ﻓﺼﻞ
ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ( ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ) ﺃﻱ ﻓﺮﻭﺿﻬﺎ : ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻋﺸﺮ، ﺑﺠﻌﻞ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﺎﻟﻬﺎ ﺭﻛﻨﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ . ﺃﺣﺪﻫﺎ : (ﻧﻴﺔ ) ﻭﻫﻲ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ، ﻟﺨﺒﺮ : ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ . ( ﻓﻴﺠﺐ ﻓﻴﻬﺎ ) ﺃﻱ ﺍﻟﻨﻴﺔ ( ﻗﺼﺪ ﻓﻌﻠﻬﺎ ) ﺃﻱ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻟﺘﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﺑﻘﻴﺔ ﺍﻻﻓﻌﺎﻝ ( ﻭﺗﻌﻴﻴﻨﻬﺎ) ﻣﻦ ﻇﻬﺮ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻟﺘﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻓﻼ ﻳﻜﻔﻲ ﻧﻴﺔ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻮﻗﺖ . ( ﻭﻟﻮ) ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﻔﻌﻮﻟﺔ ( ﻧﻔﻼ ) ﻏﻴﺮ ﻣﻄﻠﻖ، ﻛﺎﻟﺮﻭﺍﺗﺐ ﻭﺍﻟﺴﻨﻦ ﺍﻟﻤﺆﻗﺘﺔ ﺃﻭ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺴﺒﺐ، ﻓﻴﺠﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻻﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﻌﻴﻨﻬﺎ ﻛﺴﻨﺔ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺍﻟﻘﺒﻠﻴﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﺒﻌﺪﻳﺔ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺆﺧﺮ ﺍﻟﻘﺒﻠﻴﺔ. ﻭﻣﺜﻠﻬﺎ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﻟﻬﺎ ﺳﻨﺔ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻭﺳﻨﺔ ﺑﻌﺪﻫﺎ، ﻭﻛﻌﻴﺪ ﺍﻻﺿﺤﻰ ﺃﻭ ﺍﻻﻛﺒﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻭ ﺍﻻﺻﻐﺮ، ﻓﻼ ﻳﻜﻔﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻭﺍﻟﻮﺗﺮ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ ﻭﺍﻟﺰﺍﺋﺪﺓ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻭﻳﻜﻔﻲ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﺪﺩ . ﻭﻳﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻭﺟﻪ، ﻭﻻ ﻳﻜﻔﻲ ﻓﻴﻪ ﻧﻴﺔ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺃﻭ ﺭﺍﺗﺒﺘﻬﺎ، ﻭﺍﻟﺘﺮﺍﻭﻳﺢ ﻭﺍﻟﻀﺤﻰ، ﻭﻛﺎﺳﺘﺴﻘﺎﺀ ﻭﻛﺴﻮﻑ ﺷﻤﺲ ﺃﻭ ﻗﻤﺮ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺍﻟﻤﻄﻠﻖ ﻓﻼ ﻳﺠﺐ ﻓﻴﻪ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﺑﻞ ﻳﻜﻔﻲ ﻓﻴﻪ ﻧﻴﺔ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺭﻛﻌﺘﻲ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ ﻭﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺍﻻﺳﺘﺨﺎﺭﺓ، ﻭﻛﺬﺍ ﺻﻼﺓ ﺍﻻﻭﺍﺑﻴﻦ، ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻭﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﺭﺣﻤﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﻴﻦ ﻛﺎﻟﻀﺤﻰ . ( ﻭ) ﺗﺠﺐ (ﻧﻴﺔ ﻓﺮﺽ ﻓﻴﻪ) ﺃﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺽ، ﻭﻟﻮ ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺃﻭ ﻧﺬﺭﺍ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﻭﻱ ﺻﺒﻴﺎ، ﻟﻴﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﻞ . ( ﻛﺄﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ) ﻣﺜﻼ، ﺃﻭ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ، ﻭﺇﻥ ﺃﺩﺭﻙ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺗﺸﻬﺪﻫﺎ .
ﻓﻲ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺼﻼﺓ ( ﺃﺭﻛﺎﻥ ﺍﻟﺼﻼﺓ ) ﺃﻱ ﻓﺮﻭﺿﻬﺎ : ﺃﺭﺑﻌﺔ ﻋﺸﺮ، ﺑﺠﻌﻞ ﺍﻟﻄﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻓﻲ ﻣﺤﺎﻟﻬﺎ ﺭﻛﻨﺎ ﻭﺍﺣﺪﺍ . ﺃﺣﺪﻫﺎ : (ﻧﻴﺔ ) ﻭﻫﻲ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ، ﻟﺨﺒﺮ : ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻻﻋﻤﺎﻝ ﺑﺎﻟﻨﻴﺎﺕ . ( ﻓﻴﺠﺐ ﻓﻴﻬﺎ ) ﺃﻱ ﺍﻟﻨﻴﺔ ( ﻗﺼﺪ ﻓﻌﻠﻬﺎ ) ﺃﻱ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻟﺘﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﺑﻘﻴﺔ ﺍﻻﻓﻌﺎﻝ ( ﻭﺗﻌﻴﻴﻨﻬﺎ) ﻣﻦ ﻇﻬﺮ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻟﺘﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻓﻼ ﻳﻜﻔﻲ ﻧﻴﺔ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻮﻗﺖ . ( ﻭﻟﻮ) ﻛﺎﻧﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺍﻟﻤﻔﻌﻮﻟﺔ ( ﻧﻔﻼ ) ﻏﻴﺮ ﻣﻄﻠﻖ، ﻛﺎﻟﺮﻭﺍﺗﺐ ﻭﺍﻟﺴﻨﻦ ﺍﻟﻤﺆﻗﺘﺔ ﺃﻭ ﺫﺍﺕ ﺍﻟﺴﺒﺐ، ﻓﻴﺠﺐ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺘﻌﻴﻴﻦ ﺑﺎﻻﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻳﻌﻴﻨﻬﺎ ﻛﺴﻨﺔ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺍﻟﻘﺒﻠﻴﺔ ﺃﻭ ﺍﻟﺒﻌﺪﻳﺔ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﺆﺧﺮ ﺍﻟﻘﺒﻠﻴﺔ. ﻭﻣﺜﻠﻬﺎ ﻛﻞ ﺻﻼﺓ ﻟﻬﺎ ﺳﻨﺔ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻭﺳﻨﺔ ﺑﻌﺪﻫﺎ، ﻭﻛﻌﻴﺪ ﺍﻻﺿﺤﻰ ﺃﻭ ﺍﻻﻛﺒﺮ ﺃﻭ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻭ ﺍﻻﺻﻐﺮ، ﻓﻼ ﻳﻜﻔﻲ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪ ﻭﺍﻟﻮﺗﺮ ﺳﻮﺍﺀ ﺍﻟﻮﺍﺣﺪﺓ ﻭﺍﻟﺰﺍﺋﺪﺓ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﻭﻳﻜﻔﻲ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﻮﺗﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﺪﺩ . ﻭﻳﺤﻤﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺪﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﻻﻭﺟﻪ، ﻭﻻ ﻳﻜﻔﻲ ﻓﻴﻪ ﻧﻴﺔ ﺳﻨﺔ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﺃﻭ ﺭﺍﺗﺒﺘﻬﺎ، ﻭﺍﻟﺘﺮﺍﻭﻳﺢ ﻭﺍﻟﻀﺤﻰ، ﻭﻛﺎﺳﺘﺴﻘﺎﺀ ﻭﻛﺴﻮﻑ ﺷﻤﺲ ﺃﻭ ﻗﻤﺮ . ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻨﻔﻞ ﺍﻟﻤﻄﻠﻖ ﻓﻼ ﻳﺠﺐ ﻓﻴﻪ ﺗﻌﻴﻴﻦ ﺑﻞ ﻳﻜﻔﻲ ﻓﻴﻪ ﻧﻴﺔ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﺼﻼﺓ، ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺭﻛﻌﺘﻲ ﺍﻟﺘﺤﻴﺔ ﻭﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻭﺍﻻﺳﺘﺨﺎﺭﺓ، ﻭﻛﺬﺍ ﺻﻼﺓ ﺍﻻﻭﺍﺑﻴﻦ، ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﺍﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﻭﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﺍﻟﺴﻴﻮﻃﻲ ﺭﺣﻤﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ . ﻭﺍﻟﺬﻱ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻳﻪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﺑﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﻴﻦ ﻛﺎﻟﻀﺤﻰ . ( ﻭ) ﺗﺠﺐ (ﻧﻴﺔ ﻓﺮﺽ ﻓﻴﻪ) ﺃﻱ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﺽ، ﻭﻟﻮ ﻛﻔﺎﻳﺔ ﺃﻭ ﻧﺬﺭﺍ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﻭﻱ ﺻﺒﻴﺎ، ﻟﻴﺘﻤﻴﺰ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﻔﻞ . ( ﻛﺄﺻﻠﻲ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ) ﻣﺜﻼ، ﺃﻭ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ، ﻭﺇﻥ ﺃﺩﺭﻙ ﺍﻻﻣﺎﻡ ﻓﻲ ﺗﺸﻬﺪﻫﺎ .
Fasal tentang sifat solat
(Rukun-rukun solat) disebut juga dengan fardu-fardu solat ada 14 dengan menghitung masing-masing thuma'ninah sebagai satu rukun tersendiri
(1. Niat) yaitu menyengaja {mengerjakan sesuatu} dalam hati, hal ini berdasarkan hadits, bahwasannya sah amal itu harus disertai niat. Dalam melakukan niat diwajibkan meletakan unsur kesengajaan mengerjakan solat, agar solat terpisah dengan perbuatan-perbuatan yang lain, dan ta'yin (pernyataan jenis solat) dhuhur atau lainnya, agar dapat terpisah dhuhur dengan yang lain, karena itu belum lah cukup hanya niat menunaikan kefarduan waktu (secara umum tanpa pernyataan jenis solat), jika solatnya adalah solat sunah yang bukan mutlaq misalnya solat rawatib dan yang ditentukan dengan waktu atau sebab, maka selain ta'yin diwajibkan menyandarkan pada sesuatu yang ditentukannya, misalnya untuk solat dhuhur disebutkan qobliyah atau ba'diyah, sekalipun sunah qobliyah itu dilakukan sesudah solat dhuhur, demikian pula dilakukan pada solat yang mempunyai sunah qobliyah ba'diyah, solat hari raya akbar atau idul adhha atau hari raya fitri atau hari raya kecil, karena itu belum cukup dengan niat hari raya saja, termasuk juga solat witir, baik ditunaikan satu rakaat atau lebih, dalam masalah ini cukup dengan niat witir, tanpa menyebut jumlah bilangannya yang tidak ditentukan dalam niat, adalah dijuruskan ( diserahkan) pada maksud pelaku itu sendiri menurut beberapa tinjauan hukum.
Dalam mengerjakan solat witir tidak cukup dengan niat sunah isyaal atau rawatibnya, juga solat sunah tarawih, duha, istisqo, gerhana matahari dan rembulan. Mengenai solat sunah mutlak adalah tidak diwajibkan ta'yin dalam berniat, tapi cukup dengan niat mengerjakan solat, sebagai mana halnya dengan dua rakaat solat yahiyatul masjid, dua rakaat wudu, dan dua rakaat istiharoh, demikian pula dengan solat awabin, menurut pendapat guru kami ibnu ziyad Al alamah assuyuti rohimahumallahu taala, menurut apa yang dikuatkan oleh guru kami (ibnu hajar) dalam kitab fatawinya bahwa dalam niat solat awabin itu wajib ta'yin, sebagaimana solat duha. Dalam solat fardu wajib niat fardu sekalipun fardu kifayah atau nazar, sekalipun pelakunya anak-anak, agar bisa terpisah ( terbedakan) dengan solat sunah, contoh niat: aku niat solat fardu dhuhur -umpama- atau solat fardu jum'at sekalipun menemui imamnya ketika sedang bertasyahud.
(1. Niat) yaitu menyengaja {mengerjakan sesuatu} dalam hati, hal ini berdasarkan hadits, bahwasannya sah amal itu harus disertai niat. Dalam melakukan niat diwajibkan meletakan unsur kesengajaan mengerjakan solat, agar solat terpisah dengan perbuatan-perbuatan yang lain, dan ta'yin (pernyataan jenis solat) dhuhur atau lainnya, agar dapat terpisah dhuhur dengan yang lain, karena itu belum lah cukup hanya niat menunaikan kefarduan waktu (secara umum tanpa pernyataan jenis solat), jika solatnya adalah solat sunah yang bukan mutlaq misalnya solat rawatib dan yang ditentukan dengan waktu atau sebab, maka selain ta'yin diwajibkan menyandarkan pada sesuatu yang ditentukannya, misalnya untuk solat dhuhur disebutkan qobliyah atau ba'diyah, sekalipun sunah qobliyah itu dilakukan sesudah solat dhuhur, demikian pula dilakukan pada solat yang mempunyai sunah qobliyah ba'diyah, solat hari raya akbar atau idul adhha atau hari raya fitri atau hari raya kecil, karena itu belum cukup dengan niat hari raya saja, termasuk juga solat witir, baik ditunaikan satu rakaat atau lebih, dalam masalah ini cukup dengan niat witir, tanpa menyebut jumlah bilangannya yang tidak ditentukan dalam niat, adalah dijuruskan ( diserahkan) pada maksud pelaku itu sendiri menurut beberapa tinjauan hukum.
Dalam mengerjakan solat witir tidak cukup dengan niat sunah isyaal atau rawatibnya, juga solat sunah tarawih, duha, istisqo, gerhana matahari dan rembulan. Mengenai solat sunah mutlak adalah tidak diwajibkan ta'yin dalam berniat, tapi cukup dengan niat mengerjakan solat, sebagai mana halnya dengan dua rakaat solat yahiyatul masjid, dua rakaat wudu, dan dua rakaat istiharoh, demikian pula dengan solat awabin, menurut pendapat guru kami ibnu ziyad Al alamah assuyuti rohimahumallahu taala, menurut apa yang dikuatkan oleh guru kami (ibnu hajar) dalam kitab fatawinya bahwa dalam niat solat awabin itu wajib ta'yin, sebagaimana solat duha. Dalam solat fardu wajib niat fardu sekalipun fardu kifayah atau nazar, sekalipun pelakunya anak-anak, agar bisa terpisah ( terbedakan) dengan solat sunah, contoh niat: aku niat solat fardu dhuhur -umpama- atau solat fardu jum'at sekalipun menemui imamnya ketika sedang bertasyahud.
( ﻭﺳﻦ) ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻴﺔ (ﺇﺿﺎﻓﺔ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ) (ﺗﻌﺎﻟﻰ)، ﺧﺮﻭﺟﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﻦ ﺃﻭﺟﺒﻬﺎ، ﻭﻟﻴﺘﺤﻘﻖ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻻﺧﻼﺹ . ( ﻭﺗﻌﺮﺽ ﻻﺩﺍﺀ ﺃﻭ ﻗﻀﺎﺀ) ﻭﻻ ﻳﺠﺐ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺎﺋﺘﺔ ﻣﻤﺎﺛﻠﺔ ﻟﻠﻤﺆﺩﺍﺓ، ﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﺎ ﺍﻋﺘﻤﺪﻩ ﺍﻻﺫﺭﻋﻲ . ﻭﺍﻻﺻﺢ ﺻﺤﺔ ﺍﻻﺩﺍﺀ ﺑﻨﻴﺔ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ، ﻭﻋﻜﺴﻪ ﺇﻥ ﻋﺬﺭ ﺑﻨﺤﻮ ﻏﻴﻢ، ﻭﺇﻻ ﺑﻄﻠﺖ ﻗﻄﻌﺎ ﻟﺘﻼﻋﺒﻪ، (ﻭ ) ﺗﻌﺮﺽ ( ﻻﺳﺘﻘﺒﺎﻝ ﻭﻋﺪﺩ ﺭﻛﻌﺎﺕ) ﻟﻠﺨﺮﻭﺝ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﻦ ﺃﻭﺟﺐ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻟﻬﻤﺎ . ( ﻭ ) ﺳﻦ ( ﻧﻄﻖ ﺑﻤﻨﻮﻱ ) ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ، ﻟﻴﺴﺎﻋﺪ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺍﻟﻘﻠﺐ، ﻭﺧﺮﻭﺟﺎ ﻣﻦ ﺧﻼﻑ ﻣﻦ ﺃﻭﺟﺒﻪ . ﻭﻟﻮ ﺷﻚ : ﻫﻞ ﺃﺗﻰ ﺑﻜﻤﺎﻝ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﺃﻭ ﻻ ؟ ﺃﻭ ﻫﻞ ﻧﻮﻯ ﻇﻬﺮﺍ ﺃﻭ ﻋﺼﺮﺍ ؟ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﺮ ﺑﻌﺪ ﻃﻮﻝ ﺯﻣﺎﻥ، ﺃﻭ ﺑﻌﺪ ﺇﺗﻴﺎﻧﻪ ﺑﺮﻛﻦ - ﻭﻟﻮ ﻗﻮﻟﻴﺎ ﻛﺎﻟﻘﺮﺍﺀﺓ - ﺑﻄﻠﺖ ﺻﻼﺗﻪ، ﺃﻭ ﻗﺒﻠﻬﻤﺎ ﻓﻼ
(Disunnahkan) di dalam niat (untuk menyandarkan lafazh Allah ta‘ālā), karena keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya dan sekaligus sebagai ungkapan bentuk nyata makna keikhlasan (Menyebutkan lafazh ‘adā’ ataupun qadhā’), hukumnya tidak wajib walaupun baginya memiliki shalat yang telah terlewat waktunya yang menyamai dengan shalat yang dikerjakan, berbeda dengan pendapat yang menjadi pedoman Imām Adzra‘ī. Menurut pendapat yang ashaḥ shalat yang sedang dikerjakan sah diniati dengan qadha’, begitu pula sebaliknya, jika ada ‘udzur semacam mendung, dan bila tidak ada ‘udzur, maka shalat batal secara mutlak sebab mempermainkan shalat. Sunnah pula menyebutkan (menghadap qiblat dan jumlah raka‘at), untuk keluar dari perbedaan ‘ulamā’ yang mewajibkan penyebutan dua hal tersebut (mengucapkan hal yang diniatkan) sebelum takbīr supaya lidah membantu terhadap hati, dan untuk keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Jika seorang yang shalat ragu, apakah telah berniat shalat Zhuhur atau ‘Ashar?, maka jika ia ingat setelah waktu yang lama atau setelah mengerjakan satu rukun – walaupun rukun qauli seperti membaca surat al-Fātiḥah – maka shalatnya batal. Atau ingat sebelum kedua hal tersebut, maka tidaklah batal.
(وَ) ثَانِيْهَا: (تَكْبِيْرُ تَحَرُّمٍ) لِلْخَبَرِ الْمُتَّفَقَ عَلَيْهِ: “إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ”. سُمَّيَ بِذلِكَ لِأَنَّ الْمُصَلِّيْ يَحْرُمُ عَلَيْهِ بِهِ مَا كَانَ حَلَالًا لَهُ قَبْلَهُ مِنْ مُفْسِدَاتِ الصَّلَاةِ، وَ جُعِلَ فَاتِحَةَ الصَّلَاةِ لِيَسْتَحْضِرَ الْمُصَلِّيْ مَعْنَاهُ الدَّالُّ عَلَى عَظَمَةِ مَنْ تَهَيَّأَ لِخِدْمَتِهِ حَتَّى تَتِمَّ لَهُ الْهَيْبَةُ وَ الْخُشُوْعُ، وَ مِنْ ثَمَّ زِيْدَ فِيْ تِكْرَارِهِ لِيَدُوْمَ اسْتِصْحَابَ ذَيْنِكَ فِيْ جَمِيْعِ صَلَاتِهِ. (مَقْرُوْنًا بِهِ) أَيْ بِالتَّكْبِيْرِ، (النِّيَّةُ) لِأَنَّ التَّكْبِيْرَ أَوَّلُ أَرْكَانِ الصَّلَاةِ فَتَجِبُ مُقَارَنَتُهَا بِهِ، بَلْ لَا بُدَّ أَنْ يَسْتَحْضِرَ كُلُّ مُعْتَبَرٍ فِيْهَا مِمَّا مَرَّ وَ غَيْرِهِ. كَالْقَصْرِ لِلْقَاصِرِ، وَ كَوْنِهِ إِمَامًا أَوْ مَأْمُوْمًا فِي الْجُمْعَةِ، وَ الْقُدْوَةِ لِمَأْمُوْمٍ فِيْ غَيْرِهَا، مَعَ ابْتِدَائِهِ. ثُمَّ يَسْتَمِرُّ مُسْتَصْحِبًا لِذلِكَ كُلِّهِ إِلَى الرَّاءِ. وَ فِيْ قَوْلٍ صَحَّحَهُ الرَّافِعِيُّ، يَكْفِيْ قَرْنُهَا بِأَوَّلِهِ. وَ فِي الْمَجْمُوْعِ وَ التَّنْقِيْحِ الْمُخْتَارِ مَا اخْتَارَهُ الْإِمَامُ وَ الْغَزَاليُّ: أَنَّهُ يَكْفِيْ فِيْهَا الْمُقَارنَةُ الْعُرْفِيَّةُ عِنْدَ الْعَوَامِ بِحَيْثُ يُعَدُّ مُسْتَحْضِرًا لِلصَّلَاةِ. وَ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ: إِنَّهُ الْحَقُّ الَّذِيْ لَا يَجُوْزُ سِوَاهُ. وَ صَوَّبَهُ السُّبْكِيُّ، وَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَقُلْ بِهِ وَقَعَ فِي الْوَسْوَاسِ الْمَذْمُوْمِ. وَ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ: يَجُوْزُ تَقْدِيْمُ النِّيَّةِ عَلَى التَّكْبِيْرِ بِالزَّمَنِ الْيَسِيْرِ. (وَ يَتَعَيَّنُ) فِيْهِ عَلَى الْقَادِرِ لَفْظُ: (اللهُ أَكْبَرُ) لِلْاِتِّبَاعِ، أَوِ اللهُ الْأَكْبَرْ. وَ لَا يَكْفِيْ أُكَبِّرُ اللّهَ، وَ لَا اللّهُ كَبِيْرٌ، أَوْ أُعَظِّمُ، وَ لَا الرَّحْمنُ أَكْبَرُ. وَ يَضُرُّ إخْلَالٌ بِحَرْفٍ مِنَ اللّهُ أَكْبَرُ. وَ زِيَادَةُ حَرْفٍ يُغَيِّرِ الْمَعْنَى، كَمَدِّ هَمْزَةِ اللهِ، وَ كَأَلِفٍ بَعْدَ الْبَاءِ، وَ زِيَادَةُ وَاوٍ قَبْلَ الْجَلَالَةِ، وَ تَخْلِلُ وَاوٍ سَاكِنَةٍ وَ مُتَحَرِّكَةٍ بَيْنَ الْكَلِمَتَيْنِ، وَ كَذَا زِيَادَةُ مَدِّ الْأَلِفِ الَّتِيْ بَيْنَ اللَّامِ وَ الْهَاءِ إِلَى حَدٍّ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ مِنَ الْقُرَّاءِ. وَ لَا يَضُرُّ وَقْفَةٌ يَسِيْرَةٌ بَيْنَ كَلِمَتَيْهِ، وَ هِيَ سَكْتَةُ التَّنَفُّسِ، وَ لَا ضَمُّ الرَّاءِ.
(Rukun shalat yang kedua adalah takbīrat-ul-iḥrām) sebab hadits yang telah disepakati: Jikalau engkau mengerjakan shalat, maka bertakbirlah. Takbīr ini dinamakan demikian sebab dengan takbīrat-ul-iḥrām orang yang shalat diharamkan melakukan seseuatu yang sebelumnya halal yakni dari melakukan hal-hal yang dapat merusak keabsahan shalat. Takbīrat-ul-iḥrām dijadikan sebagai pembuka shalat, supaya orang yang shalat dapat menghadirkan makna yang terkandung di dalamnya, yakni makna keagungan dzāt yang ia persiapkan untuk melayaninya hingga sempurnalah makna merasa takut dan khusū‘. Oleh sebab itu, takbīrat-ul-iḥrām ditambah dengan mengulanginya supaya dua hal tersebut selalu ada di dalam seluruh shalatnya. (Takbir tersebut wajib dilaksanakan bersamaan dengan sebuah niat) sebab takbir adalah awal dari rukun-rukun shalat, maka wajib untuk membarengkan niat dengannya, bahkan wajib untuk menghadirkan setiap komponen penting dalam niat yakni dari keterangan yang telah lewat dan selainnya seperti menghadirkan qashar bagi orang yang meringkas shalat, menjadi imām atau ma’mūm di dalam shalat jum‘at dan niat mengikuti imām bagi ma’mūm di selain shalat jum‘at yang disertakan di permulaan takbīrat-ul-iḥrām kemudian seluruh niat yang dihadirkan ikut berlangsung terus sampai lafazh rā’ dari takbīrat-ul-iḥrām. Dalam satu pendapat yang dibenarkan oleh Imām Rāfi‘ī disebutkan: Cukup untuk membarengkan niat di awal takbīr. Imām Nawawī dalam Majmū‘ dan Taḥqīq-nya menyatakan: Pendapat yang dipilih adalah pendapat yang telah dipilih oleh Imām al-Ḥaramain dan Imām al-Ghazalī bahwa cukup membarengkan niat secara umumnya bagi orang awam. (Dan cukup pula menghadirkan niat secara umumnya) sekira seorang yang shalat dianggap telah menghadirkan shalat. Imām Ibnu Rif‘ah mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat yang benar yang tidak boleh selain itu, hal itu juga dibenarkan oleh Imām Subkī dan beliau berkata: Siapapun yang tidak berpendapat demikian, maka ia akan terjerumus dalam waswas yang dihina. Sedang menurut tiga imām selain Syāfi‘iyyah diperbolehkan mendahulukan niat atas takbīrat-ul-iḥrām dengan jarak yang sedikit. (Diharuskan dalam takbīrat-ul-iḥrām) – bagi orang yang mampu , untuk menggunakan lafazh (Allāhu Akbar) karena mengikuti Nabi s.a.w. atau Allāh-ul-Akbar, tidak cukup lafazh Akbarullāh atau U‘azhimu dan juga tidak lafazh ar-Raḥmānu Akbar. Merusaksatu huruf dari lafazh Allāhu Akbar dapat menjadi masalah, begitu pula menambah huruf yang dapat merubah makna seperti memanjangkan hamzah dari lafazh Allah dan seperti alif setelah bā’ dan menambahi wāwu sebelum lafazh jalālah, menyela-nyelai wāwu yang mati dan berharakat di antara dua kalimat, begitu pula menambah panjang alif yang berada di antara lām dan hā’ sampai dengan panjang yang tidak dibenarkan oleh ‘ulamā’ pun dari ahli membaca al-Qur’ān.Tidak masalah berhenti sejenak di antara dua kalimat takbīr ya‘ni sebatas diam untuk mengambil nafas dan juga tidak masalah membaca dhammah rā’ dari lafazh akbar.
[فَرْعٌ]: لَوْ كَبَّرَ مَرَّاتٍ نَاوِيًا الْاِفْتِتَاحَ بِكُلٍّ: دَخَلَ فِيْهَا بِالْوَتْرِ وَ خَرَجَ مِنْهَا بِالشَّفْعِ، لِأَنَّهُ لَمَّا دَخَلَ بِالْأُوْلَى خَرَجَ بِالثَّانِيَةِ، لِأَنَّ نِيَّةَ الْاِفْتِتَاحِ بِهَا مُتَضَمِّنَةٌ لِقَطْعِ الْأُوْلَى. وَ هكَذَا، فَإِنْ لَمْ يَنْوِ ذلِكَ، وَ لَا تَخَلَّلَ مُبْطِلٌ كَإِعَادَةِ لَفْظِ النِّيَّةِ، فَمَا بَعْدَ الْأُوْلَى ذِكْرٌ لَا يُؤَثِّرْ.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang yang shalat melakukan takbīrat-ul-iḥrām berulang-ulang dengan niat memulai shalat di setiap takbīrnya, maka orang itu akan masuk shalat dengan takbīr yang ganjil dan akan keluar dari shalat dengan takbīr yang genap, sebab jika seorang tersebut masuk dengan takbīr yang pertama, maka ia akan keluar dengan takbīr yang kedua karena niat memulai shalat dengan takbīr yang kedua menyimpan pemutusan terhadap yang awal dan begitu seterusnya. Jika orang tersebut tidak berniat seperti itu, dan tidak ada penyela-nyelaan perkara yang membatalkan sama sekali seperti mengulang lafazh niat, maka takbīr setelah yang pertama adalah dzikir yang tidak membawa pengaruh apa-apa.
(وَ يَجِبُ إِسْمَاعُهُ) أَيِ التَّكْبِيْرِ، (نَفْسَهُ) إِنْ كَانَ صَحِيْحَ الْسَّمْعِ، وَ لَا عَارِضَ مِنْ نَحْوِ لَغَطٍ. (كَسَائِرِ رُكْنٍ قَوْلِيٍّ) مِنَ الْفَاتِحَةِ وَ التَّشَهُّدِ وَ السَّلَامِ. وَ يُعْتَبَرُ إِسْمَاعُ الْمَنْدُوْبِ الْقَوْلِيِّ لِحُصُوْلِ السُّنَّةِ. (وَ سُنَّ جَزْمُ رَائِهِ) أَيِ التَّكْبِيْرِ، خُرُوْجًا مَنْ خِلَافِ مَنْ أَوْجَبَهُ وَ جَهْرٌ بِهِ لِإِمَامٍ كَسَائِرِ تَكْبِيْرَاتِ الْاِنْتِقَالَاتِ، (وَ رَفْعُ كَفَّيْهِ) أَوْ إِحْدَاهُمَا إِنْ تَعَسَّرَ رَفْعُ الْأُخْرَى، (بِكَشْفٍ) أَيْ مَعَ كَشْفِهِمَا، وَ يُكْرَهُ خِلَافُهُ. وَ مَعَ تَفْرِيْقِ أَصَابِعِهِمَا تَفْرِيْقًا وَسَطًا، (خَذْوَ) أَيْ مُقَابِلَ (مِنْكَبَيْهِ) بِحَيْثُ يُحَاذِيَ أَطْرَافُ أَصَابِعِهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَ إِبْهَامَاهُ شُحْمَتَيْ أُذُنَيْهِ، وَ رَاحَتَاهُ مَنْكِبَيْهِ، لِلْاِتِّبَاعِ. وَ هذِهِ الْكَيْفِيَّةُ تُسَنُّ (مَعَ) جَمِيْعِ تَكْبِيْرِ (تَحَرُّمٍ) بِأَنْ يُقْرِنَهُ بِهِ ابْتِدَاءً وَ يُنْهِيْهِمَا مَعًا. (وَ) مَعَ (رُكُوْعٍ) لِلاِتِّبَاعِ الْوَارِدِ مِنْ طُرُقٍ كَثِيْرَةٍ. (وَ رَفْعٍ مِنْهُ) أَيْ مِنَ الرُّكُوْعِ. (وَ) رَفْعً (مِنْ تَشَهُّدٍ أَوَّلٍ) لِلاِتِّبَاعِ فِيْهِمَا. (وَ وَضْعُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ) وَ فَوْقَ سُرَّتِهِ لِلاِتِّبَاعِ. (آخِذًا بِيَمِيْنِهِ) كُوْعَ (يَسَارِهِ) وَ رَدُّهُمَا مِنَ الرَّفْعِ إِلَى تَحْتَ الصَّدْرِ أَوْلَى مِنْ إِرْسَالِهِمَا بِالْكُلِّيَّةِ، ثُمَّ اسْتِئْنَافِ رَفْعِهِمَا إِلَى تَحْتِ الصَّدْرِ. قَالَ الْمُتَولّي، وَ اعْتَمَدَهُ غَيْرُهُ: يَنْبَغِيْ أَنْ يَنْظُرَ قَبْلَ الرَّفْعِ وَ التَّكْبِيْرِ إِلَى مَوْضِعِ سُجُوْدِهِ وَ يُطْرِقَ رَأْسَهُ قَلِيْلًا ثُمَّ يَرْفَعَ.
(Wajib untuk memperdengarkan) takbīr (terhadap dirinya sendiri), jika pendengarannya normal dan tidak ada hal yang menghalangi seperti suara gaduh. (Kewajiban itu seperti halnya rukun-rukun lain yang diucapkan atau rukūn qaulī) yakni fātiḥah, tasyahhud dan salām. Mendengarkan bacaan yang sunnah dipertimbangkan untuk mendapatkan kesunnahan. (Disunnahkan untuk membaca sukūn dari rā’) lafazh takbir agar keluar dari perselisihan ‘ulamā’ yang mewajibkannya. Sunnah mengeraskan takbir bagi imām seperti takbīr-takbīr untuk berpindah rukun. (Sunnah mengangkat kedua telapak tangan) atau salah satunya jika yang lain sulit diangkat (dengan membuka keduannya). Dimakruhkan dengan selain cara itu, dan besertaan dengan merenggangkan jari-jari keduanya dengan renggang yang sedang, serta (sejajar) dengan (dua pundak) sekira ujung jari-jarinya sejajar di atas kedua telinganya dan kedua ibu jari sajajar pada putik telinga, sedang kedua telapak tangan sejajar pada dua pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w. Tata cara ini disunnahkan (besertaan) dengan seluruh takbīrat-ul-(iḥrām) dengan cara membarengkan permulaan mengangkat kedua tangan dengan permulaan takbīr dan mengakhir keduanya bersamaan. (Dan besertaan pula dengan rukū‘) sebab mengikuti Nabi s.a.w. dari hadits yang diriwayatkan oleh berbagai rawi yang sangat banyak, (beranjak dari) rukū‘, (bangun dari tasyahhud awal) sebab mengikuti Nabi s.a.w. dalam dua permasalahan tersebut. (Disunnahkan meletakkan keuda telapak tangan di bawah dada) dan di atas pusar sebab mengikuti Nabi s.a.w. (dengan posisi tangan kanan) meraih (pergelangan tangan kirinya). Mengembalikan kedua telapak tangan di bawah dada saat beranjak bangun, itu lebih utama dibanding dengan melepaskannya secara keseluruhan, kemudian mengulangi mengangkat kedua telapak tangan itu di bawah dada. Imām Mutawallī mengatakan – dan pendapat beliau dipakai pedoman oleh ‘ulamā’ lain – bahwa sebaiknya sebelum mengangkat kedua tangannya dan takbīr untuk melihat arah sujūdnya dan menundukkan sedikit kepalanya lalu baru mengangkat keduanya
(وَ) ثَالِثُهَا: (قِيَامُ قَادِرٍ) عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِغَيْرِهِ (فِيْ فَرْضٍ) وَ لَوْ مَنْدُوْرًا أَوْ مُعَادًا. وَ يَحْصُلُ الْقِيَامُ بِنَصْبِ فِقَارِ ظَهْرِهِ أَيْ عِظَامِهِ الَّتِيْ هِيَ مَفَاصِلُهُ وَ لَوْ بِاسْتِنَادٍ إِلَى شَيْءٍ بِحَيْثُ لَوْ زَالَ لَسَقَطَ. وَ يُكْرَهُ الْاِسْتِنَادُ لَا بِانْحِنَاءٍ إِنْ كَانَ أَقْرَبُ إِلَى أَقَلِّ الرُّكُوْعِ، إِنْ لَمْ يَعْجِزْ عَنْ تَمَامِ الْاِنْتِصَابِ. (وَ لِعَاجِزٍ شَقَّ عَلَيْهِ قِيَامٌ) بِأَنْ لَحِقَهُ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ بِحَيْثُ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً وَ ضَبَطَهَا الْإِمَامُ بِأَنْ تَكُوْنُ بِحَيْثُ يَذْهَبُ مَعَهَا خُشُوْعُهُ (صَلَاةٌ قَاعِدًا) كَرَاكِبِ سَفِيْنَةٍ خَافَ نَحْوَ دَوْرَانِ رَأْسٍ إِنْ قَامَ، وَ سَلِسٍ لَا يَسْتَمْسَكُ حَدَثَهُ إِلَّا بِالْقُعُوْدِ. وَ يَنْحَنِي الْقَاعِدُ لِلرُّكُوْعِ بِحَيْثُ تَحَاذِيْ جَبْهَتُهُ مَا قُدَّامَ رُكْبَتَيْهِ.
(Rukun shalat) yang ketiga adalah (berdiri bagi yang mampu) dengan diri sendiri atau bantuan orang lain (di dalam shalat yang fardhu) walaupun shalat yang dinadzari atau yang diulangi. Rukun berdiri ini dapat hasil terwujud dengan menegakkan tulang punggungnya walaupun bersandar pada sesuatu yang bila tidak ada, maka akan terjatuh, dan hukum bersandar adalah makruh. Tidak sah berdiri dengan cara membungkuk jika posisinya mendekati pada minimal rukū‘ bila ia masih mampu untuk dapat berdiri tegak dengan sempurna. (Sedangkan bagi orang lemah yang berat untuk berdiri) dengan kesulitan yang begitu berat sekira tidak dapat ditanggung secara adatnya . Imām al-Ḥaramain membatasi kesulitan tersebut dengan batasan sekira hal itu dapat menghilangkan kekhusyū‘an, (maka shalatnya dengan cara duduk) seperti penumpang kapal laut yang takut semacam pusing kepala jika berdiri, dan orang yang beser kencing yang tidak dapat menahan hadatsnya kecuali dengan duduk. Bagi orang yang shalat duduk, maka rukū‘-nya dengan membungkuk sekira keningnya sejajar dengan tempat yang berada di depan kedua lututnya.
[َ فرْع ٌ]: قَالَ شَيْخُنَا: يَجُوْزُ لِمَرِيْضٍ أَمْكَنَهُ الْقِيَامُ بِلَا مَشَقَّةٍ لَوِ انْفَرَدَ، لَا إِنْ صَلَّى فِيْ جَمَاعَةٍ إِلَّا مَعَ جُلُوْسٍ فِيْ بَعْضِهَا، الصَّلَاةُ مَعَهُمْ مَعَ الْجُلُوْسِ فِيْ بَعْضِهَا، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ الْاِنْفِرَادَ. وَ كَذَا إِذَا قَرَأَ الْفَاتِحَةَ فَقَطْ لَمْ يَقْعُدْ، أَوْ وَ السُّوْرَةَ قَعَدَ فِيْهَا جَازَ لَهُ قِرَاءَتُهَا مَعَ الْقُعُوْدِ، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ تَرْكَهَا. اِنْتَهَى.
(Cabangan Masalah). Guru kita berkata: Diperbolehkan bagi orang sakit yang mungkin untuk berdiri dengan tanpa kesulitan bila ia shalat sendiri – bukan bila jamā‘ah – kecuali dengan posisi duduk di sebagian shalatnya untuk melakukan shalat berjamā‘ah besertaan duduk di sebagian shalatnya – walaupun yang lebih utama baginya untuk shalat sendiri – . Begitu pula bagi seseorang ketika hanya dapat membaca surat al-Fātiḥah saja dengan tidak duduk atau membaca surat al-Qur’ān dengan duduk, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat al-Qur’ān dengan duduk walaupun yang lebih utama baginya adalah menginggalkannya – selesai.
وَ الْأَفْضَلُ لِلْقَاعِدِ الْاِفْتِرَاشُ، ثُمَّ التَّرَبُّعُ، ثُمَّ التَّوَرُّكُ، فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الصَّلَاةِ قَاعِدًا صَلَّى مُضْطَجِعًا عَلَى جَنْبِهِ، مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ بِوَجْهِهِ وَ مُقَدَّمِ بَدَنِهِ، وَ يُكْرَهُ عَلَى الْجَنْبِ الْأَيْسَرِ بِلَا عُذْرٍ. فَمُسْتَلْقِيًا عَلَى ظَهْرِهِ وَ أَخْمَصَاهُ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَ يَجِبُ أَنْ يَضَعَ تَحْتَ رَأْسِهِ نَحْوَ مِخَدَّةٍ لِيَسْتَقْبِلَ بِوَجْهِهِ الْقِبْلَةَ، وَ أَنْ يُوْمِىءَ إِلَى صَوْبِ الْقِبْلَةِ رَاكِعًا وَ سَاجِدًا، وَ بِالسُّجُوْدِ أَخْفَضُ مِنَ الْإِيْمَاءِ إِلَى الرُّكُوْعِ، إِنْ عَجَزَ عَنْهُمَا. فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ أَوْمَأَ بِأَجْفَانِهِ. فَإِنْ عَجَزَ، أَجْرَى أَفْعَالَ الصَّلَاةِ عَلَى قَلْبِهِ، فَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ الصَّلَاةُ مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا. وَ إِنَّمَا أَخَّرُوا الْقِيَامَ عَنْ سَابِقَيْهِ مَعَ تَقَدُّمِهِ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُمَا رُكْنَانِ حَتَّى فِي النَّفْلِ، وَ هُوَ رُكْنٌ فِي الْفَرِيْضَةِ فَقَطْ.
Yang lebih utama bagi seorang yang shalat dengan posisi duduk adalah duduk iftirāsy, lalu tarabbu‘ , kemudian tawarruk. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka shalat dengan cara tidur miring dengan sisi tubuh sebelah kanan serta menghadapkan wajah dan bagian depan tubuhnya ke qiblat. Makruh hukumnya tidur miring dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kiri tanpa ada alasan. Kemudian jika tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan posisi terlentang dan kedua telapak kakinya dihadapkan ke qiblat. Wajib untuk meletakkan semacam bantal di bawah kepalanya supaya wajahnya dapat menghadap qiblat dan wajib untuk memberi isyarat ke arah qiblat pada saat rukū‘, jika tidak mampu untuk melakukan rukū‘ dan sujūd. Bila tidak mampu memberi isyarat dengan kepalanya, maka dengan pelupuk mata. dan bila tidak mampu juga maka semua pekerjaan-pekerjaan shalat dilakukan dengan hatinya. Tidaklah gugur kewajiban melakukan shalat selama akalnya masih ada. Para ‘ulamā’ mengakhirkan rukun berdiri dari dua rukun yang mendahuluinya padahal rukun berdiri lebih dahulu dikerjakan dari keduanya sebab kedua rukun tersebut adalah dua rukun sampai pada shalat yang sunnah. Sedangkan berdiri merupakan rukun dalam shalat wajib saja.
(كَمُتَنَفِّلٍ) فَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ النَّفْلَ قَاعِدًا وَ مُضْطَجِعًا، مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ أَوِ الْقُعُوْدِ. وَ يَلْزَمُ الْمُضْطَجِعُ الْقُعُوْدَ لِلرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ، أَمَّا مُسْتَلْقِيًا فَلَا يَصِحُّ مَعَ إِمْكَانِ الْاِضْطِجَاعِ. وَ فِي الْمَجْمُوْعِ: إِطَالَةُ الْقِيَامِ أَفْضَلُ مِنْ تَكْثِيْرِ الرَّكَعَاتِ. وَ فِي الرَّوْضَةِ: تَطْوِيْلُ السُّجُوْدِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيْلِ الرُّكُوْعِ.
Seperti halnya orang yang melaksanakan shalat sunnah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan shalat sunnah dengan posisi duduk dan tidur miring besertaan mampu untuk berdiri atau duduk. Wajib bagi orang yang shalat dengan tidur miring untuk duduk ketika rukū‘ dan sujūd. Sedangkan tidur terlentang hukumnya tidaklah sah selama masih mungkin untuk tidur miring. Dalam majmū‘ disebutkan: Memanjangkan berdiri lebih utama di banding dengan memanjangkan rukū‘.
(وَ) رَابِعُهَا: (قِرَاءَةُ فَاتِحَةِ كُلُّ رَكْعَةٍ) فِيْ قِيَامِهَا، لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ: “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ”. أَيْ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ. (إِلَّا رَكْعَةَ مَسْبُوْقٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ فِيْهَا حَيْثُ لَمْ يُدْرِكْ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ مِنْ قِيَامِ الْإِمَامِ، وَ لَوْ فِيْ كُلِّ الرَّكَعَاتِ لِسَبْقِهِ فِي الْأُوْلَى وَ تَخَلُّفِ الْمَأْمُوْمِ عَنْهُ بِزَحْمَةٍ أَوْ نِسْيَانٍ أَوْ بُطْءِ حَرَكَةٍ، فَلَمْ يَقُمْ مِنَ السُّجُوْدِ فِيْ كُلٍّ مِمَّا بَعْدَهَا إِلَّا وَ الْإِمَامُ رَاكِعٍ، فَيَتَحَمَّلُ الْإِمَامُ الْمُتَطَهِّرُ فِيْ غَيْرِ الرَّكْعَةِ الزَّائِدَةِ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَقِيَّتَهَا عَنْهُ. وَ لَوْ تَأَخَّرَ مَسْبُوْقٌ لَمْ يَشْتَغِلْ بِسُنَّةٍ لِإِتْمَامِ الْفَاتِحَةِ فَلَمْ يُدْرِكِ الْإِمَامَ إِلَّا وَ هُوَ مُعْتَدِلٌ لَغَتْ رَكْعَتُهُ.
(Rukun shalat yang keempat adalah membaca surat al-Fātiḥah di setiap rakaat) pada waktu berdiri sebab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim: Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fātiḥah. Maksudnya di setiap raka‘at. (Kecuali rakaatnya ma’mūm tertinggal) maka tidaklah wajib baginya untuk membaca surat al-Fātiḥah sekira ma’mūm itu tidak menemukan waktu yang cukup untuk membaca surat al-Fātiḥah saat berdirinya imām, sekalipun hal tersebut terjadi di setiap rakaat awal dan tertinggalnya ma’mūm karena keadaan berdesakan, lupa, lambat gerakannya lalu ia tidak dapat berdiri dari sujūd berada pada posisi rukū‘, maka imam yang suci dan tidak berada pada rakaat tambahan akan menanggung al-Fātiḥah atau sisa al-Fātiḥah darinya. Jikalau ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan mengkhirkan diri dari imām untuk menyelesaikan al-Fātiḥah-nya lalu tidak menemui imām kecuali imām sudah dalam posisi i‘tidāl, maka raka‘atnya tidak dihitung.
(مَعَ بَسْمَلَةٍ) أَيْ مَعَ قِرَاءَةِ الْبَسْمَلَةِ فَإِنَّهَا آيَةٌ مِنْهَا، لِأَنَّهُ قَرَأَهَا ثُمَّ الْفَاتِحَةَ وَ عَدَّهَا آيَةً مِنْهَا. وَ كَذَا مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ غَيْرَ بَرَاءَة. (وَ) مَعَ (تَشْدِيْدَاتٍ) فِيْهَا، وَ هِيَ أَرْبَعُ عَشَرَةٍ، لِأَنَّ الْحَرْفَ الْمُشَدَّدَ بِحَرْفَيْنِ. فَإِذَا خُفِّفَ بَطَلَ مِنْهَا حَرْفٌ. (وَ) مَعَ (رِعَايَةِ حُرُوْفٍ) فِيْهَا، وَ هِيَ عَلَى قِرَاءَةِ مَلِكِ بِلَا أَلِفٍ مِائَةٌ وَ وَاحِدٌ وَ أَرْبَعُوْنَ حَرْفًا، وَ هِيَ مَعَ تَشْدِيْدَاتِهَا مِائةٌ وَ خَمْسَةٌ وَ خَمْسُوْنَ حَرْفًا. (وَ مَخَارِجُهَا) أَيِ الْحُرُوْف، كَمَخْرَجٍ ضَادٍ وَ غَيْرِهَا. فَلَوْ أَبْدَلَ قَادِرٌ أَوْ مَنْ أَمْكَنَهُ التَّعَلُّمُ حَرْفًا بِآخَرَ، وَ لَوْ ضَادًا بِظَاءٍ، أَوْ لَحَنَ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى، كَكَسْرِ تَاءِ أَنْعَمْتَ أَوْ ضَمِّهَا وَ كَسْرِ كَافِ إِيَّاكَ لَا ضَمِّهَا، فَإِنْ تَعَمَّدَ ذلِكَ وَ عَلِمَ تَحْرِيْمَهُ بَطُلَتْ صَلَاتُهُ، وَ إِلَّا فَقِرَاءَتُهُ. نَعَمْ. إِنْ أَعَادَهُ الصَّوَابَ قَبْلَ طُوْلِ الْفَصْلِ كَمَّلَ عَلَيْهَا. أَمَّا عَاجِزٌ لَمْ يُمْكِنْهُ التَّعَلُّمَ فَلَا تَبْطَلْ قِرَاءَتُهُ مُطْلَقًا، وَ كَذَا لَاحِنٌ لَحْنًا لَا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى، كَفَتْحِ دَالِ نَعْبُدُ، لكِنَّهُ إِنْ تَعَمَّدَ حَرُمَ، وَ إِلَّا كُرِهَ.
(Al-Fātiḥah tersebut haruslah besertaan dengan bacaan basmalah) sebab basmalah adalah sebagian ayat dari al-Fātiḥah dan Nabi s.a.w. sendiri juga membaca basmalah lalu membaca al-Fātiḥah dan Nabi menganggap basmalah sebagai ayat darinya. Begitu pula setiap ayat selain surat Barā’ah. (bersertaan dengan tasydīd-tasydīdnya). Jumlahnya ada 14, sebab huruf yang ditasydīd itu dihitung dua huruf. Maka jika huruf itu diringankan hilanglah satu huruf dari al-Fātiḥah, (besertaan menjaga huruf-hurufnya). Jumlahnya dengan membaca lafazh (مَلِكِ) tanpa alif adalah 141 huruf dan bila ditambah tasydīd-nya, maka jumlah totalnya adalah 155 huruf, (dan menjaga tempat keluarnya huruf) seperti makhraj (ضَاد) dan selainnya. Jikalau seseorang yang mampu atau mungkin untuk belajar mengganti satu huruf dengan huruf yang lain walaupun (ضَاد) dengan (ظَاء) atau keliru dalam membaca dengan kekeliruan yang dapat merubah makna seperti membaca kasrah tā’ dari lafazh (أَنْعَمْتَ) atau membaca dhammah dan meng-kasrah lafazh (إِيَّاكَ), bukan mendhammahnya, maka jika ia menyengaja hal itu dan tahu keharamannya batallah shalatnya. Jika tidak sengaja atau tidak tahu keharamannya, maka yang batal hanyalah bacaannya. Benar batal bacaannya, jika seseorang tersebut mengulangi dengan benar sebelum pemisah yang lama, maka diperbolehkan untuk menyempurnakan bacaannya. Sedangkan orang yang tidak mampu untuk belajar maka tidaklah batal bacaannya secara mutlak, begitu pula keliru bacaan yang tidak merubah makna seperti membaca fatḥah lafazh (دَال) dari (نَعْبُدُ) namun jika disengaja hukumnya haram dan bila tidak hukumnya makruh.
وَ وَقَعَ خِلَافٌ بَيْنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ فِي الْهَمْدُ للهِ بِالْهَاءِ وَ فِي النُّطْقِ بِالْقَافِ الْمُتَرَدِّدَةِ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الْكَافِ. وَ جَزَمَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنهَاجِ بِالْبُطْلَانِ فِيْهِمَا إِلَّا إِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ التَّعَلُّمُ قَبْلَ خُرُوْجِ الْوَقْتِ. لكِنْ جَزَمَ بِالصِّحَّةِ فِي الثَّانِيَةِ شَيْخُهُ زَكَرِيَّا، وَ فِي الْأُوْلَى الْقَاضِيْ وَ ابْنُ الرِّفْعَةِ. وَ لَوْ خَفَّفَ قَادِرٌ أَوْ عَاجِزٌ مُقَصِّرٌ مُشَدَّدًا كَأَنْ قَرَأَ اَلْ رَحْمنِ بِفَكِّ الْإِدْغَامِ بَطَلَتْ صَلَاتَهُ إِنْ تَعَمَّدَ وَ عَلِمَ، وَ إِلَّا فَقِرَاءَتُهُ لِتِلْكَ الْكَلِمَةِ. وَ لَوْ خَفَّفَ إِيَّاكَ، عَامِدًا عَالِمًا مَعْنَاهُ، كَفَرَ لِأَنَّهُ ضَوْءُ الشَّمْسِ، وَ إِلَّا سَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَ لَوْ شَدَّدَ مُخَفَّفًا صَحَّ، وَ يَحْرُمُ تَعْمُّدُهُ كَوَقْفَةٍ لَطِيْفَةٍ بَيْنَ السِّيْنِ وَ التَّاءِ مِنْ نَسْتَعِيْنَ.
Terjadi perbedaan pendapat di antara ‘ulamā’ kurun awal dan kurun akhir di dalam (الْهَمْدُ للهِ) dengan menggunakan (ه) dan di dalam mengucapkan (القَاف) dengan makhraj di antara (ق) dan (ك). Guru kita telah memutuskan dalam kitab syarḥ minhāj-nya dengan hukum batal di dalam dua kasus di atas, kecuali bagi orang yang sulit untuk belajar sebelum keluarnya waktu shalat. Namun gurunya guru kita; Imām Zakariyyā memutuskan hukum sah pada kasus kedua, al-Qādhī dan Ibnu Rif‘ah menghukumi sah pada kasus awal. Jikalau seorang yang mampu atau tidak mampu, namun ceroboh meringankan huruf yang bertasydīd seperti membaca (اَلْ رَحْمنِ) dengan tanpa meng-idghām-kan, maka batallah shalatnya jika ia menyengaja dan mengetahui keharamannya, dan jika tidak sengaja dan mengetahui, maka yang batal hanyalah bacaan dari kalimat itu. Jikalau seseorang meringankan bacaan (إِيَّاكَ) dengan sengaja dan mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir sebab makna dari lafazh tersebut menjadi sinar matahari, dan jika tidak maka dianjurkan melakukan sujud sahwi. Jikalau lafazh yang ringan ditasydīd, maka sah shalatnya namun hukumnya haram bila disengaja seperti keharaman diam sebentar di antara huruf (السِّيْن) dan (التَّاء) dari lafazh (نَسْتَعِيْنَ).
Selanjutnya klik disini
1 | 2 |3 |4 |5 |6 |7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar