Senin, 15 Juli 2019

Fathul muin syarat solat

.TENTANG ISTINJĀ’
Dikutip dari https://hatisenang.com/
( ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﺟْﺘِﻨَﺎﺏُ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲِ‏) ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻭَ ﻣَﺤَﻠُّﻪُ ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮ ﺍﻟﺘَّﻀَﻤُّﺦِ ﺑِﻪِ ﻓِﻲْ ﺑَﺪَﻥٍ ﺃَﻭْ ﺛَﻮْﺏٍ، ﻓَﻬُﻮَ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﺑِﻠَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔٍ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺬَﺭٌ، ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﺻِﺤَّﺔَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺣَﻴْﺚَ ﻟَﺎ ﻣُﺮَﺧِّﺺَ، ﻓَﻬُﻮَ ‏(ﻛَﺮَﻭْﺙٍ ﻭَ ﺑَﻮْﻝٍ ﻭَ ﻟَﻮْ‏) ﻛَﺎﻧَﺎ ﻣِﻦْ ﻃَﺎﺋﺮٍ ﻭَ ﺳَﻤَﻚٍ ﻭَ ﺟَﺮَﺍﺩٍ ﻭَ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻧَﻔْﺲَ ﻟَﻪُ ﺳَﺎﺋِﻠَﺔٌ، ﺃَﻭْ ‏( ﻣِﻦْ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ‏) ﻟَﺤْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ. ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺈِﺻْﻄَﺨْﺮِﻱُّ ﻭَ ﺍﻟﺮَّﻭْﻳَﺎﻧِﻲُّ ﻣِﻦْ ﺃَﺋِﻤَّﺘِﻨَﺎ، ﻛَﻤَﺎﻟِﻚٍ ﻭَ ﺃَﺣْﻤَﺪَ: ﺇِﻧَّﻬُﻤَﺎ ﻃَﺎﻫِﺮَﺍﻥِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺄْﻛُﻮْﻝِ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺭَﺍﺛَﺖْ ﺃَﻭْ ﻗَﺎﺀَﺕْ ﺑَﻬِﻴْﻤَﺔٌ ﺣَﻴًّﺎ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺻُﻠْﺒًﺎ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻟَﻮْ ﺯُﺭِﻉَ ﻧَﺒَﺖَ، ﻓَﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲٌ ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﻭَ ﻳُﺆﻛَﻞُ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻨَﺠِﺲٌ. ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳُﺒَﻴِّﻨُﻮْﺍ ﺣُﻜْﻢَ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺤَﺐِّ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﻈْﻬَﺮُ ﺃَﻧَّﻪُ ﺇِﻥْ ﺗَﻐَﻴَّﺮَ ﻋَﻦْ ﺣَﺎﻟِﻪِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﺒَﻠْﻊِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻳَﺴِﻴْﺮًﺍ ﻓﻨَﺠِﺲٌ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲ. ﻭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ ﻋَﻦْ ﺷَﻴْﺦِ ﻧَﺼْﺮِ: ﺍﻟْﻌَﻔْﻮُ ﻋَﻦْ ﺑَﻮْﻝِ ﺑَﻘَﺮِ ﺍﻟﺪِّﻳَﺎﺳَﺔِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﺐِّ. ﻭَ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺠُﻮَﻳْﻨِﻲِّ: ﺗَﺸْﺪِﻳْﺪُ ﺍﻟﻨَّﻜِﻴْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺒَﺤْﺚِ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮِﻩِ. ﻭَ ﺑَﺤَﺚَ ﺍﻟْﻔَﺰَﺍﺭِﻱُّ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺮِ ﺍﻟْﻔَﺄْﺭَﺓِ ﺇِﺫَﺍ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺋِﻊٍ ﻭَ ﻋَﻤَّﺖِ ﺍﻟْﺒَﻠْﻮَﻯ ﺑِﻪِ. ﻭَ ﺃَﻣَّﺎ ﻣَﺎ ﻳُﻮْﺟَﺪُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﺭَﻕِ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟﺸَّﺠَﺮِ ﻛَﺎﻟﺮّﻏْﻮَﺓِ ﻓَﻨَﺠِﺲٌ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺑَﺎﻃِﻦِ ﺑْﻌْﺾِ ﺍﻟﺪِّﻳْﺪَﺍﻥِ، ﻛَﻤَﺎ ﺷُﻮْﻫِﺪَ ﺫﻟِﻚَ ﻭَ ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟْﻌَﻨْﺒَﺮُ ﺭَﻭْﺛًﺎ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺯَﻋَﻤَﻪُ، ﺑَﻞْ ﻫُﻮَ ﻧَﺒَﺎﺕٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ .
(Tidak wajib menghindari najis) di selain shalat,  selagi orang tersebut tidak sengaja melumuri tubuh atau bajunya dengan najis, maka hukumnya haram. Najis secara syara‘ adalah sesuatu yang menjijikkan yang dapat mencegah keabsahan shalat sekira tidak mendapat keabsahan shalat sekira tidak mendapat dispensasi.  (Najis itu seperti kotoran hewan dan air kencing) walaupun keduanya dari burung, ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, (atau dari hewan yang halal dimakan dagingnya) menurut pendapat yang Ashaḥ. Imām Isthahrī dan Rauyānī dari ulama’ kita Shāfi‘iyyah  seperti halnya madzhab Mālik dan Aḥmad mengatakan bahwa kotoran dan kencing hewan dari hewan yang halal dimakan dagingnya keduanya suci. Kalau seandainya ada hewan yang mengeluarkan kotoran dan memuntahkan sebuah biji dan biji tersebut masih keras sekira bila ditanam masih dapat tumbuh, maka hukumnya mutanajjis yang dapat menjadi suci dengan dibasuh dan dapat dimakan, jika tidak seperti itu maka hukumnya najis. Para ulama’ tidak menjelaskan hukum selain biji-bijian,  guru kita berkata: Kejelasannya, jika selain biji tersebut berubah dari bentuk awalnya sebelum ditelan, walaupun dengan sedikit perubahan, maka hukumnya najis dan jika tidak berubah, maka hukumnya mutanajjis. Dalam Majmū‘ -nya disebutkan permasalahan yang dikutib dari Syaikh Nashir: Bahwa biji- bijian yang terkena air kencing sapi yang digunakan untuk menggiling, hukumnya diampuni, dikutip pula dari Imām Juwainī bahwa beliau sangat mengingkari atas pembahasan dan sucinya biji tersebut. Imām al-Fazārī juga membahas tentang diampuninya kotoran tikus ketika kotoran itu jatuh ke dalam benda cair dan hal itu umum terjadi. Sedangkan benda yang ditemukan di sebagian daun pepohonan seperti halnya buih, hukumnya adalah najis sebab buih tersebut keluar dari batin sebagian ulat seperti realita yang telah disaksikan. ‘Anbar bukanlah kotoran, sedang sebagian ulama’ mengira hal itu, bahkan ‘Anbar adalah rumput laut.
( ﻭَ ﻣَﺬِﻱٍّ‏) ﺑِﻤُﻌْﺠَﻤَﺔٍ، ﻟِﻠْﺄَﻣْﺮِ ﺑِﻐُﺴْﻞِ ﺍﻟﺬَّﻛَﺮِ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎﺀٌ ﺃَﺑْﻴَﺾٌ ﺃَﻭْ ﺃَﺻْﻔَﺮٌ ﺭَﻗِﻴْﻖٌ، ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﻋِﻨْﺪَ ﺛَﻮْﺭَﺍﻥِ ﺍﻟﺸَّﻬْﻮَﺓِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﺷَﻬْﻮَﺓٍ ﻗَﻮِﻳَّﺔٍ. ‏( ﻭَ ﻭَﺩِﻱٍّ‏) ﺑِﻤُﻬْﻤَﻠَﺔٍ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎﺀٌ ﺃَﺑْﻴَﺾٌ ﻛَﺪِﺭٌ ﺛَﺨِﻴْﻦٌ، ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﻋَﻘِﺐَ ﺍﻟْﺒَﻮْﻝِ ﺃَﻭْ ﻋِﻨْﺪَ ﺣَﻤْﻞِ ﺷَﻲْﺀٍ ﺛَﻘِﻴْﻞٍ. ‏( ﻭَ ﺩَﻡٍ‏) ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺤْﻮِ ﻋَﻈْﻢٍ، ﻟﻜِﻨَّﻪُ ﻣَﻌْﻔُﻮٌّ ﻋَﻨْﻪُ. ﻭَ ﺍﺳْﺘَﺜْﻨُﻮْﺍ ﻣِﻨْﻪُ ﺍﻟْﻜَﺒِﺪَ ﻭَ ﺍﻟﻄِّﺤَﺎﻝَ ﻭَ ﺍﻟْﻤِﺴْﻚَ، ﺃَﻱْ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣِﻦْ ﻣَﻴِّﺖٍ، ﺇِﻥِ ﺍﻧْﻌَﻘَﺪَ. ﻭَ ﺍﻟْﻌَﻠَﻘَﺔُ ﻭَ ﺍﻟْﻤُﻀْﻐَﺔَ، ﻭَ ﻟَﺒَﻨًﺎ ﺧَﺮَﺝَ ﺑِﻠَﻮْﻥِ ﺩَﻡٍ، ﻭَ ﺩَﻡُ ﺑَﻴْﻀَﺔٍ ﻟَﻢْ ﺗَﻔْﺴُﺪْ. ‏( ﻭَ ﻗَﻴْﺢٍ‏) ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺩَﻡٌ ﻣُﺴْﺘَﺤِﻴْﻞٌ، ﻭَ ﺻَﺪِﻳْﺪٌ: ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎﺀٌ ﺭَﻗِﻴْﻖٌ ﻳُﺨَﺎﻟِﻄُﻪُ ﺩَﻡٌ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻣَﺎﺀُ ﺟُﺮْﺡٍ ﻭَﺟُﺪْﺭِﻱٍّ ﻭَ ﻧَﻔَﻂٍ ﺇِﻥْ ﺗَﻐَﻴَّﺮَ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻤَﺎﺅُﻫَﺎ ﻃَﺎﻫِﺮٌ ‏( ﻭَ ﻗَﻲْﺀِ ﻣَﻌِﺪَﺓٍ‏) ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮْ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﺍﻟﺮَّﺍﺟِﻊُ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻮُﺻُﻮْﻝِ ﻟِﻠْﻤَﻌْﺪَﺓِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﺎﺀً، ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮَّﺍﺟِﻊُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻮُﺻُﻮْﻝِ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻳَﻘِﻴْﻨًﺎ ﺃَﻭِ ﺍﺣْﺘﻤَﺎﻟًﺎ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﻧَﺠِﺴًﺎ ﻭَ ﻟَﺎ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺴًﺎ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻠْﻘَﻔَّﺎﻝِ. ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺼَّﺒِﻲِّ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺑْﺘُﻠِﻲَ ﺑِﺘَﺘَﺎﺑُﻊِ ﺍﻟْﻘَﻲْﺀِ ﻋُﻔِﻲَ ﻋَﻦْ ﺛَﺪْﻱِ ﺃُﻣِّﻪِ ﺍﻟﺪَّﺍﺧِﻞِ ﻓِﻲْ ﻓِﻴْﻪِ، ﻟَﺎ ﻋَﻦْ ﻣُﻘَﺒِّﻠِﻪِ ﺃَﻭْ ﻣُﻤَﺎﺳِّﻪِ، ﻭَ ﻛَﻤِﺮَّﺓٍ ﻭَ ﻟَﺒَﻦٍ ﻏَﻴْﺮِ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺂﺩَﻣِﻲِّ، ﻭَ ﺟِﺮَّﺓِ ﻧَﺤْﻮِ ﺑَﻌِﻴْﺮٍ. ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻤَﻨِﻲُّ ﻓَﻄَﺎﻫِﺮٌ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻤَﺎﻟِﻚٍ. ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﺑُﻠْﻐَﻢٌ ﻏَﻴْﺮُ ﻣَﻌْﺪَﺓٍ ﻣِﻦْ ﺭَﺃْﺱِ ﺃَﻭْ ﺻَﺪْﺭٍ ﻭَ ﻣَﺎﺀُ ﺳَﺎﺋِﻞٍ ﻣِﻦْ ﻓَﻢِ ﻧَﺎﺋِﻢٍ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻧَﺘْﻨًﺎ ﺃَﻭْ ﺃَﺻْﻔَﺮَ، ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﺤَﻘَّﻖْ ﺃَﻧَّﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺪَﺓٍ، ﺇِﻟَّﺎ ﻣِﻤَّﻦْ ﺍﺑْﺘُﻠِﻲَ ﺑِﻪِ ﻓَﻴُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ .
(Najis itu seperti halnya madzi) sebab perintah untuk membasuh dzakar dari madzi tersebut. Madzi adalah air berwarna putih atau kuning yang bersifat cari. Secara umum keluar ketika syahwat naik, namun tidak terlalu kuat. Begitu pula wadi, yakni air berwarna putih, keruh dan kental, secara umum keluar setelah selesai kencing atau saat membawa barang yang berat. (Dan seperti darah) sampai darah yang tersisa pada semacam tulang, namun hukumnya di- a‘fuw . Para ulama’ mengecualikan dari darah adalah hati, limpa, misik – walaupun misik tersebut dari kijang yang mati bila misik tersebut mengental, darah dan daging kempal, air susu  yang keluar dengan warna darah, dan darah telur yang belum rusak. (Dan seperti nanah), sebab nanah adalah darah yang telah berubah bentuk dan shadīd yakni cairan yang bercampur darah. Begitu pula cairan dari luka, cairan dari cacar, cairan dari tubuh yang melepuh jika semua cairan tersebut telah berubah. (Dan seperti muntahan dari lambung),  walaupun tidak berubah, yakni sesuatu yang kembali setelah sampai pada lambung walaupun berupa air. Sedangkan sesuatu yang kembali sebelum sampai pada lambung secara yakin atau kemungkinan hukumnya tidaklah najis dan juga tidak mutanajjis, berbeda dengan pendapat Imām al-Qaffāl. Guru kita telah berfatwa bahwa ketika seorang anak kecli diuji dengan selalu muntah, maka puting susu ibunya yang masuk ke dalam mulut anak tersebut di- ma‘fuw , tidak dari orang yang menciumnya atau menyentuhnya. Dan seperti empedu, susu hewan yang tidak halal dimakan dagingnya kecuali dari manusia, dan makanan mamahan yang kedua kali dari semacam unta. Sedangkan mani hukumnya adalah suci, (8 8) berbeda dengan pendapat Imām Mālik. (9 9) Begitu pula suci air lendir yang keluar selain dari lambung yakni dari kepala atau dada dan air liur dari orang yang tidur walaupun sangat busuk atau berwarna kuning selama tidak jelas bahwa air liur tersebut tidak berasal dari lambung, kecuali bagi orang yang diuji  dengan hal tersebut maka hukumnya di- ma‘fuw walaupun sangat banyak.
ﻭَ ﺭُﻃُﻮْﺑَﺔِ ﻓَﺮْﺝٍ، ﺃَﻱْ ﻗُﺒُﻞٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ. ﻭَ ﻫِﻲَ ﻣَﺎﺀٌ ﺃَﺑْﻴَﺾُ ﻣُﺘَﺮَﺩِّﺩٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺬْﻱِ ﻭَ ﺍﻟْﻌِﺮْﻕِ، ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺑَﺎﻃِﻦِ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻠُﻪُ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﻣَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻠُﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻃَﺎﻫِﺮٌ ﻗَﻄْﻌًﺎ، ﻭَ ﻣَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺀِ ﺑَﺎﻃِﻦِ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻧَﺠِﺲٌ ﻗَﻄْﻌًﺎ، ﻛَﻜُﻞِّ ﺧَﺎﺭِﺝٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻦِ، ﻭَ ﻛَﺎﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﺨَﺎﺭِﺝِ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﻮَﻟَﺪِ ﺃَﻭْ ﻗَﺒْﻠَﻪُ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻓَﺮْﻕَ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻧْﻔِﺼَﺎﻟِﻬَﺎ ﻭَ ﻋَﺪَﻣِﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤَﺪِ. ﻗَﺎﻝَ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ: ﺍﻟْﻔَﺮْﻕُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺮُّﻃُﻮْﺑَﺔِ ﺍﻟﻄَّﺎﻫِﺮَﺓِ ﻭَ ﺍﻟﻨَّﺠِﺴَﺔِ ﺍﻟْﺎِﺗِّﺼَﺎﻝُ ﻭَ ﺍﻟْﺎِﻧْﻔِﺼَﺎﻝُ. ﻓَﻠَﻮِ ﺍﻧْﻔَﺼَﻠَﺖْ، ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟْﻜِﻔَﺎﻳَﺔِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻧَﺠِﺴَﺔٌ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﻏُﺴْﻞُ ﺫَﻛَﺮِ ﺍﻟْﻤُﺠَﺎﻣِﻊِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﻴْﺾِ ﻭَ ﺍﻟْﻮَﻟَﺪِ .
Dihukumi suci air yang membasahi vagina – keputihan – menurut pendapat yang ashaḥ , yakni air yang berwarna putih yang bersifat di antara madzi dan keringat, keluar dari dalam vagina yang tidak wajib untuk dibasuh.  Berbeda bila keluar dari anggota yang wajib dibasuh, maka hukumnya pasti suci. Cairan yang keluar dari bagian paling dalam vagina hukumnya pasti najis seperti setiap hal yang keluar dari bagian dalam. Dan seperti air yang keluar besertaan anak yang dilahirkan atau sebelumnya. Tidak ada perbedaan di antara terpisahnya cairan tersebut dan tidaknya menurut pendapat yang mu‘tamad . Sebagian ulama’ mengatakan bahwa perbedaan antara cairan yang suci dan yang najis adalah bertemu dan terpisahnya cairan itu, maka jika cairan tersebut terpisah maka dalam kitab Kifāyah dari Imām Ḥaramain hukumnya adalah najis. Tidak wajib untuk membasuh dzakar  seorang yang menyetubuhinya, membasuh telur dan anak.
ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﺑِﺎﻟْﻌَﻔْﻮِ ﻋَﻦْ ﺭُﻃُﻮْﺑَﺔِ ﺍﻟْﺒَﺎﺳُﻮْﺭِ ﻟِﻤُﺒْﺘَﻠِﻲْ ﺑِﻬَﺎ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﺑِﻴْﺾِ ﻏَﻴْﺮِ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ، ﻭَ ﻳَﺤِﻞُّ ﺃَﻛْﻠُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ. ﻭَ ﺷَﻌْﺮِ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ ﻭَ ﺭِﻳْﺸِﻪِ ﺇِﺫَﺍ ﺃُﺑِﻴْﻦَ ﻓِﻲْ ﺣَﻴَﺎﺗِﻪِ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺷَﻚَّ ﻓِﻲْ ﺷَﻌْﺮٍ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮِﻩِ، ﺃَﻫُﻮَ ﻣِﻦْ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ ﺃَﻭْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ؟ ﺃَﻭْ ﻫَﻞِ ﺍﻧْﻔَﺼَﻞَ ﻣِﻦْ ﺣَﻲِّ ﺃَﻭْ ﻣَﻴِّﺖٍ؟ ﻓَﻬُﻮَ ﻃَﺎﻫِﺮٌ، ﻭَ ﻗِﻴَﺎﺳُﻪُ ﺃَﻥِ ﺍﻟْﻌَﻈْﻢَ ﻛَﺬﻟِﻚَ. ﻭَ ﺑِﻪِ ﺻَﺮَّﺡَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﻫِﺮِ. ﻭَ ﺑِﻴْﺾُ ﺍﻟْﻤَﻴْﺘَﺔِ ﺇِﻥْ ﺗَﺼَﻠَّﺐَ ﻃَﺎﻫِﺮٌ ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻨَﺠِﺲٌ. ﻭَ ﺳُﺆْﺭُ ﻛُﻞِّ ﺣَﻴَﻮَﺍﻥٍ ﻃَﺎﻫِﺮٍ ﻃَﺎﻫِﺮٌ، ﻓَﻠَﻮْ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﻓَﻤُﻪُ ﺛُﻢَّ ﻭَﻟَﻎَ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻣَﺎﺋِﻊٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻌْﺪَ ﻏَﻴْﺒَﺔٍ ﻳُﻤْﻜِﻦُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻃَﻬَﺎﺭَﺗُﻪُ ﺑِﻮُﻟُﻮْﻏِﻪِ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﻛَﺜِﻴْﺮٍ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺭٍ ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺠِّﺴْﻪُ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻫِﺮًّﺍ ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻧَﺠَّﺴَﻪُ .
Guru kita berfatwa bahwa cairan dari penyakit bawasir hukumnya diampuni bagi seorang yang diuji dengan hal itu, begitu pula telur hewan yang tidak halal dimakan dagingnya, dan halal untuk memakannya menurut pendapat yang Ashaḥ .  Dan suci pula rambut dari hewan yang halal dimakan dagingnya begitu pula bulu-bulunya yang dicabut di waktu hidupnya. Jikalau terjadi keraguan di dalam rambut atau sejenisnya, apakah dari hewan yang halal dimakan dagingnya atau tidak atau apakah terpisah dari hewan yang masih hidup atau telah mati maka hukumnya suci. Begitu pula disamakan dengan kasus tersebut adalah tulangnya, seperti yang telah dijelaskan Imām Qamullī dalam kitab Jawāhir -nya. Telur dari bangkai bila masih dalam keadaan keras, maka hukumnya suci dan bila tidak, maka najis. Air minum sisa dari hewan yang suci hukumnya adalah suci. Jika mulut hewan tersebut najis, lalu hewan tersebut menjilati air yang jumlahnya sedikit, maka bila kasus tersebut terjadi setelah perginya hewan itu dalam jangka waktu yang mungkin untuk sucinya mulutnya dengan menjilat air yang banyak atau yang mengalir, maka hukumnya tidak najis walaupun hewan tersebut itu kucing dan bila tidak demikian itu maka hukumnya najis.
ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﻛَﺎﻟﺴُّﻴُﻮْﻃِﻲِّ، ﺗَﺒْﻌًﺎ ﻟِﺒَﻌْﺾِ ﺍﻟْﻤَﺘَﺄَﺧِّﺮِﻳْﻦَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﻳَﺴِﻴْﺮٍ ﻋُﺮْﻓًﺎ، ﻣِﻦْ ﺷَﻌْﺮٍ ﻧَﺠِﺲٍ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﻣُﻐَﻠَّﻆٍ، ﻭَ ﻣِﻦْ ﺩُﺧَﺎﻥِ ﻧَﺠَﺎﺳَﺔٍ، ﻭَ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺭِﺟْﻞِ ﺫُﺑَﺎﺏٍ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺭُﺅْﻱَ، ﻭَ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻨْﻔَﺬِ ﻏَﻴْﺮِ ﺁﺩَﻣِﻲٍّ ﻣِﻤَّﺎ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﺫَﺭْﻕِ ﻃُﻴُﺮٍ ﻭَ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻓَﻤِﻪِ، ﻭَﺭَﻭْﺙِ ﻣﺎ ﻧَﺸْﺆُﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺃَﻭْ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻭْﺭَﺍﻕِ ﺷَﺠَﺮِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَﺟِﻴْﻞِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺗُﺴْﺘَﺮُ ﺑِﻬَﺎ ﺍﻟْﺒُﻴُﻮْﺕُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﻔْﻄِﺮِ ﺣَﻴْﺚُ ﻳَﻌْﺴُﺮُ ﺻَﻮْﻥُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻋَﻨْﻪُ. ﻗَﺎﻝَ ﺟَﻤْﻊٌ: ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻣَﺎ ﺗُﻠْﻘِﻴْﻪِ ﺍﻟْﻔَﺌْﺮَﺍﻥُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﻭْﺙِ ﻓِﻲْ ﺣِﻴَﺎﺽِ ﺍﻟْﺄَﺧْﻠِﻴَﺔِ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻢَّ ﺍﻟْﺎِﺑْﺘِﻠَﺎﺀُ ﺑِﻪِ، ﻭَ ﻳُﺆَﻳّﺪُﻩُ ﺑَﺤْﺚُ ﺍﻟْﻔَﺰَﺍﺭِﻱْ، ﻭَ ﺷَﺮْﻁُ ﺫﻟِﻚَ ﻛُﻠُّﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳُﻐَﻴِّﺮَ. ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ. ﻭَ ﺍﻟﺰَّﺑَﺎﺩُ ﻃَﺎﻫِﺮٌ ﻭَ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﻗَﻠِﻴْﻞِ ﺷَﻌْﺮِﻩِ ﻛَﺎﻟﺜَّﻠَﺎﺙِ. ﻛَﺬَﺍ ﺃَﻃْﻠَﻘُﻮْﻩُ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳُﺒَﻴِّﻨُﻮْﺍ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩَ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺄْﺧُﻮْﺫِ ﻟِﻠْﺎِﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻝِ ﺃَﻭْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﻧَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﺄْﺧُﻮْﺫِ ﻣِﻨْﻪُ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳُﺘَّﺠَﻪُ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺟَﺎﻣِﺪًﺍ، ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﻌِﺒْﺮَﺓَ ﻓِﻴْﻪِ ﺑِﻤَﺤَﻞِّ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ ﻓَﻘَﻂْ، ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺜُﺮَﺕْ ﻓِﻲْ ﻣَﺤَﻞٍ ﻭَﺍﺣِﺪٍ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻒَ ﻋَﻨْﻪُ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻋُﻔِﻲَ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﺍﻟْﻤَﺎﺋِﻊِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺟَﻤِﻴْﻌَﻪُ ﻛَﺎﻟﺸَّﻲْﺀِ ﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪِ. ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﻞَّ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮُ ﻓِﻴْﻪِ ﻋُﻔِﻲَ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻠَﺎ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻧَﻈَﺮَ ﻟِﻠْﻤَﺄْﺧُﻮْﺫِ ﺣِﻴْﻨَﺌِﺬٍ. ﻭَ ﻧَﻘَﻞَ ﺍﻟْﻤُﺤِﺐُّ ﺍﻟﻄَّﺒَﺮِﻱُّ ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺍﻟﺼَّﺒَّﺎﻍِ ﻭَ ﺍﻋْﺘَﻤَﺪَﻩُ، ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺟِﺮَّﺓِ ﺍﻟْﺒَﻌِﻴْﺮِ ﻭَ ﻧَﺤْﻮَﻩُ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻨَﺠِّﺲُ ﻣَﺎ ﺷَﺮِﺏَ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﺃُﻟْﺤِﻖَ ﺑِﻪِ ﻓَﻢُّ ﻣَﺎ ﻳَﺠْﺘَﺮُّ ﻣِﻦْ ﻭَﻟَﺪِ ﺍﻟْﺒَﻘَﺮَﺓِ ﻭَ ﺍﻟﻀَّﺄْﻥِ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻟْﺘَﻘَﻢَ ﺃَﺧْﻠَﺎﻑَ ﺃُﻣِّﻪِ. ﻭَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﺑْﻦُ ﺍﻟﺼَّﻠَّﺎﺡِ: ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻤَّﺎ ﺍﺗَّﺼَﻞَ ﺑِﻪِ ﺷَﻲْﺀٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻓْﻮَﺍﻩِ ﺍﻟﺼِّﺒْﻴَﺎﻥِ ﻣَﻊَ ﺗَﺤَﻘُّﻖِ ﻧَﺠَﺎﺳَﺘِﻬَﺎ، ﻭَ ﺃَﻟْﺤِﻖَ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﺑِﻬِﻢْ ﺃَﻓْﻮَﺍﻩَ ﺍﻟْﻤَﺠَّﺎﻧِﻴْﻦَ. ﻭَ ﺟَﺰَﻡَ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺰَّﺭْﻛَﺸِﻲُّ .
Guru kita seperti halnya Imām Suyūthī sebab mengikuti sebagian ulama’ kurun akhir mengatakan: Hukumnya di- ma‘fuw -kan dari sedikitnya najis secara umumnya, yakni dari sedikitnya rambut najis selain dari najis mughallazhah, dari asap yang najis, dari najis yang melekat di kaki lalat walaupun dapat terlihat dengan mata, najis yang berada pada lubang keluarnya kotoran selain manusia yakni dari sesuatu yang keluar dari lubang tersebut, kotoran burung dan yang berada pada mulutnya, kotoran dari hewan yang muncul dari air atau kotoran yang muncul di antara dedaunan pohon kelapa yang digunakan sebagai atap rumah pelindung hujan sekira sulit untuk menghindari air dari kotoran hewan itu. Sekelompok ulama’ mengatakan: Begitu pula kotoran dari hewan tikus yang berada pada tempat air di WC, jika telah umum terjadi. Hal itu dikuatkan dengan pembahasan Imām al-Fazārī. Syarat di- ma‘fuw -nya keseluruhan permasalahan di atas, bila najis tersebut mengenai air  adalah tidak merubah sifat air.  Keringat atau susu musang kasturi hukumnya suci dan sedikit rambutnya seperti tiga helai di- ma‘fuw . Begitulah para ulama’ memutlakkan permasalahan di atas tanpa menjelaskan yang dikehendaki dari sedikitnya itu apakah rambut yang berada pada keringat/susu yang akan digunakan atau rambut yang berada pada wadah tempat diambilnya susu tersebut. Guru kita mengatakan bahwa yang lebih unggul adalah permasalahan yang awal jika susu/keringat tersebut telah padat, sebab yang dipertimbangkan adalah tempat yang terkena najis saja. Jika terdapat najis dengan jumlah yang banyak pada satu tempat, maka hukumnya tidak diampuni dan bila tidak satu tempat hukumnya diampuni, berbeda dengan benda cair, sebab seluruh benda tersebut seperti satu kesatuan. Jika rambut di dalam benda cair itu sedikit, maka diampuni, bila tidak demikian, maka tidak diampuni, dan tentunya saat benda tersebut cari, maka yang dipertimbangkan tidak hanya terhadap susu/ keringat yang diambil saja.  Imām al- Muḥibb at-Thabarī mengutip dari Imam Ibnu Shabāgh dan ia jadikan sebuah pedoman bahwa diampuni dari mamahan kedua kali dari unta dan sejenisnya, maka air yang diminumnya tidaklah najis. Disamakan dengan permasalahan mulut dari hewan memamah baik adalah permasalahan anak dari hewan sapi dan biri-biri ketika menyesap puting induknya. Imām Ibnu Shalāh mengatakan: Sesuatu yang tersentuh dengan mulut anak kecil serta diyakini kenajisannya hukumnya diampuni. Disamakan dengan anak kecil adalah mulutnya orang gila dan Imām Zarkasyī memutuskan dengan hukum tersebut.
( ﻭَ ﻛَﻤَﻴْﺘَﺔٍ‏) ﻭَ ﻟَﻮْ ﻧَﺤْﻮَ ﺫُﺑَﺎﺏٍ ﻣِﻤَّﺎ ﻟَﺎ ﻧَﻔْﺲَ ﻟَﻪُ ﺳَﺎﺋِﻠَﺔٌ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻠْﻘَﻔَّﺎﻝِ ﻭَ ﻣَﻦْ ﺗَﺒِﻌَﻪُ ﻓِﻲْ ﻗَﻮْﻟِﻪِ ﺑِﻄَﻬَﺎﺭَﺗِﻪِ ﻟِﻌَﺪَﻡِ ﺍﻟﺪَّﻡِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻌَﻔِّﻦِ، ﻛَﻤَﺎﻟِﻚٍ ﻭَ ﺃَﺑِﻲْ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ. ﻓَﺎﻟْﻤَﻴْﺘَﺔُ ﻧَﺠِﺴَﺔٌ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴِﻞْ ﺩَﻣُﻬَﺎ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﺷَﻌْﺮُﻫَﺎ ﻭَ ﻋَﻈْﻤُﻬَﺎ ﻭَ ﻗَﺮْﻧُﻬَﺎ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺄَﺑِﻲْ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ، ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺩَﺳَﻢٌ. ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺍﻟْﺤَﺎﻓِﻆُ ﺍﺑْﻦُ ﺣَﺠَﺮٍ ﺍﻟْﻌَﺴْﻘَﻠَﺎﻧِﻲُّ ﺑِﺼِﺤَّﺔِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺇِﺫَﺍ ﺣَﻤَﻞَ ﺍﻟْﻤُﺼَﻠِّﻲُ ﻣَﻴْﺘَﺔَ ﺫُﺑَﺎﺏٍ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻲْ ﻣَﺤَﻞٍ ﻳَﺸُﻖُّ ﺍﻟْﺎِﺣْﺘِﺮَﺍﺯُ ﻋَﻨْﻪُ. ‏(ﻏَﻴْﺮَ ﺑَﺸَﺮٍ ﻭَ ﺳَﻤَﻚٍ ﻭَ ﺟَﺮَﺍﺩٍ‏) ﻟِﺤِﻞِّ ﺗَﻨَﺎﻭُﻝِ ﺍﻟْﺄَﺧِﻴْﺮَﻳْﻦِ. ﻭَ ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﺂﺩَﻣِﻲُّ ﻓَﻠِﻘَﻮْﻟِﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ} : ﻭَ ﻟَﻘَﺪْ ﻛَﺮَّﻣْﻨَﺎ ﺑَﻨِﻲْ ﺁﺩَﻡَ{ ﻭَ ﻗَﻀِﻴَّﺔُ ﺍﻟﺘَّﻜْﺮِﻳْﻢِ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﻜُﻢَ ﺑِﻨَﺠَﺎﺳَﺘِﻬِﻢْ ﺑِﺎﻟْﻤَﻮْﺕِ. ﻭَ ﻏَﻴْﺮَ ﺻَﻴْﺪٍ ﻟَﻢْ ﺗُﺪْﺭَﻙْ ﺫُﻛَﺎﺗُﻪُ، ﻭَ ﺟَﻨِﻴْﻦِ ﻣُﺬَﻛَّﺎﺓٍ ﻣَﺎﺕَ ﺑِﺬُﻛَﺎﺗِﻬَﺎ. ﻭَ ﻳَﺤِﻞُّ ﺃَﻛْﻞُ ﺩُﻭْﺩٍ ﻣَﺄْﻛُﻮْﻝٍ ﻣَﻌَﻪُ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻞُ ﻧَﺤْﻮَ ﺍﻟْﻔَﻢِ ﻣِﻨْﻪُ. ﻭَ ﻧَﻘَﻞَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﻫِﺮِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺄَﺻْﺤَﺎﺏِ: ﻟَﺎ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺃَﻛْﻞُ ﺳَﻤَﻚٍ ﻣِﻠْﺢٍ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳُﻨْﺰَﻉْ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﺟَﻮْﻓِﻪِ، ﺃَﻱْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘْﺬِﺭَﺍﺕِ. ﻭَ ﻇَﺎﻫِﺮُﻩُ: ﻟَﺎ ﻓَﺮْﻕَ ﺑَﻴْﻦَ ﻛَﺒِﻴْﺮِﻩِ ﻭَ ﺻَﻐِﻴْﺮِﻩِ. ﻟﻜِﻦْ ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﺸَّﻴْﺨَﺎﻥِ ﺟَﻮَﺍﺯَ ﺃَﻛْﻞِ ﺍﻟﺼَّﻐِﻴْﺮِ ﻣَﻊَ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﺟَﻮْﻓِﻪِ ﻟِﻌُﺴْﺮِ ﺗَﻨْﻘِﻴَّﺔِ ﻣَﺎ ﻓِﻴْﻪِ .
(Dan seperti halnya bangkai) walaupun dari sejenis lalat yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir – berbeda dengan pendapat Imām Qaffāl dan ulama’- ulama’ yang mengikutinya dalam pendapatnya yang mengatakan suci sebab tidak adanya darah yang menyebabkan hewan itu busuk seperti madzhab Mālikī dan Abū Ḥanīfah – , maka bangkai hukumnya najis walaupun darahnya tidak mengalir, begitu pula bulu, tulang dan tanduknya berbeda dengan Imām Abū Ḥanīfah ketika bangkai tersebut tidak memiliki lemak. Imām al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar al-Asqalānī berfatwa dengan sahnya shalat ketika seorang yang shalat membawa bangkai lalat ketika hal tersebut terjadi di tempat yang sulit menghindari lalat itu.  (Selain bangkai manusia, ikan  dan belalang) sebab dua yang akhir halal untuk dikonsumsi. Sedangkan manusia itu sebab firman Allah: Dan sungguh telah aku muliakan keturunan dari Adam. Dari kemuliaan yang diberikan manusia sudah tentunya tidak dihukumi najis ketika matinya. Dan selain hewan buruan ketika tidak ditemukan sembelihannya  dan selain janin hewan yang disembelih yang mati sebab penyembelihan induknya. Halal memakan ulat dari makanan bersamanya dan tidak wajib untuk membasuh mulutnya dari memakan ulat itu. Imām Qamullī mengutip dalam kitab Jawāhir -nya sebuah pendapat dari ashhab bahwa tidak diperbolehkan memakan ikan asin yang kotoran di dalamnya tidak dihilangkan. Secara lahir tidak ada perbedaan antara ikan yang besar dan kecil, namun Imām Rāfi‘ī dan Nawawī memperbolehkan memakan ikan asin yang kecil besertaan kotoran yang ada di dalamnya, sebab sulitnya untuk membersihkan.
( ﻭَ ﻛَﻤُﺴْﻜِﺮ‏) ﺃَﻱْ ﺻَﺎﻟِﺢٍ ﻟِﻠْﺈِﺳْﻜَﺎﺭِ، ﻓَﺪَﺧَﻠَﺖِ ﺍﻟْﻘَﻄْﺮَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻜِﺮِ. ‏( ﻣَﺎﺋِﻊٍ ‏) ﻛَﺨَﻤْﺮٍ، ﻭَ ﻫِﻲَ ﺍﻟْﻤُﺘَّﺨَﺬَﺓُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻨَﺐِ، ﻭَ ﻧَﺒِﻴْﺬٍ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻤﺘَّﺨَﺬُ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ. ﻭَ ﺧَﺮَﺝَ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺋِﻊِ ﻧَﺤْﻮُ ﺍﻟْﺒَﻨْﺞِ ﻭَ ﺍﻟْﺤَﺸِﻴْﺶِ. ﻭَ ﺗَﻄْﻬُﺮُ ﺧَﻤْﺮٌ ﺗَﺨَﻠَّﻠَﺖْ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﻣُﺼَﺎﺣَﺒَﺔِ ﻋَﻴْﻦٍ ﺃَﺟْﻨَﺒِﻴَّﺔٍ ﻟَﻬَﺎ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗُﺆْﺛِﺮْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺨْﻠِﻴْﻞِ ﻛَﺤَﺼَﺎﺓٍ. ﻭَ ﻳَﺘْﺒَﻌُﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ ﺍﻟﺪَّﻥُّ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺗَﺸَﺮَّﺏَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻏَﻠَﺖْ ﻓِﻴْﻪِ ﻭَ ﺍﺭْﺗَﻔَﻌَﺖْ ﺑِﺴَﺒَﺐِ ﺍﻟْﻐَﻠْﻴَﺎﻥِ ﺛُﻢَّ ﻧَﺰَﻟَﺖْ، ﺃَﻣَّﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺭْﺗَﻔَﻌَﺖْ ﺑِﻠَﺎ ﻏَﻠْﻴَﺎﻥَ ﺑَﻞْ ﺑِﻔِﻌْﻞِ ﻓَﺎﻋِﻞٍ ﻓَﻠَﺎ ﺗَﻄْﻬُﺮُ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻏُﻤِﺮَ ﺍﻟْﻤُﺮْﺗَﻔِﻊُ ﻗَﺒْﻞَ ﺟَﻔَﺎﻓِﻪِ ﺃَﻭْ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺑِﺨَﻤْﺮٍ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻭْﺟَﻪِ. ﻛَﻤَﺎ ﺟَﺰَﻡَ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ. ﻭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺍِﻋْﺘَﻤَﺪَﻩُ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﺍﻟْﻤُﺤَﻘِّﻖُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺑْﻦُ ﺯِﻳَﺎﺩٍ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻄْﻬُﺮُ ﺇِﻥْ ﻏُﻤِﺮَ ﺍﻟْﻤُﺮْﺗَﻔِﻊُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﺠَﻔَﺎﻑِ ﻟَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻩُ. ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ: ﻟَﻮْ ﺻُﺐَّ ﺧَﻤْﺮٌ ﻓِﻲْ ﺇِﻧَﺎﺀٍ ﺛُﻢَّ ﺃُﺧْﺮِﺟَﺖْ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﺻُﺐَّ ﻓِﻴْﻪِ ﺧَﻤْﺮٌ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﺑَﻌْﺪَ ﺟَﻔَﺎﻑِ ﺍﻟْﺈِﻧَﺎﺀِ ﻭَ ﻗَﺒْﻞَ ﻏَﺴْﻠِﻪِ ﻟَﻢْ ﺗَﻄْﻬُﺮْ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺗَﺨَﻠَّﻠَﺖْ ﺑَﻌْﺪَ ﻧَﻘْﻠِﻬَﺎ ﻣِﻨْﻪُ ﻓِﻲْ ﺇِﻧَﺎﺀٍ ﺁﺧَﺮَ. ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ. ﻭَ ﺍﻟﺪَّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﻛَﻮْﻥِ ﺍﻟْﺨَﻤْﺮِ ﺧَﻠًّﺎ. ﺍﻟْﺤُﻤُﻮْﺿَﺔُ ﻓِﻲْ ﻃَﻌْﻤِﻬَﺎ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗُﻮْﺟَﺪْ ﻧِﻬَﺎﻳَﺔُ ﺍﻟْﺤُﻤُﻮْﺿَﺔِ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻗُﺬِﻓَﺖْ ﺑِﺎﻟﺰَّﺑَﺪِ. ﻭَ ﻳَﻄْﻬُﺮُ ﺟِﻠْﺪُ ﻧَﺠِﺲٍ ﺑِﺎﻟْﻤَﻮْﺕِ ﺑِﺎﻧْﺪِﺑَﺎﻍٍ ﻧَﻘَّﺎﻩُ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﻌُﻮْﺩُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻧَﺘْﻦٌ ﻭَ ﻟَﺎ ﻓَﺴَﺎﺩٌ ﻟَﻮْ ﻧُﻘِﻊَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ .
(Dan seperti sesuatu yang memabukkan) maksudnya adalah pantas untuk membuat mabuk, maka masuklah satu tetes dari minuman itu.  (yang berbentuk cair) seperti arak yakni minuman yang terbuat dari anggur dan tuak yakni minuman yang terbuat dari selain anggur. Dikecualikan dari benda cair adalah sejenis daun kecubung dan rumput yang memabukkan.  Arak tersebut dapat menjadi suci ketika menjadi cuka dengan sendirinya tanpa disertai dengan benda lain walaupun benda tersebut tidak memberi dampak di dalam proses menjadi cuka seperti kerikil. Wadah dari arak tersebut juga ikut dalam hukum kesuciannya  walaupun arak tersebut meresap ke dalam wadah itu atau sekalipun arah tersebut mendidih hingga arak tersebut naik dan surut kembali. Sedangkan bila arak tersebut naik tanpa sebab mendidih, bahkan disebabkan karena ada yang melakukannya maka arak tersebut tidak suci walaupun arah yang naik tersebut dituangi sebelum kering atau setelahnya dengan arak yang lain menurut pendapat yang lebih unggul seperti pendapat yang telah diputuskan oleh guru kita. Sedangkan pendapat yang dipakai pedoman oleh guru kita al-Muḥaqqiq ‘Abd-ur-Raḥmān az-Ziyādī adalah hukum suci jika arak yang naik tersebut dituangi sebelum keringnya, tidak bila setelah kering. Kemudian beliau berkata lagi: Kalau seandainya arak dituangkan pada sebuah wadah dan wadah itu dituangi arang yang lain setelah keringnya dan sebelum mencucinya, maka arak tersebut tidak bisa suci,  walaupun arak yang dipindah dari wadah itu menuju ke wadah lain telah menjadi cuka –selesai – . Tanda dari arak yang telah menjadi cuka adalah rasanya masam walaupun tidak begitu masam dan masih berbuih. Kulit hewan yang najis sebab mati dapat menjadi suci dengan cara disamak sampai bersih sekira bau busuk dan hancur tidak kembali lagi jika direndam di dalam air.
( ﻭَ ﻛَﻜَﻠْﺐٍ ﻭَ ﺧِﻨْﺰِﻳْﺮٍ‏) ﻭَ ﻓَﺮْﻉِ ﻛُﻞٍّ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻣَﻊَ ﺍﻟْﺂﺧَﺮِ ﺃَﻭْ ﻣَﻊَ ﻏَﻴْﺮِﻩِ، ﻭَ ﺩُﻭْﺩُ ﻣَﻴْﺘَﺘِﻬِﻤَﺎ ﻃَﺎﻫِﺮٌ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻧَﺴْﺞُ ﻋَﻨْﻜَﺒُﻮْﺕٍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺸْﻬُﻮْﺭِ. ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﻪُ ﺍﻟﺴُّﺒْﻜِﻲُّ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺫْﺭَﻋِﻲُّ، ﻭَ ﺟَﺰَﻡَ ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﻌِﺪَّﺓِ ﻭَ ﺍﻟْﺤَﺎﻭِﻱْ ﺑِﻨَﺠَﺎﺳَﺘِﻪِ. ﻭَ ﻣَﺎ ﻳَﺨْﺮُﺝُ ﻣِﻦْ ﺟِﻠْﺪِ ﻧَﺤْﻮِ ﺣَﻴَّﺔِ ﻓِﻲْ ﺣَﻴَﺎﺗِﻬَﺎ ﻛَﺎﻟْﻌِﺮْﻕِ، ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺑِﻪِ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ. ﻟﻜِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻓِﻴْﻪِ ﻧَﻈَﺮٌ، ﺑَﻞِ ﺍﻟْﺄَﻗْﺮَﺏُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻧَﺠِﺲٌ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺟُﺰْﺀٌ ﻣُﺘَﺠَﺴِّﺪٌ ﻣُﻨْﻔَﺼِﻞٌ ﻣِﻦْ ﺣَﻲٍّ، ﻓَﻬُﻮَ ﻛَﻤَﻴْﺘَﺘِﻪِ. ﻭَ ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻳْﻀًﺎ: ﻟَﻮْ ﻧَﺰَﺍ ﻛَﻠْﺐٌ ﺃَﻭْ ﺧِﻨْﺰِﻳْﺮٌ ﻋَﻠَﻰ ﺁﺩَﻣِﻴَّﺔٍ ﻓَﻮَﻟَﺪَﺕْ ﺁﺩَﻣِﻴًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﻮَﻟَﺪُ ﻧَﺠِﺴًﺎ، ﻭَ ﻣَﻊَ ﺫﻟِﻚَ ﻫُﻮَ ﻣُﻜَﻠَّﻒٌ ﺑِﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ. ﻭَ ﻇَﺎﻫﺮٌ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻤَّﺎ ﻳُﻀْﻄَﺮُّ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻠَﺎﻣَﺴَﺘِﻪِ، ﻭَ ﺃَﻧَّﻪُ ﺗَﺠُﻮْﺯُ ﺇِﻣَﺎﻣَﺘُﻪُ ﺇِﺫْ ﻟَﺎ ﺇِﻋَﺎﺩَﺓَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَ ﺩُﺧُﻮْﻟُﻪُ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪَ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﺭُﻃُﻮْﺑَﺔَ ﻟِﻠْﺠَﻤَﺎﻋَﺔِ ﻭَ ﻧَﺤْﻮِﻫَﺎ .
(Dan seperti halnya anjing dan babi), anak- anak keturunan dari setiap keduanya dengan hewan yang lain dari keduanya atau besertaan dengan hewan dari selain keduanya. Ulat dari kedua hewan itu hukumnya suci  begitu pula sarang laba-laba menurut disampaikan oleh Imām Subkī dan al-Adzra‘ī. Imām ath-Thabarī pemilik kitab al-‘Iddah dan Imām Mawardzī pemilik kitab Ḥāwī memutuskan kenajisan sarang laba-laba tersebut. Sesuatu yang keluar dari sejenis ular di waktu hidupnya seperti halnya keringat hukumnya suci atas keterangan yang telah difatwakan sebagian ulama’, namun guru kita mengatakan: Dalam masalah ini perlu dikaji ulang bahkan pendapat yang lebih tepat adalah najis sebab sesuatu itu adalah bagian yang telah menjadi jasad yang terlepas di waktu hidupnya, maka hukumnya seperti halnya matinya. Guru kita berkata lagi: Jika seekor anjing atau babi mengawini manusia kemudian lahir darinya seorang manusia pula maka anaknya dihukumi najis,  dan besertaan dengan hukum itu, ia adalah termasuk orang yang tertuntut melakukan shalat dan lainnya. Sudah jelas pula bahwa setiap hal yang terpaksa tersentuh olehnya diampuni dan baginya diperbolehkan untuk menjadi imam, sebab shalat yang ia lakukan tidak wajib diulang. Boleh pula baginya untuk masuk masjid guna melakukan jama‘ah dan selainnya sekira tubuhnya tidak basah.
ﻭَ ﻳَﻄْﻬُﺮَ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٌ ﺑِﻌَﻴْﻨﻴَّﺔٍ ﺑِﻐَﺴْﻞٍ ﻣُﺰِﻳْﻞٍ ﻟِﺼِﻔَﺎﺗِﻬَﺎ، ﻣِﻦْ ﻃَﻌْﻢٍ ﻭَ ﻟَﻮْﻥٍ ﻭَ ﺭِﻳْﺢٍ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّ ﺑَﻘَﺎﺀُ ﻟَﻮْﻥٍ ﺃَﻭْ ﺭِﻳْﺢٍ ﻋَﺴُﺮَ ﺯَﻭَﺍﻟُﻪُ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣِﻦْ ﻣُﻐَﻠَّﻆٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﺑَﻘِﻴَﺎ ﻣَﻌًﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻬُﺮْ. ﻭَ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٌ ﺑِﺤُﻜْﻤِﻴَّﺔٍ ﻛَﺒَﻮْﻝٍ ﺟَﻒَّ ﻟَﻢْ ﻳُﺪْﺭَﻙْ ﻟَﻪُ ﺻِﻔَﺔٌ ﺑِﺠَﺮْﻱِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣَﺮَّﺓً، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺣَﺒًّﺎ ﺃَﻭْ ﻟَﺤْﻤًﺎ ﻃُﺒِﺦَ ﺑِﻨَﺠَﺲٍ، ﺃَﻭْ ﺛَﻮْﺑًﺎ ﺻُﺒِﻎَ ﺑِﻨَﺠِﺲٍ، ﻓَﻴَﻄْﻬُﺮُ ﺑَﺎﻃِﻨُﻬَﺎ ﺑِﺼَﺐِّ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻋَﻠَﻰ ﻇَﺎﻫِﺮِﻫَﺎ، ﻛَﺴَﻴْﻒٍ ﺳُﻘِﻲَ ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣُﺤَﻤًّﻰ ﺑِﻨَﺠَﺲٍ. ﻭَ ﻳٌﺸْﺘًﺮَﻁُ ﻓِﻲْ ﻃُﻬْﺮِ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞِّ ﻭُﺭُﻭْﺩُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞِّ ﺍﻟْﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲِ، ﻓَﺈِﻥْ ﻭَﺭَﺩَ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٌ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﺀٍ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ ﻟَﺎ ﻛَﺜِﻴْﺮٍ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮْ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻄَﻬِّﺮْ ﻏَﻴْﺮَﻩُ. ﻭَ ﻓَﺎﺭَﻕَ ﺍﻟْﻮَﺍﺭِﺩُ ﻏَﻴْﺮَﻩُ ﺑِﻘُﻮَّﺗِﻪِ ﻟِﻜَﻮْﻧِﻪِ ﻋَﺎﻣِﻠًﺎ، ﻓَﻠَﻮْ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﻓَﻤُﻪُ ﻛَﻔَﻰ ﺃَﺧْﺬُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﻌْﻠُﻬَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻞُ ﻛُﻞِّ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﺣَﺪِّ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮِ ﻣِﻨْﻪُ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑِﺎﻟْﺈِﺩَﺍﺭَﺓِ، ﻛَﺼَﺐِّ ﻣَﺎﺀٍ ﻓِﻲْ ﺇِﻧَﺎﺀٍ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٍ ﻭَ ﺇِﺩَﺍﺭَﺗِﻪِ ﺑِﺠَﻮَﺍﻧِﺒِﻪِ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻟَﻪُ ﺍﺑْﺘِﻠَﺎﻉُ ﺷَﻲْﺀٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮِ ﻓَﻤِّﻪِ، ﺣَﺘَّﻰ ﺑِﺎﻟْﻐَﺮْﻏَﺮَﺓِ .
Benda yang terkena Najis ‘Ainiyyah dapat suci dengan basuhan yang dapat menghilangkan sifat-sifatnya yakni rasa, warna dan baunya. Tidak masalah masih utuhnya warna atau bau yang sulit untuk dihilangkan walaupun dari najis mughallazhah. Jika keduanya masih tersisa bersamaan  maka benda itu tidaklah suci. Sedang benda yang terkena najis ḥukmiyyah seperti air kencing yang telah kering dan tidak ditemukan sifat najis, maka cukup dengan mengalirkan air satu kali padanya. Walaupun benda tersebut berupa biji-bijian atau daging yang dimasuk dengan najis atau baju yang diwarnai dengan najis, maka batinnya akan suci dengan menuangkan air di luarnya. Seperti hal kasus pedang yang disiram, sedang pedang tersebut telah dibakar dengan najis. Diisyaratkan di dalam sucinya tempat yang terkena najis  mendatangkannya air yang jumlahnya sedikit kepada benda yang terkena najis, jika malah benda yang terkena najis tersebut yang didatangkan ke dalam air yang jumlahnya sedikit, – bukan pada air yang banyak – maka air tersebut menjadi najis – walaupun air tersebut tidak berubah – dan air itu tidak dapat mensucikan yang lainnya. Air yang datang pada sebuah benda berbeda dengan yang lainnya dengan kuatnya air tersebut, sebab air itu dapat menolak najis. Jikalau mulut seseorang terkena najis, maka cukup mengambil air dengan menggunakan tangan untuk mulutnya walaupun tangannya tidak diletakkan di atas mulut seperti yang telah disampaikan guru kami. Wajib membasuh setiap anggota yang masih berada di batasan luar dari mulut tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut, walaupun dengan memutarkan air tersebut seperti kasus menuangkan air di wadah yang terkena najis dan memutar-mutarnya ke arah kanan dan kirinya. Tidak diperbolehkan baginya untuk menelan sesuatu apapun sebelum mulutnya suci meskipun sekedar membolak- balikkan air ke tenggorokan.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻟَﻮْ ﺃَﺻَﺎﺏَ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽَ ﻧَﺤْﻮَ ﺑَﻮْﻝٌ ﻭَ ﺟَﻒَّ، ﻓَﺼُﺐَّ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻮْﺿِﻌِﻪِ ﻣَﺎﺀٌ ﻓﻐَﻤَﺮَﻩُ، ﻃَﻬُﺮَ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻀَﺐْ ﺃَﻱْ ﻳَﻐُﻮْﺭَ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﺻَﻠْﺒَﺔً ﺃَﻡْ ﺭَﺧْﻮَﺓً. ﻭَ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻟَﻢْ ﺗَﺘَﺸَﺮَّﺏْ ﻣَﺎ ﺗَﻨَﺠَّﺴَﺖْ ﺑِﻪِ ﻓَﻠَﺎ ﺑُﺪَّ ﻣِﻦْ ﺇِﺯَﺍﻟَﺔِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻗَﺒْﻞَ ﺻَﺐِّ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ، ﻛَﻤَﺎ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻓِﻲْ ﺇِﻧَﺎﺀٍ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔُ ﺟَﺎﻣِﺪَﺓً ﻓَﺘَﻔَﺘَّﺘَﺖْ ﻭَ ﺍﺧْﺘَﻠَﻄَﺖْ ﺑِﺎﻟﺘُّﺮَﺍﺏِ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻬُﺮْ، ﻛَﺎﻟْﻤُﺨْﺘَﻠِﻂِ ﺑِﻨَﺤْﻮِ ﺻَﺪِﻳْﺪٍ، ﺑِﺈِﻓَﺎﺿَﺔِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ. ﺑَﻞْ ﻟَﺎ ﺑُﺪَّ ﻣِﻦْ ﺇِﺯَﺍﻟَﺔِ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺍﻟﺘُّﺮَﺍﺏِ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﻠِﻂِ ﺑِﻬَﺎ. ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ ﻓِﻲْ ﻣُﺼْﺤَﻒٍ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻣَﻌْﻔُﻮٍّ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﻮُﺟُﻮْﺏِ ﻏَﺴْﻠِﻪِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺃﺩَّﻯ ﺇِﻟَﻰ ﺗَﻠَﻔِﻪِ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻴَﺘِﻴْﻢٍ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﻳَﺘَﻌَﻴَّﻦ ﻓَﺮْﺿُﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺴَّﺖِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔُ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﻣَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﻓِﻲْ ﻧَﺤْﻮِ ﺍﻟْﺠِﻠْﺪِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺤَﻮَﺍﺷِﻲْ .
(Cabangan Masalah). Jikalau tanah terkena semacam air kencing dan mengering lalu tempat itu disiram dengan air sampai merata, maka tanah tersebut hukumnya suci walaupun air tidak sampai meresap baik tanahnya keras ataupun gembur. Ketika ada sebuah tanah yang tidak dapat meresap najis yang mengenainya, maka wajib untuk menghilangkan bentuk najisnya sebelum menyiramkan air yang jumlahnya sedikit, seperti kasus bentuk najis yang berada pada sebuah wadah. Jikalau najis tersebut keras kemudian najis hancur dan bercampur dengan debu, maka tempat itu tidak dapat suci – seperti debu yang tercampur dengan nanah berdarah – dengan cara menyiramkan air pada tempat itu bahkan wajib untuk menghilangkan seluruh debu yang telah tercampur dengan najis. Sebagian ulama’ berfatwa tentang kewajiban membasuh mushḥaf  yang terkena najis yang tidak diampuni walaupun menyebabkan rusaknya mushḥaf itu dan walalupun milik anak yatim. Guru kita berkata: Menghilangkan najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut menjadi fardhu ‘ain bila najis tersebut mengenai sesuatu dari al-Qur’ān berbeda jika mengenai semacam kulit atau pinggirnya.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻏَﺴَﺎﻟَﺔُ ﺍﻟْﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﻌْﻔُﻮًّﺍ ﻋَﻨْﻪُ ﻛَﺪَﻡٍ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ ﺇِﻥِ ﺍﻧْﻔَﺼَﻠَﺖْ ﻭَ ﻗَﺪْ ﺯَﺍﻟَﺖِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻭَ ﺻِﻔَﺎﺗُﻬَﺎ، ﻭَ ﻟَﻢْ ﺗَﺘَﻐَﻴَّﺮْ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳَﺰَﺩْ ﻭَﺯْﻧُﻬَﺎ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻋْﺘِﺒَﺎﺭِ ﻣَﺎ ﻳَﺄْﺧُﺬُﻩُ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻭَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺳَﺦِ ﻭَ ﻗَﺪْ ﻃَﻬَﺮَ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞُّ: ﻃَﺎﻫِﺮَﺓٌ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﻳَﻈْﻬُﺮُ ﺍﻟْﺎِﻛْﺘِﻔَﺎﺀُ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﺑِﺎﻟﻈَّﻦِّ .
(Cabangan Masalah). Bekas sisa air yang digunakan untuk menghilangkan najis – walaupun di- ma‘fuw seperti darah yang sedikit – jika telah terpisah, bentuk najis serta sifat-sifatnya telah hilang,  tidak berubah, tidak bertambah kadarnya setelah mengkalkulasi air yang meresap ke dalam baju gan mengkalkulasi air dari kotoran dan tempatnya telah suci,  maka hukumnya suci. Guru kita berkata: Dan jelas dicukupkan di dalam pengkalkulasinya tersebut dengan sebuah praduga.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﺇِﺫَﺍ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻲْ ﻃَﻌَﺎﻡٍ ﺟَﺎﻣِﺪٍ ﻛَﺴَﻤْﻦٍ ﻓَﺄْﺭَﺓٌ ﻣَﺜَﻠًﺎ ﻓَﻤَﺎﺗَﺖْ، ﺃُﻟْﻘِﻴَﺖْ ﻭَ ﻣَﺎ ﺣَﻮْﻟَﻬَﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻣَﺎﺳَّﻬَﺎ ﻓَﻘَﻂْ، ﻭَ ﺍﻟْﺒَﺎﻗِﻲْ ﻃَﺎﻫِﺮٌ. ﻭَ ﺍﻟْﺠَﺎﻣِﺪُ ﻫُﻮَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺇِﺫَﺍ ﻏُﺮِﻑَ ﻣِﻨْﻪُ ﻟَﺎ ﻳَﺘَﺮَﺍﺩُّ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﺮْﺏ
(Cabangan Masalah). Ketika seekor tikus jatuh ke dalam makanan padat seperti minyak samin, kemudian tikus itu mati maka tikus tersebut dibuang,  begitu pula sekelilingnya yang terkena tikus itu saja dan sisanya hukumnya suci. Benda padat adalah benda yang bila diciduk, maka ia tidak akan kembali dengan waktu dekat.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﻣَﺎﺀُ ﺍﻟْﺒِﺌْﺮِ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ ﺑِﻤُﻠَﺎﻗَﺎﺓِ ﻧَﺠَﺲٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻬُﺮْ ﺑِﺎﻟﻨَّﺰْﺡِ، ﺑَﻞْ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲْ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳُﻨْﺰَﺡَ ﻟِﻴَﻜْﺜُﺮَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺑِﻨَﺒْﻊٍ ﺃَﻭْ ﺻَﺐُّ ﻣَﺎﺀٍ ﻓِﻴْﻪِ، ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮِ ﺑِﺘَﻐَﻴُّﺮٍ ﺑِﻪِ ﻟَﻢْ ﻳَﻄْﻬُﺮْ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺰَﻭَﺍﻟِﻪِ. ﻓَﺈِﻥْ ﺑَﻘِﻴْﺖْ ﻓِﻴْﻪِ ﻧَﺠَﺎﺳَﺔٌ ﻛَﺸَﻌْﺮِ ﻓَﺄْﺭَﺓٍ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮْ ﻓَﻄُﻬُﻮْﺭٌ ﺗَﻌَﺬَّﺭَ ﺍﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻟُﻪُ ﺇِﺫْ ﻟَﺎ ﻳَﺨْﻠُﻮْ ﻣِﻨْﻪُ ﺩَﻟْﻮٌ ﻓَﻠْﻴُﻨْﺰَﺡْ ﻛُﻠُّﻪُ. ﻓَﺈِﻥِ ﺍﻏْﺘَﺮَﻑَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻨَّﺰْﺡِ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻴَﻘَّﻦْ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍﻏْﺘَﺮَﻓَﻪُ ﺷَﻌْﺮًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮَّ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻇَﻨَّﻪُ، ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺑِﺘَﻘْﺪِﻳْﻢِ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮِ .
(Cabangan Masalah). Ketika ada air sumur yang jumlahnya sedikit menjadi najis sebab najis yang mengenainya, maka air sumur tersebut tidak akan suci dengan mengurasnya bahkan sebaiknya jangan dikuras supaya air menjadi banyak dengan sebab sumber atau dengan menuangkan air ke dalamnya. Atau jumlah air di dalam sumur itu jumlahnya banyak dan berubah sebab najis, maka air tidak akan suci kecuali dengan hilangnya najis itu. Jika masih tersisa di dalam sumur tersebut sebuah najis seperti bulu-bulu tikus dan air tidak berubah, maka hukumnya suci mensucikan yang sulit digunakan sebab timba air tidak mungkin terlepas dari bulu-bulu itu. Maka kuraslah seluruh air.  Jika seseorang menciduk air sumur itu sebelum mengurasnya dan ia tidak yakin dari cidukannya ada bulu-bulu tikusnya, maka tidaklah masalah walaupun ia menduganya sebab mengamalkan kaidah mendahulukan hukum asal dari hukum zhāhir.
ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻄْﻬﺮ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٌ ﺑِﻨَﺤْﻮِ ﻛَﻠْﺐٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺴْﺒْﻊِ ﻏَﺴَﻠَﺎﺕٍ ﺑَﻌْﺪَ ﺯَﻭَﺍﻝِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑِﻤَﺮَّﺍﺕٍ، ﻓَﻤُﺰِﻳْﻠُﻬَﺎ ﻣَﺮَّﺓٌ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٌ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻦَّ ﺑِﺘُﺮَﺍﺏِ ﺗَﻴَﻤُّﻢٍ ﻣَﻤْﺰُﻭْﺝٍ ﺑِﺎﻟْﻤَﺎﺀِ، ﺑِﺄَﻥْ ﻳُﻜَﺪِّﺭَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻈْﻬُﺮَ ﺃَﺛَﺮُﻩُ ﻓِﻴْﻪِ ﻭَ ﻳَﺼِﻞُ ﺑِﻮَﺍﺳِﻄَﺘِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺃَﺟْﺰَﺍﺀِ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞِّ ﺍﻟْﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲِ. ﻭَ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﺍﻛِﺪِ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻜُﻪُ ﺳَﺒْﻌًﺎ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻳَﻈْﻬُﺮُ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺬِّﻫَﺎﺏَ ﻣَﺮَّﺓٌ ﻭَ ﺍﻟْﻌَﻮْﺩَ ﺃُﺧْﺮَﻯ. ﻭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻱْ ﻣُﺮُﻭْﺭُ ﺳَﺒْﻊِ ﺟِﺮْﻳَﺎﺕٍ، ﻭَ ﻟَﺎ ﺗَﺘْﺮِﻳْﺐَ ﻓِﻲْ ﺃَﺭْﺽٍ ﺗُﺮَﺍﺑِﻴَﺔٍ .
Benda yang terkena najis semacam anjing tidak akan suci kecuali dengan tujuh basuhan setelah hilangnya bentuk najis itu walaupun berkali-kali, maka basuhan yang digunakan untuk menghilangkan bentuk najisnya dihitung satu kali. Salah satu dari tujuh basuhan tersebut dicampur dengan menggunakan debu yang sah untuk tayammum sekira air menjadi keruh sampai terlihat bekas debu di dalamnya dan sehingga debu sampai pada seluruh bagian tempat yang najis dengan perantara air itu. Cukup di dalam air yang diam menggerakkan tempat yang terkena najis sebanyak tujuh kali.  Guru kita berkata: Jelas bahwa gerakan ke depan dihitung satu kali dan kembalinya dihitung sekali lagi. Cukup pada air yang mengalir lewatnya tujuh aliran air itu. Tidaklah butuh pencampuran debu terhadap tanah yang telah berdebu.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻟَﻮْ ﻣَﺲَّ ﻛَﻠْﺒًﺎ ﺩَﺍﺧِﻞَ ﻣَﺎﺀٍ ﻛَﺜِﻴْﺮٍ ﻟَﻢْ ﺗُﻨَﺠَّﺲْ ﻳَﺪُﻩُ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺭَﻓَﻊَ ﻛَﻠْﺐٌ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ ﻭَ ﻓَﻤُّﻪُ ﻣُﺘَﺮَﻃِّﺐٌ، ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻠَﻢْ ﻣُﻤَﺎﺳَّﺘُﻪُ ﻟَﻪُ، ﻟَﻢْ ﻳُﻨَﺠِّﺲْ. ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎﻟِﻚٌ ﻭَ ﺩَﺍﻭُﺩٌ: ﺍﻟْﻜَﻠْﺐُ ﻃَﺎﻫِﺮٌ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﻨَﺠِّﺲُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞُ ﺑِﻮُﻟُﻮْﻏِﻪِ، ﻭَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻞُ ﺍﻟْﺈِﻧَﺎﺀِ ﺑِﻮُﻟُﻮْﻏِﻪِ ﺗَﻌَﺒُّﺪًﺍ .
(Cabangan Masalah). Jikalau seorang menyentuh anjing yang berada di dalam air dengan jumlah banyak, maka tangannya tidak dihukumi najis. Jika seekor anjing mengangkat kepalanya dari wadah air dan mulutnya basah, namun tidak diketahui menyentuhnya mulut anjing tersebut terhadap air, maka air itu tidak dihukumi najis. Imām Mālik dan Imām Dāūd mengatakan bahwa anjing hukumnya suci dan air tidak dihukumi najis dengan sebab dijilat anjing itu, sedangkan kewajiban membasuh wadah yang terjilat olehnya adalah murni ibadah kepada Allah.
( ﻭَ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺩَﻡِ ﻧَﺤْﻮِ ﺑُﺮْﻏُﻮْﺙٍ‏) ﻣِﻤَّﺎ ﻟَﺎ ﻧَﻔْﺲَ ﻟَﻪُ ﺳَﺎﺋِﻠَﺔٌ ﻛَﺒَﻌُﻮْﺽٍ ﻭَ ﻗَﻤْﻞٍ، ﻟَﺎ ﻋَﻦْ ﺟِﻠْﺪِﻩِ. ‏( ﻭَ‏) ﺩَﻡِ ﻧَﺤْﻮِ ‏( ﺩُﻣَّﻞٍ‏) ﻛَﺒُﺜْﺮَﺓٍ ﻭَ ﺟُﺮْﺡٍ، ﻭَ ﻋَﻦْ ﻗَﻴْﺤِﻪِ ﻭَ ﺻَﺪِﻳْﺪِﻩِ، ‏( ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ‏) ﺍﻟﺪَّﻡُ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻭَ ﺍﻧْﺘَﺸَﺮَ ﺑِﻌِﺮْﻕٍ، ﺃَﻭْ ﻓَﺤُﺶَ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝُ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻃَﺒَﻖَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨُّﻘُﻮْﻝِ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤَﺪَﺓِ ‏( ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻓِﻌْﻠِﻪِ‏) ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ ﺑِﻔِﻌْﻠِﻪِ ﻗَﺼْﺪًﺍ، ﻛَﺄَﻥْ ﻗَﺘَﻞَ ﻧَﺤْﻮَ ﺑَﺮْﻏُﻮْﺙٍ ﻓِﻲْ ﺛَﻮْﺑِﻪِ، ﺃَﻭْ ﻋَﺼَﺮَ ﻧَﺤْﻮَ ﺩُﻣَّﻞٍ ﺃَﻭْ ﺣَﻤَﻞَ ﺛَﻮْﺑًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﺩَﻡُ ﺑَﺮَﺍﻏِﻴْﺚَ ﻣَﺜَﻠًﺎ، ﻭَ ﺻَﻠَّﻰ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﻓَﺮَﺷَﻪُ ﻭَ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﺃَﻭْ ﺯَﺍﺩَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻠْﺒُﻮْﺳِﻪِ ﻟَﺎ ﻟِﻐَﺮَﺽٍ ﻛَﺘَﺠَﻤُّﻞٍ، ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﺇِﻟَّﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺤْﻘِﻴْﻖِ ﻭَ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ ﻭَ ﺇِﻥَ ﺍﻗْﺘَﻀَﻰ ﻛَﻠَﺎﻡُ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻋَﻦْ ﻛَﺜِﻴْﺮِ ﺩَﻡِ ﻧَﺤْﻮِ ﺍﻟﺪُّﻣَّﻞِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻋُﺼِﺮَ. ﻭَ ﺍﻋْﺘَﻤَﺪَﻩُ ﺍﺑْﻦُ ﺍﻟﻨَّﻘِﻴْﺐِ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺫْﺭَﻋِﻲُّ. ﻭَ ﻣَﺤَﻞَّ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮِ ﻫُﻨَﺎ ﻭَ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺑِﺎﻟﻨِّﺴْﺒَﺔِ ﻟِﻠﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻟَﺎ ﻟِﻨَﺤْﻮِ ﻣَﺎﺀٍ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ، ﻓَﻴُﻨَﺠِّﺲُ ﺑِﻪِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻗَﻞَّ، ﻭَ ﻟَﺎ ﺃَﺛَﺮَ ﻟِﻤُﻠَﺎﻗَﺎﺓِ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ ﻟَﻪُ ﺭُﻃْﺒًﺎ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠِّﻒُ ﺗَﻨْﺸِﻴْﻒُ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ ﻟِﻌُﺴْﺮِﻩِ. ‏( ﻭَ‏) ﻋَﻦْ ‏( ﻗَﻠِﻴْﻞِ‏) ﻧَﺤْﻮِ ﺩَﻡٍ ‏( ﻏَﻴْﺮِﻩِ‏) ﺃَﻱْ ﺃَﺟْﻨَﺒِﻲٍّ ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﻐَﻠَّﻆٍ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﻛَﺜِﻴْﺮِﻩِ. ﻭَ ﻣِﻨْﻪُ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺄَﺫْﺭَﻋِﻲُّ: ﺩَﻡٌ ﺍﻧْﻔَﺼَﻞَ ﻣِﻦْ ﺑَﺪَﻧِﻪِ ﺛُﻢَّ ﺃَﺻَﺎﺑَﻪُ .
(Dan diampuni dari darah semacam nyamuk) yakni dari hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti nyamuk dan kutu, tidak dari kulitnya. (Diampuni pula dari darah semacam bisul) seperti jerawat, darah luka, nanah dan darah bernanah dari bisul, (walaupun jumlah darah dari keduanya banyak) dan menyebar sebab keringat atau sangat banyak sekali dalam contoh yang awal yakni darah nyamuk sekira merata pada baju menurut pendapat yang dikutip dan mu‘tamad . (Hal itu dilakukan tanpa ada kesengajaan).  Jika darah tersebut banyak dengan unsur kesengajaan seperti seseorang yang sengaja membunuh nyamuk yang berada pada bajunya, memeras semacam bisul atau membawa baju yang ada darah nyamuknya – sebagai contoh – dan ia shalat dengan memakai baju itu atau baju itu digelar untuk shalat atau ia merangkap bajunya tidak dengan tujuan seperti memperindah diri, maka darah itu tidak diampuni kecuali dengan kadar yang sedikit menurut pendapat yang Ashaḥ seperti keterangan dalam kitab Taḥqīq dan Majmū‘ . Walaupun ucapan Imām Nawawī dalam Raudhah menuntut diampuninya darah semacam bisul walaupun diperas dan pendapat dalam Raudhah itu dipakai pedoman oleh Imām Ibnu Naqīb dan Adzra‘ī. Status ampunan dalam masalah ini dan masalah yang akan disebutkan nanti adalah dalam permasalahan shalat bukan semacam air yang jumlahnya sedikit, maka air hukumnya menjadi najis dengan sebab darah itu walaupun darahnya sedikit. Tidak mempengaruhi terhadap badan basah yang terkena darah itu,  dan tidak dituntut baginya untuk mengusap tubuhnya sebab hal itu sulit dilakukan. (Dan) diampuni dari (sedikitnya) semacam darah (orang lain) selain najis mughallazhah, beda bila dalam jumlah yang banyak. Sebagian contoh dari darah orang lain adalah – seperti yang telah disampaikan Imām Adzra‘ī – darah yang telah terpisah dari badan seseorang, lalu kembali mengenai dirinya lagi.
( ﻭَ ‏) ﻋَﻦْ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ ‏( ﻧَﺤْﻮِ ﺩَﻡِ ﺣَﻴْﺾٍ ﻭَ ﺭُﻋَﺎﻑٍ ‏) ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ. ﻭَ ﻳُﻘَﺎﺱُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﺩَﻡُ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟْﻤَﻨَﺎﻓِﺬِ، ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺨَﺎﺭِﺝَ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺪَﻥِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ ﻛَﻤَﺤَﻞِّ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﻂِ. ﻭَ ﺍﻟْﻤَﺮْﺟِﻊُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﻠَّﺔِ ﻭَ ﺍﻟْﻜَﺜْﺮَﺓِ ﺍﻟْﻌُﺮْﻑُ، ﻭَ ﻣَﺎ ﺷَﻚَّ ﻓِﻲْ ﻛَﺜْﺮَﺗِﻪِ ﻟَﻪُ ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺗَﻔَﺮَّﻕَ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲُ ﻓِﻲْ ﻣَﺤَﺎﻝٍّ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺟُﻤِﻊَ ﻛَﺜُﺮَ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡِ، ﻭَ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮِ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﻟِّﻲْ ﻭَ ﺍﻟْﻐَﺰَﺍﻟِﻲْ ﻭَ ﻏَﻴْﺮَﻫِﻤَﺎ، ﻭَ ﺭَﺟَّﺤَﻪُ ﺑَﻌْﻀُﻬُﻢْ. ﻭَ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺩَﻡِ ﻧَﺤْﻮِ ﻓَﺼْﺪٍ ﻭَ ﺣَﺠْﻢٍ ﺑِﻤَﺤَﻠِّﻬِﻤَﺎ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ. ﻭَ ﺗَﺼُﺢُّ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﻣَﻰ ﻟَﺜَّﺘَﻪُ ﻗَﺒْﻞَ ﻏَﺴْﻞِ ﺍﻟْﻔَﻢِ، ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﺘَﻠِﻊْ ﺭِﻳْﻘَﻪُ ﻓِﻴْﻬَﺎ، ﻟِﺄَﻥَّ ﺩَﻡَ ﺍﻟﻠَّﺜَّﺔِ ﻣَﻌْﻔُﻮٌّ ﻋَﻨْﻪُ ﺑِﺎﻟﻨَّﺴْﺒَﺔِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮِّﻳْﻖِ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺭَﻋُﻒَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﺩَﺍﻡَ ﻓَﺈِﻥْ ﺭَﺟَﺎ ﺍِﻧْﻘِﻄَﺎﻋَﻪُ ﻭَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ ﻣُﺘَّﺴِﻊٌ ﺍِﻧْﺘَﻈَﺮَﻩُ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﺗَﺤَﻔَّﻆْ ﻛَﺎﻟﺴَّﻠِﺲِ ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﻤَﻦْ ﺯَﻋُﻢَ ﺍِﻧْﺘِﻈَﺎﺭَﻩُ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ. ﻛَﻤَﺎ ﺗُﺆَﺧَّﺮُ ﻟِﻐَﺴْﻞِ ﺛَﻮْﺑِﻪِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺧَﺮَﺝَ. ﻭَ ﻳُﻔَﺮَّﻕُ ﺑِﻘُﺪْﺭَﺓِ ﻫﺬَﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺇِﺯَﺍﻟَﺔِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲِ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﻠِﻪِ ﻓَﻠَﺰِﻣَﺘْﻪُ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻓِﻪِ ﻓِﻲْ ﻣَﺴْﺄَﻟَﺘِﻨَﺎ. ﻭَ ﻋَﻦْ ﻗَﻠِﻴْﻞِ ﻃِﻴْﻦٍ ﻣَﺤَﻞِّ ﻣُﺮُﻭْﺭٍ ﻣُﺘَﻴَﻘِّﻦِ ﻧَﺠَﺎﺳَﺘِﻪِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑِﻤُﻐَﻠَّﻆٍ، ﻟِﻠْﻤَﺸَﻘَّﺔِ، ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﺒْﻖَ ﻋَﻴْﻨُﻬَﺎ ﻣُﺘَﻤَﻴِّﺰَﺓً. ﻭَ ﻳَﺨْﺘَﻠِﻒُ ﺫﻟِﻚَ ﺑِﺎﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻭَ ﻣَﺤَﻠِّﻪِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ. ﻭَ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻌَﻴَّﻦَ ﻋَﻴْﻦُ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﻮَﺍﻃِﻰﺀَ ﻛَﻠْﺐٍ، ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻨْﻬَﺎ، ‏( ﻭَ ﺇِﻥْ ﻋَﻤَّﺖِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻭْﺟَﻪِ ‏). ‏( ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ‏) ﻓِﻲْ ﻃَﺮِﻳْﻖٍ ﻟَﺎ ﻃِﻴْﻦَ ﺑِﻬَﺎ ﺑَﻞْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻗَﺬَﺭُ ﺍﻟْﺄَﺩَﻣِﻲِّ ﻭَ ﺭَﻭْﺙُ ﺍﻟْﻜِﻠَﺎﺏِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﻬَﺎﺋِﻢِ ﻭَ ﻗَﺪْ ﺃَﺻَﺎﺑَﻬَﺎ ﺍﻟْﻤَﻄَﺮُ، ﺑِﺎﻟﻌَﻔْﻮِ ﻋِﻨْﺪَ ﻣَﺸﻘَّﺔِ ﺍﻟْﺎِﺣْﺘِﺮَﺍﺯِ .
Diampuni dari sedikitnya semacam darah haid dan darah dari hidung seperti keterangan dalam kitab Majmū‘ . Disamakan dengan dua darah tersebut darah dari semua lubang tubuh kecuali darah yang keluar dari tempat keluarnya najis seperti tempat keluarnya berak. Dasar penilaian sedikit dan banyaknya najis adalah umumnya, sedangkan darah yang masih disangsikan banyaknya, maka darah tersebut dihukumi sedikit. Jikalau ada najis yang itu dihukumi sedikit menurut Imām Ḥaramain dan dihukumi banyak menurut Imām al-Mutawallī, Imām Ghazālī dan selain keduanya dan sebagian ulama’ mengunggulkan pendapat ini. Diampuni dari darah semacam tusuk jarum dan bekam yang masih berada di tempatnya,  walaupun jumlahnya banyak. Sah shalatnya seseorang yang gusinya berdarah sebelum mencuci mulutnya ketika ia tidak menelan ludahnya di dalam shalat, sebab darah gusi hukumnya diampuni bila dinisbatkan dengan air ludah. Jika hidungnya mengeluarkan darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah sebelum shalat dan berlanjut terus, maka bila ia memiliki harapan berhentinya darah itu sedang waktu shalat masih lama habisnya, hendaknya ia menanti darahnya berhenti. Dan bila tidak ada harapan, maka sumbatlah aliran darah itu seperti halnya orang yang beser kencing. Lain halnya dengan pendapat ulama’ yang menduga harus menanti berhentinya pendarahan walaupun sampai waktu shalat habis, seperti diakhirkannya shalat untuk mencuci baju yang terkena najis walaupun sampai waktu shalat habis. Masalah hidung berdarah dan pencucian pakaian haruslah dibedakan sebab dalam masalah pencucian pakaian terdapat kemampuan untuk menghilangkan najis dari asalnya, maka wajib untuk menghilangkan najis itu, lain halnya dengan permasalahan orang yang mengeluarkan darah dari hidung dalam permasalahan kita. Diampuni sedikitnya lumpur tempat orang berlalu yang telah diyakini najisnya sekalipun dari najis mughallazhah sebab beratnya untuk menghindari selagi bentuk najisnya tidak tampak jelas. Ampunan najis tersebut akan berbeda sesuai dengan waktu dan tempat, yakni dari baju dan badan. Ketika bentuk najis nyata terlihat di jalan walaupun berupa jejak kaki anjing, maka najis itu tidak diampuni, walaupun jalan itu rata dengan najis menurut pendapat yang unggul. Guru kita berfatwa tentang permasalahan jalan yang tidak berlumpur tetapi di jalan itu terdapat kotoran manusia, anjing, dan hewan ternak sedang jalan tersebut terkena guyuran hujan dengan hukum ma‘fuw ketika memang sulit untuk dihindari.
[ ﻗَﺎﻋِﺪَﺓٌ ﻣُﻬِﻤَّﺔٌ‏]: ﻭَ ﻫِﻲَ ﺃَﻥَّ ﻣَﺎ ﺃَﺻْﻠُﻪُ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻭَ ﻏَﻠَﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﺗَﻨَﺠُّﺴُﻪُ ﻟِﻐَﻠَﺒَﺔِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ ﻓِﻲْ ﻣِﺜْﻠِﻪِ ﻓِﻴْﻪِ ﻗَﻮْﻟَﺎﻥِ ﻣَﻌْﺮُﻭْﻓَﺎﻥِ ﺑِﻘَﻮْﻟَﻲ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞِ. ﻭَ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮُ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻐَﺎﻟِﺐُ ﺃَﺭْﺟَﺤُﻬُﻤَﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻃَﺎﻫِﺮٌ، ﻋَﻤَﻠًﺎ ﺑِﺎﻟْﺄَﺻْﻞِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻴَﻘَّﻦِ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺃَﺿْﺒَﻂُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐَﺎﻟِﺐِ ﺍﻟْﻤُﺨْﺘَﻠِﻒِ ﺑِﺎﻟْﺄَﺣْﻮَﺍﻝِ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺯْﻣَﺎﻥِ، ﻭَ ﺫﻟِﻚَ ﻛَﺜِﻴَﺎﺏِ ﺧَﻤَّﺎﺭٍ ﻭَ ﺣَﺎﺋِﺾٍ ﻭَ ﺻِﺒْﻴَﺎﻥٍ، ﻭَ ﺃَﻭَﺍﻧِﻲْ ﻣُﺘَﺪَﻳِّﻨِﻴْﻦَ ﺑِﺎﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ، ﻭَ ﻭَﺭَﻕٍ ﻳَﻐْﻠِﺐُ ﻧَﺜْﺮُﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺠَﺲٍ، ﻭَ ﻟُﻌَﺎﺏِ ﺻَﺒِﻲٍّ، ﻭَ ﺟُﻮْﺥٍ ﺍِﺷْﺘَﻬَﺮَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺑِﺸَﺤْﻢِ ﺍﻟْﺨِﻨْﺰِﻳْﺮِ، ﻭَ ﺟُﺒْﻦٍ ﺷَﺎﻣِﻲٍّ ﺍِﺷْﺘَﻬَﺮَ ﻋَﻤَﻠُﻪُ ﺑِﺈْﻧْﻔَﺤَّﺔِ ﺍﻟْﺨِﻨْﺰِﻳْﺮِ. ﻭَ ﻗَﺪْ ﺟَﺎﺀَﻩُ ﺟُﺒْﻨَﺔٌ ﻣِﻦْ ﻋِﻨْﺪِﻫِﻢْ ﻓَﺄَﻛَﻞَ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺄَﻝْ ﻋَﻦْ ﺫﻟِﻚَ. ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﻓِﻲْ ﺷَﺮْﺡِ ﺍﻟْﻤِﻨْﻬَﺎﺝِ .
(Kaidah Penting ). Yaitu benda yang asalnya suci dan terjadi praduga najisnya benda itu dengan alasan benda semacam itu umumnya najis, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal dengan hukum Asal dan Zhāhir atau Ghālib . Yang lebih unggul dari dua kaidah itu adalah benda tersebut dihukumi suci, dengan mengamalkan hukum asal yang diyakini sebab hukum asal lebih terjaga kondisinya dibanding dengan hukum ghālib yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan dan zaman. Hal itu dapat dicontohkan seperti pakaian pembuat khamer, orang haid, anak- anak, bejana milik pemeluk agama kafir yang menggunakan najis, dedaunan yang umumnya jatuh pada tempat yang najis, air liur anak kecil, gula batu yang terkenal terbuat dari lemak babi, keju Syam yang terkenal terbuat dari isi perut babi. Rasūlullāh s.a.w. pernah disuguhi keju dari penduduk Syam, lalu Rasūl memakan sebagiannya tanpa bertanya tentang hal itu. Guru kita menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab Syarḥ Minhāj .
( ﻭَ ‏) ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ‏( ﻣَﺤَﻞِّ ﺍﺳْﺘِﺠْﻤَﺎﺭِﻩِ ﻭَ‏) ﻋَﻦْ ‏( ﻭَﻧِﻴْﻢِ ﺫُﺑَﺎﺏٍ‏) ﻭَ ﺑَﻮْﻝِ ‏( ﻭَ ﺭَﻭْﺙِ ﺧُﻔَّﺎﺵٍ ‏) ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥِ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَﺕْ، ﻟِﻌُﺴْﺮِ ﺍﻟْﺎِﺣْﺘِﺮَﺍﺯِ ﻋَﻨْﻬَﺎ. ﻭَ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻤَّﺎ ﺟَﻒَّ ﻣِﻦْ ﺫَﺭْﻕِ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟﻄُّﻴُﻮْﺭِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﻜَﺎﻥِ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻤَّﺖِ ﺍﻟْﺒَﻠْﻮَﻯ ﺑِﻪِ. ﻭَ ﻗَﻀِﻴَّﺔُ ﻛَﻠَﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮُ ﻋَﻨْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﺪَﻥِ ﺃَﻳْﻀًﺎ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺮِ ﺍﻟْﻔَﺄْﺭِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻳَﺎﺑِﺴًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻭْﺟَﻪِ. ﻟﻜِﻦْ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﺍﺑْﻦُ ﺯِﻳَﺎﺩٍ ﻛَﺒَﻌْﺾِ ﺍﻟْﻤُﺘَﺄَﺧِّﺮِﻳْﻦَ ﺑِﺎﻟْﻌَﻔْﻮِ ﻋَﻨْﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﻋَﻤَّﺖِ ﺍﻟْﺒَﻠْﻮَﻯ ﺑِﻪِ، ﻛَﻌُﻤُﻮْﻣِﻬَﺎ ﻓِﻲْ ﺫَﺭْﻕِ ﺍﻟﻄُّﻴُﻮْﺭِ. ﻭَ ﻟَﺎ ﺗَﺼِﺢُّ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﻣَﻦْ ﺣَﻤَﻞَ ﻣُﺴْﺘَﺠْﻤِﺮًﺍ ﺃَﻭْ ﺣَﻴَﻮَﺍﻧًﺎ ﺑِﻤَﻨْﻔَﺬِﻩِ ﻧَﺠَﺲٌ، ﺃَﻭْ ﻣُﺬَﻛَّﻰ ﻏُﺴِﻞَ ﻣَﺬْﺑَﺤُﻪُ ﺩُﻭْﻥَ ﺟَﻮْﻓِﻪِ، ﺃَﻭْ ﻣَﻴِّﺘًﺎ ﻃَﺎﻫِﺮًﺍ ﻛَﺂﺩَﻣِﻲٍّ ﻭَ ﺳَﻤَﻚٍ ﻳُﻐْﺴَﻞْ ﺑَﺎﻃِﻨُﻪُ، ﺃَﻭْ ﺑَﻴْﻀَﺔً ﻣُﺬِﺭَﺓً ﻓِﻲْ ﺑَﺎﻃِﻨِﻬَﺎ ﺩَﻡٌ. ﻭَ ﻟَﺎ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﻗَﺎﺑِﺾِ ﻃَﺮَﻑٍ ﻣُﺘَّﺼِﻞٍ ﺑِﻨَﺠَﺲٍ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﺤَﺮَّﻙْ ﺑِﺤَﺮَﻛَﺘِﻪِ .
Diampuni dari tempat bekas bersuci dari batu dan dari kotoran lalat, air kencing dan kotoran kelelawar yang mengenai tempat shalat, begitu pula baju dan badan walaupun sangat banyak  sebab sulitnya menghindari hal itu. Diampuni dari kotoran semua burung yang telah kering yang berada di tempat shalat, jika kotoran itu telah rata adanya. Malah dalam Majmū‘ -nya menghukumi ma‘fuw pula bila mengenai baju dan badan. Kotoran tikus walaupun telah kering tidaklah diampuni menurut pendapat yang lebih unggul namun guru kita Ibnu Zaid mengeluarkan fatwa seperti ulama’ kurun akhir lain dengan menghukumi ma‘fuw , jika memang telah rata di tempat itu seperti telah meratanya kotoran burung. Tidak sah shalatnya seseorang yang menggendong orang yang istinja’ dengan menggunakan batu, membawa binatang yang jalan keluar kotorannya terdapat najis, membawa binatang sembelihan yang telah dicuci tempat penyembelihannya tanpa mencuci perutnya, atau bangkai suci seperti manusia,  ikan yang tidak dibersihkan bagian dalamnya atau telur rusak yang di dalamnya terdapat darah. Tidak sah pula shalatnya seseorang yang menggenggam pucuk suatu benda yang bertemu dengan najis walaupun benda itu tidak ikut bergerak dengan gerakannya.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻟَﻮْ ﺭَﺃَﻯ ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺻَﻠَﺎﺓً ﻭَ ﺑِﺜَﻮْﺑِﻪِ ﻧَﺠَﺲٌ ﻏَﻴْﺮَ ﻣَﻌْﻔُﻮٍّ ﻋَﻨْﻪُ ﻟَﺰِﻣَﻪُ ﺇِﻋْﻠَﺎﻣُﻪُ. ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻳَﻠْﺰَﻡُ ﺗَﻌْﻠِﻴْﻢَ ﻣَﻦْ ﺭَﺁﻩُ ﻳُﺨِﻞُّ ﺑِﻮَﺍﺟِﺐِ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓِ ﻓِﻲْ ﺭَﺃْﻱِ ﻣُﻘَﻠَّﺪِﻩِ .
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang melihat orang yang ingin mengerjakan shalat sedang dibajunya terdapat najis yang tidak diampuni, maka wajib baginya untuk memberitahunya  begitu pula wajib untuk mengajarkan  orang yang ia lihat melanggar kewajiban ibadah menurut imam yang diikuti.
( ﺗَﺘِﻤَّﺔٌ‏) ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻨْﺠَﺎﺀُ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺧَﺎﺭِﺝٍ ﻣُﻠَﻮَّﺙٍ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﻭَ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻓِﻴْﻪِ ﻏَﻠَﺒَﺔُ ﻇَﻦٍّ ﺯَﻭَﺍﻝِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺴَﻦُّ ﺣَﻴْﻨَﺌِﺬٍ ﺷَﻢُّ ﻳَﺪِﻩِ ﻭَ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲْ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﺮْﺧَﺎﺀُ ﻟِﺌَﻠَّﺎ
ﻳَﺒْﻘَﻰ ﺃَﺛَﺮُﻫَﺎ ﻓِﻲْ ﺗَﻀَﺎﻋِﻴْﻒَ ﺷَﺮَﺝِ ﺍﻟْﻤَﻘْﻌَﺪَﺓِ ﺃَﻭْ ﺑِﺜَﻠَﺎﺙِ ﻣَﺴْﺤَﺎﺕٍ ﺗَﻌُﻢُّ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞَّ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﻣَﺮَّﺓٍ ﻣَﻊَ ﺗَﻨْﻘِﻴَﺔٍ ﺑِﺠَﺎﻣِﺪٍ
ﻗَﺎﻟِﻊٍ ﻭَ ﻳُﻨْﺪَﺏُ ﻟِﺪَﺍﺧِﻞِ ﺍﻟْﺨَﻠَﺎﺀِ ﺃَﻥْ ﻳُﻘَﺪِّﻡَ ﻳَﺴَﺎﺭَﻩُ ﻭَ ﻳَﻤِﻴْﻨَﻪُ ﻟِﺎﻧْﺼِﺮَﺍﻓِﻪِ ﺑِﻌَﻜْﺲِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻭَ ﻳُﻨْﺤِﻲْ ﻣَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣُﻌَﻈَّﻢٌ ﻣِﻦْ ﻗُﺮْﺁﻥٍ ﻭَ ﺍﺳْﻢٍ ﻧَﺒِﻲٍّ ﺃَﻭْ ﻣَﻠَﻚٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣُﺸْﺘَﺮَﻛًﺎ ﻛَﻌَﺰِﻳْﺰٍ ﻭَ ﺃَﺣْﻤَﺪَ ﺇِﻥْ ﻗَﺼَﺪَ ﺑِﻪِ ﻣُﻌَﻈَّﻢٌ ﻭَ ﻳَﺴْﻜُﺖَ ﺣَﺎﻝَ ﺧُﺮُﻭْﺝِ ﺧَﺎﺭِﺝٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻋَﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺫِﻛْﺮٍ ﻭَ ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮِ ﺣَﺎﻝِ
ﺍﻟْﺨُﺮُﻭْﺝِ ﻋَﻦْ ﺫِﻛْﺮٍ ﻭَ ﻳَﺒْﻌُﺪَ ﻭَ ﻳَﺴْﺘَﺘِﺮَ ﻭَ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﻀِﻲَ ﺣَﺎﺟَﺘَﻪُ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﻣُﺒَﺎﺡٍ ﺭَﺍﻛِﺪٍ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﺒْﺤِﺮْ ﻭَ ﻣُﺘَﺤَﺪَّﺙٍ ﻏَﻴْﺮِ ﻣَﻤْﻠُﻮْﻙٍ ﻟِﺄَﺣَﺪٍ ﻭَ ﻃَﺮِﻳْﻖٍ ﻭَ ﻗِﻴْﻞَ ﻳَﺤْﺮُﻡُ
ﺍﻟﺘَّﻐَﻮُّﻁُ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻭَ ﺗَﺤْﺖَ ﻣُﺜْﻤِﺮٍ ﺑِﻤِﻠْﻜِﻪِ ﺃَﻭْ ﻣَﻤْﻠُﻮْﻙٍ ﻋُﻠِﻢَ ﺭِﺿَﺎ ﻣَﺎﻟِﻜِﻪِ ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﺣَﺮُﻡَ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﻘْﺒِﻞَ ﻋَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﺪْﺑِﺮَﻫَﺎ ﻭَ ﻳَﺤْﺮُﻣَﺎﻥِ ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﻤُﻌَﺪِّ ﻭَ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ
ﺳَﺎﺗِﺮَ ﻓَﻠَﻮِ ﺍﺳْﺘَﻘْﺒَﻠَﻬَﺎ ﺑِﺼَﺪْﺭِﻩِ ﻭَ ﺣَﻮَّﻝَ ﻓَﺮْﺟَﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺛُﻢَّ ﺑَﺎﻝَ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮَّ ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﻋَﻜْﺴِﻪِ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﺎﻙَ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺒْﺰُﻕَ ﻓِﻲْ ﺑَﻮْﻟِﻪِ ﻭَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮْﻝَ ﻋِﻨْﺪَ ﺩُﺧُﻮْﻟِﻪِ: ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﺇِﻧِّﻲْ ﺃَﻋُﻮْﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨُﺒُﺚِ ﻭَ ﺍﻟْﺨَﺒَﺎﺋِﺚِ، ﻭَ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭْﺝِ: ﻏُﻔْﺮَﺍﻧَﻚَ، ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺃَﺫْﻫَﺐَ ﻋَﻨِّﻲْ ﺍﻟْﺄَﺫَﻯ ﻭَ ﻋَﺎﻓَﺎﻧِﻲْ. ﻭَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻨْﺠَﺎﺀِ: ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﻃَﻬِّﺮْ ﻗَﻠْﺒِﻲْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﻔَﺎﻕِ ﻭَ ﺣِﺼِّﻦْ ﻓَﺮْﺟِﻲْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺣِﺶِ. ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺒَﻐَﻮِﻱُّ: ﻟَﻮْ ﺷَﻚَّ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻨْﺠَﺎﺀِ ﻫَﻞْ ﻏَﺴَﻞَ ﺫَﻛَﺮَﻩُ ﻟَﻢْ ﺗَﻠْﺰَﻣْﻪُ ﺇِﻋَﺎﺩَﺗُﻪُ .
(Penyempurnaan)
Wajib melakukan istinjā’ atau cebok  dari setiap hal yang keluar (dari kelamin) yang melumuri / membasahi, (ceboknya) dengan menggunakan air, Dicukupkan dalam istinjā’ praduga hilangnya
najis  dan dengan demikian tidak
disunnahkan mencium bau tangannya. Wajib untuk mengendorkan anggota badan agar
bekas yang berada pada lipatan-lipatan tepian luang dubur tidak tersisa. Atau dengan menggunakan tiga usapan benda padat yang
dapat menghilangkan najis, yang masing-masing usapan dapat merata serta dapat membersihkannya. Disunnahkan bagi orang yang akan masuk WC untuk mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan mendahulukan kaki kanan. Tata cara ini kebalikan saat akan masuk masjid. Dan disunnahkan untuk menyingkirkan setiap hal yang diagungkan dari al-Qur’ān dan nama nabi atau malaikat, walaupun nama itu
digunakan untuk orang lain seperti nama ‘Azīz dan Aḥmad, jika nama-nama tersebut dikehendaki sebagai nama yang agung. Disunnahkan pula untuk diam pada saat
kotoran sedang keluar sekalipun bukan berupa dzikir, dan jika selain keadaan itu hendaknya meninggalkan dzikir. Disunnahkan
untuk mengambil tempat yang jauh dari manusia  dan membuat penutup. Hendaknya tidak membuang hajat di perairan
umum yang tidak mengalir selama jumlahnya tidak banyak, tidak di tempat perbincangan milik umum, di jalan – ada pendapat mengatakan haram hukumnya membuang
hajat di jalanan -, di bawah pohon miliknya yang dapat berbuah,  atau milik orang lain yang sudah diketahui kerelaannya. Bila belum
diketahui kerelaannya maka hukumnya haram. Hendaknya tidak menghadap qiblat ataupun
membelakanginya, dan kedua hal tersebut haram bila dilakukan di selain tempat yang telah disediakan sekira tidak ada penutupnya.
Jika dadanya dihadapkan ke arah qiblat, sedang alat kelaminnya dipalingkan dari arah itu kemudian kencing maka hal tersebut tidak masalah. Lain halnya jika melakukan kebalikan hal itu. Disunnahkan untuk tidak bersiwak,  tidak meludai kencingnya, Berdoa saat masuk WC: Ya Allah, sesungguhnya aku meminta
perlindungan kepada-Mu dari syaithan jantan dan betina. Saat keluar dengan doa:
Segala puji bagi Allah yang telah
menghilangkan penyakit dariku dan telah memberikan kesehatan kepadaku. dan setelah istinjā’ berdoa: Ya Allah, sucikanlah hatiku dari sifat munafiq dan jagalah kemaluanku dari perbuatan keji.
Imām Baghawī mengatakan: Jikalau
seseorang ragu setelah istinjā’ apakah dzakarnya telah dibasuh?, maka tidak wajib baginya untuk mengulangi membasuhnya
( ﻭَ ﺛَﺎﻟِﺜُﻬَﺎ‏) ﺃَﻱْ ﺷُﺮُﻭْﻁِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ‏( ﺳَﺘْﺮُ ﺭَﺟُﻞٍ‏) ﻭَ ﻟَﻮْ ﺻَﺒِﻴًّﺎ ‏( ﻭ ﺃَﻣَﺔٍ‏) ﻭَ ﻟَﻮ ﻣُﻜَﺎﺗَﺒَﺔً ﻭَ ﺃُﻡَّ ﻭَﻟَﺪٍ ‏( ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺳُﺮَّﺓٍ ﻭَ ﺭُﻛْﺒَﺔٍ‏) ﻟَﻬُﻤَﺎ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺧَﺎﻟِﻴًﺎ ﻓِﻲْ ﻇُﻠْﻤَﺔٍ ﻟِﻠْﺨَﺒَﺮِ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴْﺢِ: “ ﻟَﺎ ﻳَﻘْﺒَﻞُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﺣَﺎﺋِﺾٍ ﺃَﻱْ ﺑَﺎﻟِﻎٍ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺨِﻤَﺎﺭٍ.” ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺳَﺘْﺮُ ﺟُﺰْﺀٍ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ ﻟِﻴَﺘَﺤَﻘَّﻖَ ﺑِﻪِ ﺳَﺘْﺮُ ﺍﻟْﻌَﻮْﺭَﺓِ. ‏( ﻭَ‏) ﺳَﺘْﺮُ ‏(ﺣُﺮَّﺓِ‏) ﻭَ ﻟَﻮْ ﺻَﻐِﻴْﺮَﺓً
‏(ﻏَﻴْﺮَ ﻭَﺟْﻪٍ ﻭَ ﻛَﻔَّﻴْﻦِ‏) ﻇَﻬْﺮُﻫُﻤَﺎ ﻭَ ﺑَﻄْﻨُﻬُﻤَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻜُﻮْﻋَﻴْﻦِ ‏(ﺑِﻤَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺼِﻒُ ﻟَﻮْﻧًﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﻟَﻮْﻥِ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮَﺓِ ﻓِﻲْ ﻣَﺠْﻠِﺲِ ﺍﻟﺘَّﺨَﺎﻃُﺐِ. ﻛَﺬَﺍ ﺿَﺒَﻄَﻪُ ﺑِﺬﻟِﻚَ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ
ﻣُﻮْﺳَﻰ ﺑْﻦِ ﻋُﺠَﻴْﻞ. ﻭَ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻣَﺎ ﻳُﺤْﻜِﻲْ ﻟِﺤَﺠْﻢِ ﺍﻟْﺄَﻋْﻀَﺎﺀِ، ﻟَﻜِﻨَّﻪُ ﺧِﻠَﺎﻑُ ﺍﻟْﺄَﻭْﻟَﻰ، ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟﺴَّﺘْﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﻋْﻠَﻰ ﻭَ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﻧِﺐِ ﻟَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﺳْﻔَﻞِ ‏(ﺇِﻥْ ﻗَﺪَﺭَ‏) ﺃَﻱْ ﻛُﻞٍّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞ ﻭَ ﺍﻟْﺤُﺮَّﺓِ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﻣَﺔِ. ‏( ﻋَﻠَﻴْﻪِ‏) ﺃَﻱِ
ﺍﻟﺴَّﺘْﺮُ. ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰُ ﻋَﻤَّﺎ ﻳَﺴْﺘُﺮُ ﺍﻟْﻌَﻮْﺭَﺓَ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲْ ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻋَﺎﺭِﻳًﺎ ﺑِﻠَﺎ ﺇِﻋَﺎﺩَﺓٍ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﻊَ ﻭُﺟُﻮْﺩِ ﺳَﺎﺗِﺮٍ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٍ ﺗَﻌَﺬَّﺭَ ﻏَﺴْﻠُﻪُ، ﻟَﺎ ﻣَﻦْ ﺃَﻣْﻜَﻨَﻪُ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮُﻩُ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻗَﺪَﺭَ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﺎﺗِﺮِ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟْﻌَﻮْﺭَﺓُ ﻟَﺰِﻣَﻪُ ﺍﻟﺴَّﺘْﺮُ ﺑِﻤَﺎ ﻭُﺟِﺪَ، ﻭَ ﻗَﺪَّﻡَ ﺍﻟﺴَّﻮْﺃَﺗَﻴْﻦِ ﻓَﺎﻟْﻘُﺒُﻞَ ﻓَﺎﻟﺪُّﺑُﺮَ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺼَﻠِّﻲْ ﻋَﺎﺭِﻳًﺎ ﻣَﻊَ ﻭُﺟُﻮْﺩِ ﺣَﺮِﻳْﺮٍ ﺑَﻞْ ﻟَﺎﺑِﺴًﺎ ﻟَﻪُ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻳُﺒَﺎﺡُ ﻟِﻠْﺤَﺎﺟَﺔِ. ﻭَ ﻳَﻠْﺰَﻡُ ﺍﻟﺘَّﻄْﻴِﻴْﻦُ ﻟَﻮْ ﻋَﺪِﻡَ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏَ ﺃَﻭْ ﻧَﺤْﻮُﻩُ. ﻭَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻟِﻤُﻜْﺘَﺲٍ ﺍِﻗْﺘِﺪَﺍﺀٌ ﺑِﻌَﺎﺭٍ، ﻭَ ﻟَﻴْﺲَ ﻟِﻠْﻌَﺎﺭِﻱْ ﻏَﺼْﺐُ ﺍﻟﺜَّﻮْﺏِ. ﻭَ ﻳُﺴَﻦُّ ﻟِﻠْﻤُﺼَﻠِّﻲْ ﺃَﻥْ ﻳَﻠْﺒِﺲَ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺛِﻴَﺎﺑِﻪِ ﻭَ ﻳَﺮْﺗَﺪِﻱْ ﻭَ ﻳَﺘَﻌَﻤَّﻢَ ﻭَ ﻳَﺘَﻘَﻤَّﺺَ ﻭَ ﻳَﺘَﻄَﻴْﻠَﺲَ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺛَﻮْﺑَﺎﻥِ ﻓَﻘَﻂْ ﻟَﺒِﺲَ ﺃَﺣَﺪَﻫُﻤَﺎ وَ ﺍﺭْﺗَﺪَﻯ ﺑِﺎﻟْﺂﺧَﺮِ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺛَﻢَّ ﺳُﺘْﺮَﺓً، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﺟَﻌَﻠَﻪُ ﻣُﺼَﻠَّﻰ. ﻛَﻤَﺎ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺑِﻪِ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ .
(Syarat shalat yang kedua) adalah
(menutupinya seorang lelaki)   walaupun seorang anak kecil – , dan budak wanita walaupun budak mukātab dan umm-ul-walad ,
(anggota badan di antara pusar dan lutut) walaupun menyepi dalam kegelapan sebab hadits shaḥīḥ : Allah tidak menerima shalatnya
seorang yang telah baligh tanpa
menggunakan penutup kepala.  Wajib untuk menutup sebagian dari pusar dan lutut supaya penutupan aurat tersebut nyata terjadi. Dan menutupinya seorang wanita yang
merdeka – walaupun seorang anak kecil – , anggota tubuh selain wajah dan kedua telapak tangan bagian luar dan dalam sampai dua pergelangan tangan (dengan menggunakan penutup yang tidak dapat menyifati warna kulit dari tempat percakapan. Begitulah Imām Aḥmad bin Mūsā bin ‘Ujailmembatasinya. Penutup yang dapat menampakkan bentuk tubuh hukumnya mencukupi, namun Khilāf-ul-Aulā . Wajib menutup aurat dari arah atas dan seluruh sisi bukan dari bagian bawah,  jika lelaki dan wanita tersebut mampu untuk mendapatkan penutup. Sedangkan orang yang tidak mampu dari penutup aurat maka wajib shalat dalam keadaan telanjang tanpa harus mengulangi shalatnya, walaupun besertaan adanya penutup aurat yang terkena najis dan sulit untuk dihilangkan. Bukan orang yang mampu untuk mensucikan penutup aurat itu walaupun sampai keluar waktu shalat. Jikalau seseorang hanya mampu menemukan sebagian penutup aurat, maka wajib menggunakan penutup tersebut dengan mendahulukan dua kemaluannya, alat kelamin lalu anusnya. Tidak diperbolehkan shalat dengan keadaan telanjang besertaan adanya kain sutra sebab sutra diperbolehkan bila ada hajat. Wajib untuk melumuri tubuhnya dengan lumpur  jikalau tidak ditemukan pakaian dan semacamnya. Diperbolehkan bagi seorang yang shalat dengan memakai baju untuk bermakmum pada imam yang telanjang. Tidaklah diperbolehkan bagi seorang yang telanjang untuk mengashab baju. Disunnahkan bagi seorang yang shalat untuk memakai baju yang paling bagus, memakai selendang, memakai serban, memakai baju kurung, dan memakai jubah. Jika seandainya ia hanya memiliki dua baju, maka yang satu dipakai dan yang lain digunakan untuk selendang bila di tempat shalat itu telah ada batas shalat, jika belum ada maka baju yang lain dijadikan sebagai sajadah seperti yang telah difatwakan oleh guru kita.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻳَﺠِﺐُ ﻫﺬَﺍ ﺍﻟﺴَّﺘْﺮُ ﺧَﺎﺭِﺝَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺃَﻳْﻀًﺎ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑِﺜَﻮْﺏٍ ﻧَﺠِﺲٍ ﺃَﻭْ ﺣَﺮِﻳْﺮٍ ﻟَﻢْ ﻳﺠِﺪْ ﻏَﻴْﺮَﻩُ، ﺣَﺘَّﻰ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺨُﻠْﻮَﺓِ، ﻟﻜِﻦِ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺐُ ﻓِﻴْﻬَﺎ 1^]‏]: ﺳَﻮْﺃَﺗَﻲِ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞِ، ﻭَ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺳُﺮَّﺓِ ﻭَ ﺭُﻛْﺒَﺔِ ﻏَﻴْﺮِﻩِ. ﻭَ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﻛَﺸْﻔُﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺨُﻠْﻮَﺓِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ، ﻟِﺄَﺩْﻧَﻰ ﻏَﺮَﺽٍ ﻛَﺘَﺒْﺮِﻳْﺪٍ ﻭَ ﺻِﻴَﺎﻧَﺔِ ﺛَﻮْﺏٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪَّﻧَﺲِ، ﻭَ ﺍﻟْﻐُﺒَﺎﺭِ ﻋِﻨْﺪَ ﻛَﻨْﺲِ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ، ﻭَ ﻛَﻐَﺴْﻞٍ .
(Cabangan Masalah). Menutup aurat ini hukumnya juga wajib di luar shalat, –walaupun dengan baju yang najis atau sutra yang tidak ditemukan baju selainnya - sampai di tempat yang sepi, namun kewajiban di dalam tempat yang sepi bagi seorang lelaki adalah menutup kedua kemaluan dan bagi selainnya adalah anggota di antara pusar dan lutut. Diperbolehkan membuka aurat di tempat yang sepi walaupun di dalam masjid, sebab minimal tujuan seperti mendinginkan tubuh, menjaga baju dari kotoran, dan debu saat menyapu rumah dan seperti saat mandi.
SYARAT SHALAT KE-4
( ﻭَ ﺭَﺍﺑِﻌُﻬَﺎ: ﻣَﻌْﺮﻓَﺔُ ﺩُﺧُﻮْﻝِ ﻭَﻗْﺖٍ‏) ﻳَﻘِﻴْﻨًﺎ ﺃَﻭْ ﻇَﻨًّﺎ. ﻓَﻤَﻦْ ﺻَﻠَّﻰ ﺑِﺪُﻭْﻧِﻬَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﺼِﺢَّ ﺻَﻠَﺎﺗُﻪُ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻭَﻗَﻌَﺖْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ، ﻟِﺄَﻥَّ ﺍﻟْﺎِﻋْﺘِﺒَﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﻇَﻦِّ ﺍﻟْﻤُﻜَﻠَّﻒِ، ﻭَ ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﻧَﻔْﺲِ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ، ﻭَ ﻓِﻲ
ﺍﻟْﻌُﻘُﻮْﺩِ ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﻧَﻔْﺲِ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻓَﻘَﻂْ. ‏(ﻓَﻮَﻗْﺖُ ﻇُﻬْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺯَﻭَﺍﻝِ‏) ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺼِﻴْﺮِ ﻇِﻞِّ ﻛُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﺜْﻠَﻪُ، ﻏَﻴْﺮَ ﻇِﻞِّ ﺍﺳْﺘِﻮَﺍﺀٍ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟﻈِّﻞِّ ﺍﻟْﻤَﻮْﺟُﻮْﺩِ ﻋِﻨْﺪَﻩُ، ﺇِﻥْ
ﻭُﺟِﺪَ. ﻭَ ﺳُﻤِّﻴَﺖْ ﺑِﺬﻟِﻚَ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﺃَﻭَّﻝَ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﻇَﻬَﺮَﺕْ. ‏(ﻓَـــــ‏) ﻭَﻗْﺖُ ‏( ﻋَﺼْﺮِ‏) ﻣِﻦْ ﺁﺧِﺮِ ﻭَﻗْﺖِ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻏُﺮُﻭْﺏِ ‏) ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻗَﺮْﺹِ ﺷَﻤْﺲٍ، ‏( ﻓَــــــ‏) ﻭَﻗْﺖُ ‏( ﻣَﻐْﺮِﺏٍ‏) ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻐُﺮُﻭْﺏِ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻐِﻴْﺐِ ﺍﻟﺸَّﻔَﻖِ‏)
ﺍﻟْﺄَﺣْﻤَﺮِ، ‏( ﻓَــــــ ‏) ﻭَﻗْﺖُ ‏(ﻋِﺸَﺎﺀٍ ‏) ﻣِﻦْ ﻣَﻐِﻴْﺐِ ﺍﻟﺸَّﻔَﻖِ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲْ ﻧَﺪْﺏُ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُﻫَﺎ ﻟِﺰَﻭَﺍﻝِ ﺍﻟْﺄَﺻْﻔَﺮِ ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺑْﻴَﺾِ، ﺧُﺮُﻭْﺟًﺎ ﻣِﻦْ ﺧِﻠَﺎﻑِ ﻣَﻦْ
ﺃَﻭْﺟَﺐَ ﺫﻟِﻚَ. ﻭَ ﻳَﻤْﺘَﺪُّ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻃُﻠُﻮْﻉِ ‏(ﻓَﺠْﺮٍ‏) ﺻَﺎﺩِﻕٍ، ‏(ﻓَـــــ‏) ﻭَﻗْﺖُ ‏( ﺻُﺒْﺢٍ ‏) ﻣِﻦْ ﻃُﻠُﻮْﻉِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺩِﻕِ ﻟَﺎ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺏِ ‏( ﺇِﻟَﻰ ﻃُﻠُﻮْﻉِ‏) ﺑَﻌْﺾِ ‏( ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ‏) ، ﻭَ
ﺍﻟْﻌَﺼْﺮُ ﻫِﻲَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﺍﻟْﻮُﺳْﻄَﻰ، ﻟِﺼِﺤَّﺔِ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﺑِﻪِ. ﻓَﻬِﻲَ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕِ، ﻭَ ﻳَﻠِﻴْﻬَﺎ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢُ، ﺛُﻢَّ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀُ، ﺛُﻢَّ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮُ، ﺛُﻢَّ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏُ، ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﻈْﻬَﺮَﻩُ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﺄَﺩِﻟَّﺔِ. ﻭَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻠُﻮْﺍ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﻭَﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﺃَﺷَﻖُّ. ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﺮَّﺍﻓِﻌِﻲُّ: ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﺁﺩَﻡَ، ﻭَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﺩَﺍﻭُﺩٍ، ﻭَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮُ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺳُﻠَﻴْﻤَﺎﻥَ، ﻭَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺮِﺏُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﻳَﻌْﻘُﻮْﺏٍ، ﻭَ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﻳُﻮْﻧُﺲٍ، ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻭَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ. ﺍِﻧْﺘَﻬَﻰ .
(Syarat shalat ke empat) adalah mengetahui masuknya waktu shalat dengan yakin atau praduga. Maka siapapun orang yang shalat dengan tanpa mengetahu waktunya, maka shalatnya tidak sah walaupun dilakukan tepat berada pada waktunya, sebab yang dijadikan penilaian dalam urusan sebuah
ibadah adalah sesuai dengan praduga orang mukallaf dan realitanya. Sedang dalam urusan
akad adalah sesuai dengan realita saja. (Waktu Zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari) ke arah barat sampai menjadi samanya bayangan setiap benda selain
bayangan yang ada pada waktu istiwā’, jika memang ada. Dinamakan dengan itu sebab shalat Zhuhur adalah shalat yang tampak dilakukan pertama kali dalam Islam.
(Waktu ‘Ashar) dimulai dari akhir waktu Zhuhur  (sampai tenggelamnya) seluruh bulatan matahari. (Waktu Magrib) dimulai
sejak tenggelamnya matahari berakhir sampai tenggelamanya mega merah. (Waktu ‘Isyā’) dimulai dari tenggelamnya mega merah. Guru kita berkata: “Sebaik disunnahkan untuk mengakhirkan shalat ‘Isyā’ sampai tenggelamnya mega kuning dan putih untuk keluar dari perbedaan ulama,” yang mewajibkan hal itu. Waktu ‘Isyā’ memanjang sampai (terbitnya fajar) shādiq. (Waktu Shubuḥ) dimulai dari terbitnya fajar shādiq sampai (terbitnya sebagian matahari). Shalat ‘Ashar adalah shalat Wusthā sebab shaḥīḥnya hadits yang menerangkan hal itu. Dan shalat Wusthā adalah shalat yang paling utama dari shalat yang lain, kemudian disusul shalat Shubuḥ, ‘Isyā’, Zhuhur dan Maghrib seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita dari beberapa dalil. Sedang lebih diunggulkannya jamā‘ah shalat Shubuḥ dan ‘Isyā’ dari shalat yang lainnya sebab kedua shalat jamā‘ah di waktu tersebut lebih berat. Imām Rāfi‘ī mengatakan: Shalat Shubuḥ
adalah shalatnya nabi Ādam a.s., Zhuhur adalah shalatnya nabi Dāūd a.s., Maghrib adalah shalatnya nabi Ya‘qūb a.s. dan ‘Isyā’ adalah shalatnya nabi Yūnus a.s.
ﻭَ ﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ ﺗَﺠِﺐُ ﺑِﺄَﻭَّﻝِ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻣُﻮْﺳِﻌًﺎ، ﻓَﻠَﻪُ ﺍﻟﺘَّﺄْﺧِﻴْﺮُ ﻋَﻦْ ﺃَﻭَّﻟِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻭَﻗُﺖٍ ﻳَﺴَﻌُﻬَﺎ ﺑِﺸَﺮْﻁٍ ﺃَﻥْ ﻳَﻌْﺰِﻡَ ﻋَﻠَﻰ ﻓِﻌْﻠِﻬَﺎ ﻓِﻴْﻪِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻟَﺎ ﺩُﻭْﻧَﻬَﺎ ﻓَﺎﻟْﻜُﻞُّ ﺃَﺩَﺍﺀٌ ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻘَﻀَﺎﺀٌ. ﻭَ ﻳَﺄْﺛَﻢُ ﺑِﺈِﺧْﺮَﺍﺝِ ﺑَﻌْﻀِﻬَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺃَﺩْﺭَﻙَ ﺭَﻛَﻌَﺔً. ﻧَﻌَﻢْ، ﻟَﻮْ ﺷَﺮَﻉَ ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮِ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻭَ ﻗَﺪْ ﺑَﻘِﻲَ ﻣَﺎ ﻳَﺴَﻌُﻬَﺎ ﺟَﺎﺯَ ﻟَﻪُ ﺑِﻠَﺎ ﻛَﺮَﺍﻫَﺔٍ ﺃَﻥْ ﻳُﻄَﻮِّﻟَﻬَﺎ ﺑِﺎﻟْﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺨْﺮُﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳُﻮْﻗِﻊْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺭَﻛَﻌَﺔً ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤَﺪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺒْﻖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻣَﺎ ﻳَﺴَﻌُﻬَﺎ، ﺃَﻭْ ﻛَﺎﻧَﺖْ ﺟُﻤُﻌَﺔً، ﻟَﻢْ ﻳَﺠُﺰِ ﺍﻟْﻤَﺪُّ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺴَﻦُّ ﺍﻟْﺎِﻗْﺘِﺼَﺎﺭُ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺭْﻛَﺎﻥِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻟِﺈِﺩْﺭَﺍﻙِ ﻛُﻠِّﻬَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ .
Ketahuilah, bahwa shalat wajib dilakukan diawal waktu dengan kewajiban yang diperluas, maka diperbolehkan bagi seseorang untuk mengakhirkan dari awal waktu sampai waktu yang mencukupi untuk melaksanakannya dengan syarat berniat untuk melaksanakannya di akhir waktunya. Jikalau seseorang menemukan satu rakaat di dalam waktunya, bukan kurang dari satu raka‘at, maka semuanya dihitung adā’ (tertunaikan –terlaksanakan) dan jika tidak menemukan satu raka‘at, maka dihitung qadhā’ . Berdosa hukumnya mengeluarkan sebagian shalat dari waktunya walaupun menemukan satu raka‘at. Benar berdosa, namun jika seseorang mengerjakan shalat selain shalat juma‘at, sedang waktu masih mencukupi, maka diperbolehkan baginya – tanpa hukum makruh – untuk memanjangkan bacaan dan dzikir shalat sampai keluar waktunya –walaupun orang tersebut tidak sampai menemukan satu rakaat menurut pendapat yang mu‘tamad – . Jika waktunya tidak cukup untuk mengerjakan shalat atau adanya shalat tersebut adalah shalat juma‘at, maka tidak diperbolehkan baginya untuk memanjangkannya. Tidak disunnahkan untuk meringkas hanya mengerjakan rukun-rukun shalat untuk menemukan seluruh shalat didalam waktunya.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻳُﻨْﺪَﺏُ ﺗَﻌْﺠِﻴْﻞُ ﺻَﻠَﺎﺓٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻋِﺸَﺎﺀً ﻟِﺄَﻭَّﻝِ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ، ﻟِﺨَﺒَﺮِ“ :ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﺍﻟْﺄﻋْﻤَﺎﻝِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻟِﺄَﻭَّﻝِ ﻭَﻗْﺘِﻬَﺎ.” ﻭَ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُﻫَﺎ ﻋَﻦْ ﺃﻭَّﻟِﻪِ ﻟِﺘَﻴَﻘُّﻦِ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺃَﺛْﻨَﺎﺀَﻩُ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻓَﺤُﺶَ ﺍﻟﺘَّﺄْﺧِﻴْﺮُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﻀِﻖِ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ، ﻭَ ﻟِﻈَﻨِّﻬَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻔْﺤَﺶَ ﻋُﺮْﻓًﺎ، ﻟَﺎ ﻟِﺸَﻚٍّ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻣُﻄْﻠﻘًﺎ. ﻭَ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔُ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻠَﺔُ ﺃَﻭَّﻝُ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮَﺓِ ﺁﺧِﺮَﻩَ. ﻭَ ﻳُﺆَﺧِّﺮُ ﺍﻟْﻤُﺤْﺮِﻡُ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀِ ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻟِﺄَﺟْﻞِ ﺧَﻮْﻑِ ﻓَﻮَﺍﺕِ ﺣَﺞَّ ﺑِﻔَﻮْﺕِ ﺍﻟْﻮُﻗُﻮْﻑِ ﺑِﻌَﺮَﻓَﺔَ ﻟَﻮْ ﺻَﻠَّﺎﻫَﺎ ﻣُﺘَﻤَﻜِّﻨًﺎ، ﻟِﺄَﻥَّ ﻗَﻀَﺎﺀَﻩُ ﺻَﻌْﺐٌ. ﻭَ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﺗُﺆَﺧَّﺮُ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﺃَﺳْﻬَﻞُ ﻣِﻦْ ﻣَﺸَﻘَّﺘِﻪِ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺼَﻠِّﻴْﻬَﺎ ﺻَﻠَﺎﺓَ ﺷِﺪَّﺓِ ﺍﻟْﺨَﻮْﻑِ. ﻭَ ﻳُﺆَﺧِّﺮُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻧَﺤْﻮَ ﻏَﺮِﻳْﻖٍ ﺃَﻭْﺃَﺳِﻴْﺮٍ ﻟَﻮْ ﺃَﻧْﻘَﺬَﻩُ ﺧَﺮَﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖُ .
(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk bersegera melakukan shalat – walaupun shalat ‘Isyā’ – diawal waktunya sebab hadits Nabi: Lebih utama-utamanya amal adalah shalat diawal waktunya . Disunnahkan mengakhirkannya dari awal waktu sebab yakinnya jamā‘ah di tengah waktu – walaupun terlalu dalam mengakhirkan selama tidak sempit waktunya – dan sebab ada dugaan jamā‘ah ketika tidak terlalu secara umumnya, bukan karena keraguan adanya jamā‘ah secara mutlak. Shalat jamā‘ah yang jumlahnya sedikit di awal waktu lebih utama dibanding dengan jamā‘ah yang banyak di akhir waktu. Wajib bagi seseorang yang iḥrām untuk mengakhirkan shalat ‘Isyā’ sebab ditakutkan kehilangan haji dengan hilangnya waktu wuquf di ‘Arafah jikalau shalat ‘Isyā’ tersebut dilakukan seperti umumnya karena mengqadha’i haji sangatlah sulit. Shalat diakhirkan sebab shalat lebih mudah dari kesulitan haji. Tidak diperbolehkan untuk melakukan shalat ‘Isyā’ tersebut dengan cara shalat Syiddat-ul-Khauf (sangat takut). Wajib pula mengakhirkan shalat  bagi seseorang yang melihat semacam orang yang tenggelam atau orang yang ditawan jikalau ia menyelamatkannya, maka waktu shalat akan keluar.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡُ ﺑَﻌْﺪَ ﺩُﺧُﻮْﻝِ ﻭَﻗْﺖِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﻗَﺒْﻞَ ﻓِﻌْﻠِﻬَﺎ، ﺣَﻴْﺚُ ﻇَﻦَّ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻴْﻘَﺎﻅِ ﻗَﺒْﻞَ ﺿِﻴْﻘِﻪِ، ﻟِﻌَﺎﺩَﺓٍ ﺃَﻭْ ﻟِﺈِﻳْﻘَﺎﻅِ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻟَﻪُ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﺣَﺮُﻡَ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻟَﻢْ ﻳُﻐْﻠَﺐْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ .
(Cabangan Masalah). Dimakruhkan tidur setelah masuknya waktu shalat dan sebelum melakukannya, sekira ada dugaan terbangun sebab kebiasaan atau dibangunkan orang lain sebelum sempitnya waktu. Jika tidak ada dugaan terbangun, maka haram untuk tidur selama tidak ngantuk berat diwaktu shalat.
[ ﻓَﺮْﻉٌ‏]: ﻳُﻜْﺮَﻩُ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻤًﺎ ﺻَﻠَﺎﺓٌ ﻟَﺎ ﺳَﺒَﺐَ ﻟَﻬَﺎ، ﻛَﺎﻟﻨَّﻔْﻞِ ﺍﻟْﻤُﻄْﻠَﻖِ ﻭَ ﻣِﻨْﻪُ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺍﻟﺘَّﺴَﺎﺑِﻴْﺢِ، ﺃَﻭْ ﻟَﻬَﺎ ﺳَﺒَﺐٌ ﻣُﺘَﺄَﺧِّﺮٌ ﻛَﺮَﻛْﻌَﺘَﻲْ ﺍﺳْﺘِﺨَﺎﺭَﺓٍ ﻭَ ﺇِﺣْﺮَﺍﻡٍ ﺑَﻌْﺪَ ﺃَﺩَﺍﺀِ ﺻُﺒْﺢٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺮْﺗَﻔِﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻛَﺮُﻣْﺢٍ، ﻭَ ﻋَﺼْﺮٍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻐْﺮُﺏَ، ﻭَ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﺳْﺘِﻮَﺍﺀِ ﻏَﻴْﺮَ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ. ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﻟَﻪُ ﺳَﺒَﺐٌ ﻣُﺘَﻘَﺪِّﻡٌ ﻛَﺮَﻛْﻌَﺘَﻲْ ﻭُﺿُﻮْﺀٍ ﻭَ ﻃَﻮَﺍﻑٍ ﻭَ ﺗَﺤِﻴَّﺔٍ ﻭَ ﻛُﺴُﻮْﻑٍ، ﻭَ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﺎﺋِﺐٍ، ﻭَ ﺇِﻋَﺎﺩَﺓٍ ﻣَﻊَ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ، ﻭَ ﻛِﻔَﺎﺋِﺘَﺔِ ﻓَﺮْﺽٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻔْﻞٍ ﻟَﻢْ ﻳُﻘْﺼَﺪْ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُﻫَﺎ ﻟِﻠْﻮَﻗْﺖِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭْﻩِ ﻟِﻴُﻘْﻀِﻴْﻬَﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﻳُﺪَﺍﻭِﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ. ﻓَﻠَﻮْ ﺗَﺤَﺮَّﻯ ﺇِﻳْﻘَﺎﻉَ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﻏَﻴْﺮَ ﺻَﺎﺣِﺒَﺔِ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺮُﻭْﻩِ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻛَﻮْﻧُﻪُ ﻣَﻜْﺮُﻭْﻫًﺎ ﻓﺘَﺤْﺮُﻡُ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ﻭَ ﻟَﺎ ﺗَﻨْﻌَﻘِﺪُ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻓَﺎﺋِﺘَﺔً ﻳَﺠِﺐُ ﻗَﻀَﺎﺅُﻫَﺎ ﻓَﻮْﺭًﺍ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻣُﻌَﺎﻧِﺪٌ ﻟِﻠﺸَّﺮْﻉِ .
(Cabangan Masalah). Makruh taḥrīim  melakukan shalat tanpa sebab – seperti shalat mutlak, sebagaimana adalah shalat tasbīḥ atau memiliki sebab, namun diakhirkan seperti dua rakaat shalat istikhārah dan iḥrām – setelah melakukan shalat Shubuḥ sampai naiknya matahari seperti tombak, setelah shalat ‘Ashar sampai tenggelamnya matahari, pada saat waktu istiwā’  selain di hari juma‘at, bukan shalat yang memiliki sebab yang diawalkan seperti dua rakaat wudhu’, thawaf, tahiyyat, kusuf, shalat janazah – walaupun bagi mayit yang tidak di tempat (ghaib ) – shalat yang diulangi secara berjamā‘ah – walaupun menjadi imam – , dan seperti shalat fardhu dan sunnah yang telah lewat dari waktunya yang tidak dimaksud untuk mengakhirkannya di waktu yang dimakruhkan agar diqadha’ di waktu itu atau agar selalu mengqadha’ di waktu tersebut. Jikalau seseorang menanti menjalankan shalat yang tidak memiliki waktu di waktu yang dimakruhkan dari sisi waktu yang makruh, maka hukumnya haram secara mutlak dan tidak sah shalatnya – walaupun shalat itu adalah shalat yang telah lewat dari waktunya yang wajib untuk segera diqadha’ sebab telah menentang syari‘at.
SYARAT SHALAT KE-5
( ﻭَ ﺧَﺎﻣِﺴُﻬَﺎ: ﺍِﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝُ‏) ﻋَﻴْﻦِ ‏(ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔِ، ﺑِﺎﻟﺼَّﺪْﺭِ. ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﺍﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝُ ﺟِﻬَﺘِﻬَﺎ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺄَﺑِﻲْ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ، ‏( ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲْ‏) ﺣَﻖِّ ﺍﻟْﻌَﺎﺟِﺰِ ﻋَﻨْﻪُ، ﻭَ ﻓِﻲْ ﺻَﻠَﺎﺓِ ‏( ﺷِﺪَّﺓِ ﺧَﻮْﻑٍ‏) ﻭَ ﻟَﻮْ ﻓَﺮْﺿًﺎ، ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲْ ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﻣْﻜَﻨَﻪُ ﻣَﺎﺷِﻴًﺎ ﻭَ ﺭَﺍﻛِﺒًﺎ ﻣُﺴْﺘَﻘْﺒِﻠًﺎ ﺃَﻭْ ﻣُﺴْﺘَﺪْﺑِﺮًﺍ، ﻛَﻬَﺎﺭِﺏٍ ﻣِﻦْ ﺣَﺮِﻳْﻖٍ ﻭَ ﺳَﻴْﻞٍ ﻭَ ﺳَﺒُﻊٍ ﻭَ ﺣَﻴَّﺔٍ، ﻭَ ﻣِﻦْ ﺩَﺍﺋِﻦٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺇِﻋْﺴَﺎﺭٍ، ﻭَ ﺧَﻮْﻑِ ﺣَﺒْﺲٍ. ‏( ﻭَ‏) ﻟَﺎ ﻓِﻲْ ‏(ﻧَﻔْﻞِ ﺳَﻔَﺮٍ ﻣُﺒَﺎﺡٍ‏) ﻟِﻘَﺎﺻِﺪِ ﻣَﺤَﻞَ ﻣُﻌَﻴَّﻦٍ، ﻓَﻴَﺠُﻮْﺯُ ﺍﻟﻨَّﻔْﻞُ ﺭَﺍﻛِﺒًﺎ ﻭَ ﻣَﺎﺷِﻴًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻗَﺼِﻴْﺮًﺍ. ﻧَﻌَﻢْ، ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﺃَﻥْ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻣَﻘْﺼَﺪُﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺴَﺎﻓَﺔٍ ﻟَﺎ ﻳَﺴْﻤَﻊُ ﺍﻟﻨِّﺪَﺍﺀَ ﻣِﻦْ ﺑَﻠَﺪِﻩِ، ﺑِﺸُﺮُﻭْﻃِﻪِ ﺍﻟْﻤُﻘَﺮَّﺭَﺓِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ. ﻭَ ﺧَﺮَﺝَ ﺑِﺎﻟْﻤُﺒَﺎﺡِ ﺳَﻔَﺮُ ﺍﻟْﻤَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺠُﻮْﺯُ ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﻔْﻞِ ﻟِﺄَﺑِﻖٍ، ﻭَ ﻣُﺴَﺎﻓِﺮٍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺩَﻳْﻦٌ ﺣَﺎﻝٌّ ﻗَﺎﺩِﺭٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺇِﺫْﻥِ ﺩَﺍﺋِﻨِﻪِ .
(Syarat shalat yang kelima adalah menghadap tepat ke qiblat). Maksudnya qiblat adalah menghadap Ka‘bah dengan menggunakan dada.  Maka tidaklah cukup menghadap ke arah qiblat, lain halnya dengan Abū Ḥanīfah – semoga Allah mengasihnya – (kecuali bagi) orang yang tidak mampu,  dan di dalam shalat dalam keadaan (syiddat-ul-khauf atau sangat takut) – walaupun shalatnya fardhu – maka diperbolehkan shalat dengan cara semampunya dengan berjalan dan berkendaraan, menghadap qiblat atau membelakanginya seperti kasus lari menyelamatkan diri dari kebakaran, banjir, hewan buas, ular dan dari orang yang menghutangi saat miskin dan takut dipenjara. (Tidak) wajib menghadap qiblat (dalam shalat sunnah saat bepergian yang diperbolehkan), bagi seseorang yang memiliki tujuan tempat tertentu, maka diperbolehkan melakukan shalat sunnah dengan cara berkendaraan dan berjalan walaupun perjalanannya dekat. Benar, diperbolehkan walaupun perjalanan dekat namun disyaratkan tempat tujuannya berada pada jarak yang tidak terdengar panggilan adzan dari desanya dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam bab jum‘at. Dikecualikan dari perjalanan yang diperbolehkan adalah perjalanan maksiat, maka tidak diperbolehkan meninggalkan menghadap qiblat dalam shalat sunnah bagi seorang budak yang kabur, musafir yang memiliki hutang yang harus segera dibayar yang mampu untuk melunasinya tanpa seidzin dari orang yang menghutangi.
( ﻭَ ‏) ﻳَﺠِﺐُ ‏(ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﺵٍ ﺇِﺗْﻤَﺎﻡُ ﺭُﻛُﻮْﻉٍ ﻭَ ﺳُﺠُﻮْﺩٍ‏) ﻟِﺴُﻬُﻮْﻟَﺔِ ﺫﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺍﻛِﺐٍ ﺇِﻳْﻤَﺎﺀٌ ﺑِﻬِﻤَﺎ. ‏( ﻭَ ﺍﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝٌ ﻓِﻴْﻬِﻤَﺎ ﻭَ ﻓِﻲْ ﺗﺤَﺮُّﻡٍ‏) ﻭَ ﺟُﻠُﻮْﺱٌ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﺴَّﺠْﺪَﺗَﻴْﻦِ، ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻤْﺸِﻲْ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﻭَ ﺍﻟْﺎِﻋْﺘِﺪَﺍﻝِ ﻭَ ﺍﻟﺘَّﺸَﻬُّﺪِ ﻭَ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ، ﻭَ ﻳَﺤْﺮَﻡُ ﺍﻧْﺤِﺮَﺍﻓُﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝِ ﺻَﻮْﺏِ ﻣَﻘْﺼَﺪِﻩِ ﻋَﺎﻣِﺪًﺍ ﻋَﺎﻟِﻤًﺎ ﻣُﺨْﺘَﺎﺭًﺍ ﺇِﻟَّﺎ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ. ﻭَ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﺗَﺮْﻙُ ﻓِﻌْﻞٍ ﻛَﺜِﻴْﺮٍ ﻛَﻌَﺪْﻭٍ ﻭَ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻚِ ﺭِﺟْﻞٍ ﺑِﻠَﺎ ﺣَﺎﺟَﺔٍ ﻭَ ﺗَﺮْﻙُ ﺗَﻌَﻤُّﺪِ ﻭَﻁْﺀِ ﻧَﺠَﺲٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻳَﺎﺑِﺴًﺎ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻋَﻢَّ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳْﻖَ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّ ﻭَﻁْﺀُ ﻳَﺎﺑِﺲٍ ﺧَﻄَﺄً، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﻜَﻠَّﻒُ ﻣَﺎﺵٍ ﺍﻟﺘَّﺤْﻔُﻆَ ﻋَﻨْﻪُ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻘْﺒَﺎﻝُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﻔْﻞِ ﻟِﺮَﺍﻛِﺐِ ﺳَﻔِﻴْﻨَﺔٍ ﻏَﻴْﺮَ ﻣَﻠَّﺎﺡٍ .
(Wajib bagi orang yang shalat dengan berjalan kaki untuk menyempurnakan ruku‘ dan sujud) (55) sebab mudahnya hal itu baginya dan bagi orang yang shalat berkendaraan untuk memberi isyarat dari dua hal tersebut. (Wajib menghadap qiblat di saat ruku‘ dan sujud), takbirat-ul-iḥrām dan duduk di antara sujud, maka tidak diperbolehkan berjalan kaki kecuali dalam keadaan berdiri, i‘tidāl, tasyahhud dan salām. Haram berpaling dari menghadap arah tujuannya dengan sengaja, tahu keharamannya serta dengan kehendaknya kecuali berpaling menghadap qiblat. Disyaratkan meninggalkan gerakan yang banyak seperti berlari dan menggerakkan kaki tanpa hajat, dan meninggalkan kesengajaan menginjak najis – walaupun najis yang telah kering dan walaupun najis itu telah merata dijalan – . Tidaklah masalah menginjak najis kering secara tidak sengaja dan tidak dibebankan bagi orang yang shalat berjalan untuk menghadap qiblat di dalam shalat sunnah bagi orang yang mengendarai perahu selain nahkodanya.
ﻭَ ﺍﻋْﻠَﻢْ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻓِﻲْ ﺻِﺤَّﺔِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻔَﺮْﺿِﻴَّﺔِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ. ﻓَﻠَﻮْ ﺟَﻬَﻞَ ﻓَﺮْﺿِﻴَّﺔ ﺃَﺻْﻞِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﺃَﻭْ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺷَﺮَﻉَ ﻓِﻴْﻬَﺎ، ﻟَﻢْ ﺗَﺼِﺢَّ، ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ ﻭَ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ. ﻭَ ﺗَﻤْﻴِﻴْﺰُ ﻓُﺮُﻭْﺿِﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺳُﻨَﻨِﻬَﺎ. ﻧَﻌَﻢْ، ﺇِﻥِ ﺍﻋْﺘَﻘَﺪَ ﺍﻟْﻌَﺎﻣِﻲُّ، ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻭْﺟَﻪِ، ﺍﻟْﻜُﻞَّ ﻓَﺮْﺿًﺎ ﺻَﺤَّﺖْ، ﺃَﻭْ ﺳُﻨَّﺔً ﻓَﻠَﺎ. ﻭَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﺑِﻜَﻴْﻔِﻴَّﺘِﻬَﺎ ﺍﻟْﺂﺗِﻲْ ﺑَﻴَﺎﻧُﻬَﺎ ﻗَﺮِﻳْﺒًﺎ، ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ .
Ketahuilah juga, bahwa disyaratkan dalam keabsahan shalat untuk mengetahui kefardhuannya shalat, maka jikalau tidak mengetahui kefardhuan asli shalat,  atau kefardhuan shalat yang sedang dilaksanakan  maka shalat tidaklah sah seperti keterangan dalam Majmū‘ -nya, dan harus dapat membedakan kefardhuan dari kesunnahan shalat. Benar harus dapat membedakan, namun jika seorang yang awam  ataupun orang yang alim – menurut pendapat yang unggul – meyakini seluruh hal yang ada dalam shalat adalah fardhu, maka shalatnya sah atau seluruhnya sunnah, maka tidaklah sah, dan harus mengetahui tata cara shalat yang akan dijelaskan sebentar lagi – in syā’ Allāh ta‘ālā.


selanjutnya klik disini

1 | 2 |3 |4 |5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar