطِنِ، وبِكَوْنِهِ مُفْطِراً والمُكْرَهُ، فلا يَفطر كل منهم بدخولِ عَيْن جَوْفه، وإن كَثُرَ أكلُهُ، ولو ظَنَّ أن أكلَهُ ناسياً مُفْطِرٌ فأكلَ جاهِلاً بوجوبِ الإِمساك: أَفطَرَ. ولو تعَمّدَ فتحَ فَمِهِ في الماءِ فدخلَ جوفَه أو وضَعَه فيه فسبَقَهُ أفطَرَ. أو وضع في فيهِ شيئاً عمداً وابتلَعه ناسياً، فلا. ولا يفطر بوصول شيء إلى باطنِ قَصَبَةِ أنفٍ حتى يجاوِزَ منتهى الخَيْشُوم، وهو أقْصَى الأَنْفِ.

(4) Masuknya benda sekalipun hanya sedikit kedalam bagian yang disebut jauf (rongga dalam) orang tersebut diatas (yang sengaja, tahu hukumnya dan tidak terpaksa), seperti misalnya kedalam rongga perut, hidung, rongga saluran air kemih atau saluran air susu sekalipun tanpa melewati penis atau puting susu. Sampainya jari wanita dikala istinja’ hingga melewati bagian vagina yang tampak saat jongkok adalah membatalkan puasanya, demikian pula sampainya ujung jari hingga mencapai masrabah/otot lingkar (jalan keluar tinja). Demikianlah Al-Qadli memuthlakkan hukumnya (baik bagian masrabah yang berongga atau tidak). As-Subkiy membatasi hukum batal dengan sampainya kebagian masrabah yang berongga. Lain halnya pada bagian depannya yang mengatup, maka tidak bisa disebut jauf. Ia menyamakan hukum bagian depan masrabah.dengan bagian depan saluran air susu dan saluran air kemih laki-laki yang tampak jika digerakkan puting susu atau penisnya, bahkan yang dua macam ini lebih utama (bukan dianggap jauf). Putera As-Subkiy berkata : ucapan Al-Qadli “untuk hati-hatinya hendaklah buang air besar dimalam hari” maksudnya yaitu melakukan di malam hari adalah lebih baik dari pada diwaktu siang, agar tiada sesuatupun yang masuk kedalam jauf masrabahnya, bukan berarti diperintahkan agar menundanya hingga malam hari, sebab seseorang itu tidak diperintah untuk melakukan sesuatu yang bahaya pada diri sendiri. Apabila otot lingkar orang sakit bawasir keluar, maka puasa tidak menjadi batal dengan kembali masuknya otot tersebut. Demikian pula jika memasukkan kembali mamakai jarinya, karena hal itu dengan terpaksa harus dilakukan. Atas dasar keterpaksan inilah hukumnya ditentukan sebagaimana perkataan guru kita : bilamana ia terpaksa memasukkan jari tangannya kebagian rongga dalam, maka puasanya tidak batal. Kalau tidak karena terpaksa, maka puasa menjadi batal lantaran jari sampai ke rongga dalam. Tidak termasuk “benda tampak” yaitu atsar (bekas )seperti misalnya sampainya rasa makanan pada tenggorokan orang yang mencicipinya (menjilat untuk mencicipi).Tidak termasuk orang yang telah disebutkan yakni “sengaja yang tahu hukumnya serta tidak terpaksa”, yaitu orang yang lupa bila sedang.berpuasa, orang yang bisa dimaklumi ketidaktahuannya bahwa sampainya sesuatu kedalam rongga jauf itu terlarang dan bisa membatalkan puasa dan orang yang terpaksa. Maka puasa mereka tidak menjadi batal lantaran sampainya benda tampak ke dalam jauf, sekalipun berjumlah banyak dalam memakannya. Apabila ia menduga bahwa makan karena lupa itu bisa membatalkan puasa, lalu ia makan lagi karena tidak tahu kewajiban meneruskan puasanya, maka puasanya menjadi batal. Apabila sengaja membuka mulutnya di dalam air lalu ada air yang masuk ke dalam jaufnya, atau menaruh air kedalam mulutnya lalu mendahului masuk sampai jauf, maka puasanya batal. Atau bila sengaja meletakkan sesuatu di dalam mulutnya lalu menelannya karena lupa, maka puasanya tidak batal. Puasa tidak batal sebab sampainya sesuatu ke batang hidung, kecuali setelah melewati pangkal hidung.

و (لا) يفطرُ (بريقٍ طاهرٍ صَرْفٍ) أي خالِصٍ ابتلَعَهُ (مِن مَعْدَنِهِ) وهو جميع الفَمِ، ولو بعدَ جَمْعِهِ على الأصح، وإن كان بنحوِ مُصْطَكىً. أما لو ابتلَعَ رِيقاً اجتمَعَ بلا فِعْل، فلا يضرْ قطعاً. وخَرَجَ بالطاهر: المُتَنجِّسُ بنحوِ دَمِ لَثْتِهِ فيُفطِرُ بابتلاعُه، وإن صفا، ولم يبقَ فيه أثرٌ مطلقاً، لأنه لما حَرُمَ ابتلاعُه لتنجّسهِ صارَ بمنزلةِ عَيْنٍ أجنبية. قال شيخنا: ويظهرُ العَفْوُ عمن ابتليَ بدَمِ لثتِه بحيثُ لا يمكِنُهُ الاحترازُ عنه. وقال بعضُهم: متى ابتلَعَه المبتَلى بهِ مع علمِهِ به وليس له عنده بدّ، فصومه صحيح، وبالصرفِ المختلِطِ بطاهِرٍ آخرَ، فيفطرُ من ابتلَعَ رِيقاً مُتغيّراً بحُمْرةَ نحو تَنْبَلٍ وإن تَعَسَّرَ إزالتُها، أو بِصِبْغِ خَيْطٍ فَتَلَهُ بِفَمِهِ، وبمن مَعْدَنُه ما إذا خَرَجَ من الفَمِ لا على لسانِهِ ولو إلى ظاهِرِ الشَّفة ثم رَدّه بلسانِه وابتلعَهُ، أو بَلَّ خَيْطاً أو سِواكاً بريقِهِ أو بماءٍ فرَدّهُ إلى فمِهِ وَعليهِ رُطوبةٌ تنفصِلُ وابتلعها: فيفطر. بخلاف ما لو لم يكن على الخيط ما ينفصِل لِقِلّتِهِ أو لِعَصْرِهِ أو لجَفافِهِ، فإنه لا يضرّ، كأثرِ ماءِ المضمضة، وإن أمكَنَ مجّهُ لَعُسْرِ التحرّزِ عنه، فلا يكلف تنشيف الفمِ عنه.

Puasa tidak batal sebab menelan ludah yang masih suci murni, ditelan langsung dari sumbernya yaitu seluruh daerah mulut, sekalipun setelah terlebih dahulu dikumpulkan di dalam mulut, demikian menurut yang lebih sahih, dan sekalipun pengumpulannya dilakukan setelah dirangsang dengan mengunyah semacam kemenyan Musthaka. Jikalau menelan ludah yang terkumpul sendiri, maka secara pasti tidak membahayakan puasanya. Tidak termasuk yang suci yaitu ludah mutanajis dengan semacam darah gusi, makanya kalau ditelan puasanya menjadi batal, sekalipun ludah tampak jernih dan secara muthlak tidak ada bekas campuran tersebut, karena dengan adanya larangan menelan mutanajis itu, maka berstatus sebagai benda tampak dari lain dirinya sendiri. Guru kita berkata : Jelaslah adanya kemakluman bagi orang yang mengalami penyakit pendaharahan gusi, sekira tidak mungkin dapat memisahkan antara ludah dengan darah. Sebagian Ulama berkata : Bila orang yang terkena penyakit tersebut menelannya serta tahu hal itu terjadi tapi tidak dapat menyingkirkannya, maka puasanya tetap sah. Tidak termasuk ludah yang murni yaitu yang telah tercampuri cairan suci lainnya. Maka puasa menjadi batal jikalau menelan ludah yang telah berubah sifatnya sebab tercampuri semacam warna merah kinang sekalipun sulit menghilangkannya atau tercampuri warna benang yang ia pintal memakai mulutnya.Tidak termasuk ludah yang ditelan langsung dari tempat sumbernya, yaitu yang telah keluar dari daerah mulut bukan yang masih tetap berada pada lidahnya, sekalipun hanya ke daerah bibir luar lalu dijilat kembali dan ditelan. Atau bilamana ia membasahi benang atau siwak dengan ludah atau air lalu dimasukkan ke dalam mulutnya dan ada basah-basah yang terlepas dari benang atau siwak tersebut lalu ditelannya maka puasanya batal. Lain halnya jika tiada basah-basah yang terlepas dari padanya, karena hanya sedikit atau telah diperas atau benang itu kering, maka tidak membahayakan puasa. Sebagaimana pula menelan air bekas berkumur yang ada didalam mulut, sekalipun memungkinkan mengeluarkannya, karena sulitnya menjaga agar jangan sampai tertelan, maka baginya tidak dibebani mengusap mulut dari air bekas berkumurnya.


[فرع]: لو بقي طعامٌ بين أسنانِهِ فَجَرى بهِ رِيقُهُ بطَبْعِهِ لا بِقَصْدِه: لم يُفطِر إن عجِزَ عن تمييزه ومجّه، وإن تَرَكَ التخلّلَ ليلاً مع علمهِ بِبقائِه وبجريانِ رِيقِهِ به نهاراً، لأنّه إنما يخاطب بهِما إن قَدَر عليهما حالَ الصّوم، لكِنْ يتأكد التخلّل بعد التّسَحُّر، أما إذا لم يَعْجَزْ أو ابتلَعَهُ قصداً: فإنه مُفْطِرٌ جَزْماً، وقولُ بعضِهِم يجبُ غَسْلُ الفمِ مما أكَلَ ليلاً وإلا أفطَر: رَدَّه شيخنا.

(Cabangan Masalah ) Apabila terdapat sisa makanan di sela-sela gusi lalu ikut tertelan bersama ludah sebagaimana biasanya ia menelan ludahnya bukan sengaja menelannya, jika tidak bisa memisahkan lalu mengeluarkannya maka puasanya tidak menjadi batal, sekalipun tidak menyela-nyelai gigi di malam hari serta mengetahui masih terdapat sisa makanan yang di siang harinya akan ikut tertelan bersama ludah. Karena kewajiban memisahkan sisa makanan dan membuangnya itu adalah jika mampu melakukannya di siang hari. Namun sunah muakad melakukan cukil gigi dilakukan setelah makan sahur. Adapun bila mampu mengeluarkannya atau bila sengaja menelannya, maka pasti dihukumi batal puasanya. Pendapat sebagian para Ulama bahwa “Wajib mencuci mulut dari apapun yang termakan di malam hari” adalah ditolak oleh guru kita.

(ولا يُفْطِرُ بسبقِ ماءٍ جَوْفَ مغتَسِلٍ عن) نحو (جَنابة) كحَيْضٍ، ونَفاسٍ إذا كان الاغتسالُ (بلا انغماس) في الماءِ، فلو غَسَلَ أُذُنيهِ في الجنابة فَسَبقَ الماءُ من إحداهما لجوفه: لم يفطر، وإن أمكنَه إمالَةُ رأسِهِ أو الغَسْلُ قبل الفَجْرِ. كما إذا سبق الماء إلى الداخل للمبالَغَةِ في غسلِ الفَمِ المتنجّس لوجوبها: بخلاف ما إذا اغتسَلَ مُنغَمِساً فسَبَقَ الماءُ إلى باطِنِ الأُذُنِ أو الأنْفِ، فإِنَّهُ يَفْطَر، ولَو في الُغْسلِ الوَاجِبِ، لِكَراهَةِ الانغماس: كسَبْقِ ماءِ المَضْمَضَةِ بالمبالَغَةِ إلى الجَوْفِ مع تذكّرِهِ للصوم، وعلمه بعدمِ مَشْروعِيَّتِها، بخلافِهِ بلا مبالَغةٍ. وخرج بقولي عن نحو جنابةٍ: الغُسْلُ المسنون، وغُسْلُ التبرُّد، فيُفطِر بسبِق ماءٍ فيه، ولو بلا انغماس.

Puasa tidak batal karena mendahuluinya (keterlanjuran/ kelepasan) air masuk ke dalam jauf orang mandi semacam junub, misalnya mandi haidh atau nifas, bila mandinya dilakukan tidak dengan cara menyelam ke dalam air. Maka bila dalam melakukan mandi junub membasuh dua telinga lalu ada air yang mendahului masuk kedalam jauf salah satunya, maka puasanya tidak menjadi batal, sekalipun mungkin juga dengan memiringkan kepala atau mandi dilakukan sebelum terbit fajar. Sebagaimana pula jika air mendahului masuk ke rongga dalam orang yang terlalu dalam mencuci mulutnya yang terkena najis, karena hal itu wajib dilakukan. Lain halnya jika mandi dilakukan dengan menyelam lalu mendahului (kelepasan) air masuk ke dalam rongga telinga atau hidung, maka puasanya batal sekalipun itu dalam mandi wajib, karena menyelam ini sendiri hukumnya makruh, sebagaimana air berkumur mendahului masuk ke dalam jauf lantaran terlalu dalam melakukannya, sedang ia teringat bahwa sedang tengah berpuasa dan mengetahui bahwa terlalu dalam berkumur tidak menjadi perintah syara’. Lain halnya jika tidak terlalu dalam berkumur. Tidak termasuk arti mandi semacam junub, yaitu mandi sunah dan mandi untuk penyegar badan maka mendahuluinya air masuk ke dalam jauf bisa membatalkan puasa, sekalipun tidak dilakukan sambil menyelam.

Selanjutnya klik disini

1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar