Minggu, 31 Maret 2019

Terjemah Fathul Muin


بسم الله الرحمن الرَّحِيمِ


ﺍَﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺍﻟْﻔَﺘَّﺎﺡِ ﺍﻟْﺠَﻮَّﺍﺩِ، ﺍﻟْﻤُﻌِﻴْﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺘَّﻔَﻘُّﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﻣَﻦِ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩِ، ﻭَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻠﻪُ، ﺷَﻬَﺎﺩَﺓً ﺗُﺪْﺧِﻠُﻨَﺎ ﺩَﺍﺭَ ﺍﻟْﺨُﻠُﻮْﺩِ، ﻭَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥَّ ﺳَﻴِّﺪَﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ﻋَﺒْﺪُﻩُ ﻭَ ﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ، ﺻَﺎﺣِﺐُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﻡِ ﺍﻟْﻤَﺤْﻤُﻮْﺩِ، ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَ ﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍﻟْﺎَﻣْﺠَﺎﺩِ ﺻَﻠَﺎﺓً ﻭَ ﺳَﻠَﺎﻣًﺎ ﺃَﻓُﻮْﺯُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻤَﻌَﺎﺩِ .

ﻭَ ﺑَﻌْﺪُ‏ ﻓَﻬﺬَﺍ ﺷَﺮْﺡٌ ﻣُﻔِﻴْﺪٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟْﻤُﺴَﻤَّﻰ ﺑِﻘُﺮَّﺓِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﺑِﻤُﻬِﻤَّﺎﺕِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ، ﻳُﺒِﻴْﻦُ ﺍﻟْﻤُﺮَﺍﺩَ ﻭَ ﻳُﺘَﻤِّﻢُ ﺍﻟْﻤَﻔَﺎﺩَ، ﻭَ ﻳَﺤْﺼُﻞُ ﺍﻟْﻤَﻘَﺎﺻِﺪَ ﻭَ ﻳُﺒْﺮِﺯُ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺋِﺪِ. ‏ ﻭَ ﺳَﻤَّﻴْﺘُﻪُ‏ ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺍﻟْﻤُﻌِﻴْﻦِ ﺑِﺸَﺮْﺡِ ﻗُﺮَّﺓِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ﺑِﻤُﻬِﻤَّﺎﺕِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ. ﻭَ ﺃَﻧَﺎ ﺃَﺳْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟْﻜَﺮِﻳْﻢَ ﺍﻟْﻤَﻨَّﺎﻥَ ﺃَﻥْ ﻳَﻌُﻢَّ ﺍﻟْﺎِﻧْﺘِﻔَﺎﻉَ ﺑِﻪِ ﻟِﻠْﺨَﺎﺻَّﺔِ ﻭَ ﺍﻟْﻌَﺎﻣَّﺔِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺧْﻮَﺍﻥِ، ﻭَ ﺃَﻥْ ﻳُﺴْﻜِﻨَﻨِﻲْ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻔِﺮْﺩَﻭْﺱَ ﻓِﻲْ ﺩَﺍﺭِ ﺍﻟْﺄَﻣَﺎﻥِ، ﺇِﻧَّﻪُ ﺃَﻛْﺮَﻡُ ﻛَﺮِﻳْﻢٍ ﻭَ ﺃَﺭْﺣَﻢُ ﺭَﺣِﻴْﻢٍ .


Segala puji bagi Allah yang maha pembuka yang pemurah yang memberi pertolongan untuk faham dalam agama kepada orang yang ia pilih dari sekian hamba-hambanya, Aku bersaksi tiada tuhan yang haq disembah kecuali Allah, syahadat/persaksian yang dapat memasukkan kita ke desa kekal (surga) dan Aku bersaksi bahwa junjungan kita nabi Muhammad adalah hamba Allah dan utusan Allah yang memiliki derajat yang terpuji, Rahmat dan salam Allah semoga tercurah kepada beliau, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang mulia, solawat dan salam yang dapat membuat aku bahagia dihari kiamat. Dan setelah baca basmalah hamdalah, solawat dan salam, ini adalah syarah yang berfaidah atas kitab yang diberi nama "Qurrotul A'in Bimuhimmatiddin" (penyejuk mata) yang mengantarkan kepada maksud-maksud dan menjabarkan faidah-faidahnya, dan aku beri nama “Fatḥ-ul-Mu‘īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn.” Aku memohon kepada Allah s.w.t. Yang Maha Mulia lagi Maha Pemberi anugrah, semoga kitab ini bermanfaat secara menyeluruh, baik untuk orang yang khusus maupun orang yang awam dari kalangan saudara-saudara kami. Dan semoga Allah s.w.t. menempatkanku ke dalam surga Firdaus  dengan wasilah kitab ini, yaitu di negeri yang penuh dengan kenyamanan. Sesungguhnya dia (Allah) adalah Dzat yang Maha paling mulianya orang yang mulia dan Maha paling penyayangnya orang yang penyayang. { cofas} 

ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ﺃﻭﻟﻒ: ﻭﺍﻻﺳﻢ ﻣﺸﺘﻖ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﻮ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻌﻠﻮ، ﻻ ﻣﻦ ﺍﻟﻮﺳﻢ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻌﻼﻣﺔ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻢ ﻟﻠﺬﺍﺕ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﺍﻟﻮﺟﻮﺩ، ﻭﻫﻮ ﺍﺳﻢ ﺟﻨﺲ ﻟﻜﻞ ﻣﻌﺒﻮﺩ، ﺛﻢ ﻋﺮﻑ ﺑﺄﻝ ﻭﺣﺬﻓﺖ ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ، ﺛﻢ ﺍﺳﺘﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻌﺒﻮﺩ ﺑﺤﻖ، ﻭﻫﻮ ﺍﻻﺳﻢ
ﺍﻻﻋﻈﻢ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻛﺜﺮ، ﻭﻟﻢ ﻳﺴﻢ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻭﻟﻮ ﺗﻌﻨﺘﺎ. ﻭﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ﺻﻔﺘﺎﻥ ﺑﻨﻴﺘﺎ ﻟﻠﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻣﻦ ﺭﺣﻢ، ﻭﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺃﺑﻠﻎ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ، ﻷﻥ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺍﻟﺒﻨﺎﺀ ﺗﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ، ﻭﻟﻘﻮﻟﻬﻢ: ﺭﺣﻤﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻻﺧﺮﺓ، ﻭﺭﺣﻴﻢ ﺍﻻﺧﺮﺓ :
--------
Bismillahirrahmanirrahiim, Aku
menyusun kitab ini dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. lapadz (ﺍﻻﺳﻢ ) dibentuk dari kata (ﺍﻟﺴﻤﻮ ) yang berarti tinggi, bukan diambil dari kata (ﺍﻟﻮﺳﻢ) yang berarti tanda atau alamat. Sedangkan lapaz (ﺍﻟﻠﻪ ) adalah sebangsa Alam (nama) bagi zat yang wajib wujud, yaitu isim jinis bagi tiap-tiap yang disembah. kemudian dima'rifatkan dengan alif-lam lalu dibuang hamzahnya, kemudian digunakan pada sesuatu yang disembah. lapazd (ﺍﻟﻠﻪ ) adalah sebuah nama yang agung menurut mayoritas. dan tidak boleh dinamai dengan nama tersebut selain Allah, sekalipun ia adalah orang yang durhaka. Lapadz ( ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ) adalah dua sifat yang di bentuk sebagai mubalaghah dari asal (ﺭﺣﻢ ). lapadz (ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ) maknanya lebih unggul dari lapaz (ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ ), sebab bertambahnya bentuk menunjukan bertambahnya makna. karena ada sebuah ucapan para ulama : " ﺭﺣﻤﻦ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺍﻻﺧﺮﺓ، ﻭﺭﺣﻴﻢ ﺍﻻﺧﺮﺓ " (Makna Ar-rahman : Allah maha pengasih didunia dan akhirat, dan makna Ar-rahim: Allah maha pengasihdiakherat)
========================
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺬﻯ ﻫﺪﺍﻧﺎ ﺃﻱ ﺩﻟﻨﺎ ﻟﻬﺬﺍ ﺍﻟﺘﺄﻟﻴﻒ ﻭﻣﺎ ﻛﻨﺎ ﻟﻨﻬﺘﺪﻱ ﻟﻮﻻﺃﻥ ﻫﺪﺍﻧﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻟﻴﻪ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪ ﻫﻮ ﺍﻟﻮﺻﻒ ﺑﺎﻟﺠﻤﻴﻞ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻫﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﺔ ﺍﻟﻤﻘﺮﻭﻧﺔ ﺑﺎﻟﺘﻌﻈﻴﻢ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﻱ ﺍﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺁﻓﺔ ﻭﻧﻘﺾ ‏) ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ‏ ( ﻟﻜﺎﻓﺔ ﺍﻟﺜﻘﻠﻴﻦ، ﺍﻟﺠﻦ ﻭﺍﻻﻧﺲ ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ - ﻭﻛﺬﺍ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ، ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ ﺟﻤﻊ ﻣﺤﻘﻘﻮﻥ . ﻭﻣﺤﻤﺪ، ﻋﻠﻢ ﻣﻨﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﺳﻢ ﺍﻟﻤﻔﻌﻮﻝ ﺍﻟﻤﻀﻌﻒ ﻣﻮﺿﻮﻉ ﻟﻤﻦ ﻛﺜﺮﺕ ﺧﺼﺎﻟﻪ ﺍﻟﺤﻤﻴﺪﺓ، ﺳﻤﻰ ﺑﻪ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺈﻟﻬﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﺠﺪﻩ. ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺸﺮ ﺫﻛﺮ ﺣﺮ، ﺃﻭﺣﻰ ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺸﺮﻉ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﺘﺒﻠﻴﻐﻪ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻛﺘﺎﺏ ﻭﻻ ﻧﺴﺦ ﻛﻴﻮﺷﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺆﻣﺮ ﺑﺎﻟﺘﺒﻠﻴﻎ ﻓﻨﺒﻲ. ﻭﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺃﻓﻀﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺇﺟﻤﺎﻋﺎ. ﻭﺻﺢ ﺧﺒﺮ ﺃﻥ ﻋﺪﺩ ﺍﻻﻧﺒﻴﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺎﺋﺔ ﺃﻟﻒ ﻭﺃﺭﺑﻌﺔ ﻭﻋﺸﺮﻭﻥ ﺃﻟﻔﺎ، ﻭﺃﻥ ﻋﺪﺩ ﺍﻟﺮﺳﻞ ثلاث ماﺋﺔ ﻭﺧﻤﺴﺔ ﻋﺸﺮ. ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ﺃﻱ ﺃﻗﺎﺭﺑﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻣﻦ ﺑﻨﻲ ﻫﺎﺷﻢ ﻭﺍﻟﻤﻄﻠﺐ . ﻭﻗﻴﻞ ﻫﻢ ﻛﻞ ﻣﺆﻣﻦ، ﺃﻱ ﻓﻲ ﻣﻘﺎﻡ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻭﻧﺤﻮ، ﻭﺍﺧﺘﻴﺮ ﻟﺨﺒﺮ ﺿﻌﻴﻒ ﻓﻴﻪ، ﻭﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻣﺴﻠﻢ. ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﻫﻮ ﺍﺳﻢ ﺟﻤﻊ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺍ ﻟﺼﺤﺎﺑﻲ، ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺍﺟﺘﻤﻊ ﻣﺆﻣﻨﺎﺕ ﺑﻨﺒﻴﻨﺎ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺍﻟﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻟﻮ ﺃﻋﻤﻰ ﻭﻏﻴﺮ ﻣﻤﻴﺰ . ﺍﻟﻔﺎﺋﺰﻳﻦ ﺑﺮﺿﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﺻﻔﺔ ﻟﻤﻦ ﺫﻛﺮ

-------
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan hidayahnya kepada kita, yaitu didalam penyusunan kitab ini. maka tiadalah kita akan mendapatkan petunjuknya jika Allah tidak memberikan hidayah-nya.
Lafadz (ﺍﻟﺤﻤﺪ ), ber-makna sifat yang
indah. Adapun Makna (ﺍﻟﺼﻼﺓ ) dari Allah merupakan rahmatnya yang
berhubungan dengan pengagungan.
sedangkan makna(ﺍﻟﺴﻼﻡ) adalah
keselamatan dari setiap kerusakan dan kekurangan. ( ﻋﻠﻰ ﺳﻴﺪﻧﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ) Atas pemimpin
kami, "Muhammad SAW sebagai rasul-Allah". Baik bagi kalangan jin maupun manusia secara ijma ulama. Begitu juga bagi kalangan malaikat. Ini menurut keterangan ulama muhaqqikun Lapadz (ﻣﺤﻤﺪ ) adalah ( ﻋﻠﻢ ﻣﻨﻘﻮﻝ ) (Yaitu,
nama yang dipindah) dari isim maful yang mudha'af (yaitu,isim maful yang ain fiilnya ganda) ditempatkan untuk
seseorang yang memiliki perkara terpuji. beliau dinamakan demikian, karena datang ilham dari Allah kepada kakeknya. Rasul itu berasal dari golongan manusia yang berjenis kelamin laki-laki merdeka,
yang di wahyukan untuk membawa
syareat, dan perintah melakukan tabligh, sekalipun ia tidak membawa kitab suci atau sebuah salinan kitab dari Allah, seperti nabi yusya' AS walaupun ia tidak di perintahkan untuk melaksanakan dakwah. Maka yang demikian itu adalah
nabi. Menurut ijma ulama, bahwa seorang Rasul lebih afdhal dari pada seorang nabi. Dan menurut kaul yang shahih bahwa jumlah bilangan nabi sebanyak 124.000. sedangkan jumlah bilangan rasul sebanyak 315. ( ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ ) yaitu kerabat-nya kaum
mu'minin dari golongan Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Ada juga yang mengatakan, "mereka adalah kaum muslimin yang terdapat dalam maqom doa atau seumpamanya." Keterangan ini
diseleksi oleh para ulama ahli hadits
karena ada hadist dhaif, lalu Imam
Nawawi menguatkan hal tersebut
didalam kitab syarah muslim. (ﻭﺻﺤﺒﻪ )
Lapadz (ﻭﺻﺤﺒﻪ ) adalah isim jamak dari
(ﺻﺎﺣﺐ ) yang bermakna (ﺍﻟﺼﺤﺎﺑﻲ ), yaitu,
"orang beriman yang berkumpul
bersama nabi, walaupun ia buta dan
belum aqil baliqh. ( ﺍﻟﻔﺎﺋﺰﻳﻦ ﺑﺮﺿﺎ
ﺍﻟﻠﻪ )mereka bahagia dengan ridha Allah
yang maha tinggi.Keterangan tadi, adalah
shifat bagi orang yang telah di sebutkan

========================

ﻭﺑﻌﺪ‏( ﺃﻱ ﺑﻌﺪﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﺴﻤﻠﺔ ﻭﺍﻟﺤﻤﺪﻟﺔ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ
ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ، ) ﻓﻬﺬﺍ‏( ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ ﺍﻟﺤﺎﺿﺮ
ﺫﻫﻨﺎ ‏) ﻣﺨﺘﺼﺮ‏( ﻗﻞ ﻟﻔﻈﻪ ﻭﻛﺜﺮ ﻣﻌﻨﺎﻩ ﻣﻦ ﺍﻻﺧﺘﺼﺎﺭ ‏)ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻘﻪ‏( ﻫﻮ ﻟﻐﺔ : ﺍﻟﻔﻬﻢ . ﻭﺍﺻﻄﻼﺣﺎ: ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﻌﻤﻠﻴﺔ ﺍﻟﻤﻜﺘﺴﺐ ﻣﻦ ﺃﺩﻟﺘﻬﺎ ﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻠﻴﺔ . ﻭﺍﺳﺘﻤﺪﺍﺩﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺍﻻﺟﻤﺎﻉ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﺱ. ﻭﻓﺎﺋﺪﺗﻪ ﺍﻣﺘﺜﺎﻝ ﺃﻭﺍﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﻧﻮﺍﻫﻴﻪ. ‏) ﻋﻠﻰ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻻﻣﺎﻡ‏( ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ‏)ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ‏( ﻭﺭﺿﻰ ﻋﻨﻪ ﺃﻱ ﻣﺎ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺴﺎﺋﻞ.
ﺇﺩﺭﻳﺲ ﻭﺍﻟﺪﻩ، ﻫﻮ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺑﻦ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺷﺎﻓﻊ ﺑﻦ
ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺑﻦ ﻳﺰﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺎﺷﻢ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻤﻄﻠﺐ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﻣﻨﺎﻑ . ﻭﺷﺎﻓﻊ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﺴﺐ ﺇﻟﻴﻪ ﺍﻻﻣﺎﻡ. ﻭﺃﺳﻠﻢ ﻫﻮ ﻭﺃﺑﻮﻩ ﺍﻟﺴﺎﺋﺐ ﻳﻮﻡ ﺑﺪﺭ. ﻭﻭﻟﺪ ﺇﻣﺎﻣﻨﺎ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺳﻨﺔ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﻭﻣﺎﺋﺔ، ﻭﺗﻮﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺠﻤﻌﺔ ﺳﻠﺦ ﺭﺟﺐ ﺳﻨﺔ ﺃﺭﺑﻊ ﻭﻣﺎﺋﺘﻴﻦ . ) ﻭﺳﻤﻴﺘﻪ ﺑﻘﺮﺓ ﺍﻟﻌﻴﻦ‏( ﺑﺒﻴﺎﻥ ‏) ﻣﻬﻤﺎﺕ ‏( ﺃﺣﻜﺎﻡ ‏)ﺍﻟﺪﻳﻦ‏( ﺍﻧﺘﺨﺒﺘﻪ. ﻭﻫﺬﺍ ﺍﻟﺸﺮﺡ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪﺓ ﻟﺸﻴﺨﻨﺎ، ﺧﺎﺗﻤﺔ ﺍﻟﻤﺤﻘﻘﻴﻦ، ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﺠﺮ ﺍﻟﻬﻴﺘﻤﻰ، ﻭﺑﻘﻴﺔ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪﻳﻦ ﻣﺜﻞ ﻭﺟﻴﻪ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ
ﺑﻦ ﺯﻳﺎﺩ ﺍﻟﺰﺑﻴﺪﻯ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻭﺷﻴﺨﻲ ﻣﺸﺎﻳﺨﻨﺎ : ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﻟﻤﺠﺪﺩ ﺯﻛﺮﻳﺎ ﺍﻻﻧﺼﺎﺭﻱ، ﺍﻻﻣﺎﻡ ﺍﻻﻣﺠﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻤﺰﺟﺪ ﺍﻟﺰﺑﻴﺪﻯ ﺭﺣﻤﻬﻤﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ. ﻭﻏﻴﺮ ﻫﻢ ﻣﻦ ﻣﺤﻘﻘﻲ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ ﻣﻌﺘﻤﺪﺍ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺟﺰﻡ ﺑﻪ ﺷﻴﺨﺎ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ : ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﻭﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ ﻓﺎﻟﻨﻮﻭﻱ ﻓﻤﺤﻘﻘﻮ ﺍﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ. ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ، ‏) ﺭﺍﺟﻴﺎ ﻣﻦ‏( ﺭﺑﻨﺎ ‏) ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺃﻥ ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﺍﻻﺫﻛﻴﺎﺀ‏( ﺃﻱ ﺍﻟﻌﻼﺀ، ‏) ﻭﺃﻥ ﺗﻘﺮ ﺑﻪ‏( ﺑﺴﺒﺒﻪ ‏)ﻋﻴﻨﻲ ﻏﺪﺍ‏( ﺃﻱ ﺍﻟﻴﻮﻡ
ﺍﻻﺧﺮ ‏) ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﻭﺟﻬﻪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺑﻜﺮﺓ ﻭﻋﺸﻴﺎ‏( ﺁﻣﻴﻦ .
---------
Adapun selanjutnya 
(Setelah itu semua), yakni setelah menyebutkan Basmalah dan Ḥamdalah serta pengucapan shalawat dan salam atas orang yang telah disebutkan, (karangan ini) karangan yang hadir dalam hati (merupakan ringkasan kecil) yang mencakup sedikit lafazh dan banyak makna terurai di dalamnya sebagai Sebuah ringkasan (dalam ilmu fiqih). Fikih secara etimologi adalah pemahaman dan menurut istilah adalah ilmu tentang hukum-hukum syari‘at yang berbentuk pengalaman yang dihasilkan dari dasar-dasar yang terperinci. Pengambilannya melalui al-Qur’ān, as-Sunnah, Ijma‘ para ulama’ dan Qiyās. Adapun faedah mempelajari ilmu tersebut adalah untuk menjalankan segala perintah-perintah Allah s.w.t. dan menjauhi segala larangan-Nya. (Dalam madzhab Imām) al-Mujtahid Abī ‘Abdillāh Muḥammad bin Idrīs (asy-Syāfi‘ī – semoga Allah s.w.t. senantiasa mengasihinya) dan meridhainya. Maksudnya adalah mengikuti hukum-hukum permasalahan dari Imām Syāfi‘ī. Idrīs adalah nama orang tua Imām Syāfi‘ī, dia adalah anak dari Ibnu ‘Abbās bin ‘Utsmān bin Syāfi‘ bin as-Sā’ib bin ‘Ubaid bin ‘Abdun bin Yazīd bin Hāsyim bin ‘Abd-ul-Muththalib bin Manāf. Sedang Syāfi‘ī adalah nama yang dihubungkan kepada Imām Syāfi‘ī yang masuk Islam bersamaan ayahnya as-Sā’ib pada waktu terjadi perang Badar. Imām kita dilahirkan pada tahun 150 H. dan wafat hari Jum‘at pada akhir bulan Rajab tahun 204 H. (Saya namakan kitab ini dengan “Qurrat-ul-‘Aini”) yang menjelaskan (hal-hal penting) tentang hukum-hukum (agama). Ringkasan tersebut dan syarah ini kami ambil dari sumber kitab-kitab pegangan milik guru kami yang menjadi penutup ulama’ yang menjelaskan masalah besertaan dalilnya yakni Syihābuddīn Aḥmad bin Ḥajar al-Haitamī, ulama’ mujtahid yang lain seperti Syaikh Wajīhuddīn ‘Abd-ur-Raḥman bin Ziyād az-Zubaidī – semoga Allah s.w.t. meridhai keduanya – dan karya dari dua gurunya guru kami Syaikh-ul-Islām al-Mujaddid Zakariyyā al-Anshārī dan al-Imām al-Muzujad az-Zubaidī – semoga Allah s.w.t. senantiasa mengasihi keduanya, – dan dari selain mereka semua yakni ulama’ kurun akhir yang menyatakan masalah besertaan dalilnya. Kami berpegangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh Syaikhunal-madzhab Imām Nawawī dan ulama’ ahli taḥqīqi kurun akhir yang lain  – semoga Allah meridhai mereka semua – . (Berharap) dari Tuhan kami (Yang Maha Pengasih, semoga kitab ini bermanfaat bagi para cendikiawan) yakni orang-orang yang berakal (dan semoga Allah menyejukkan) dengan sebab kitab ini (mata kami esok) di hari akhir (dengan melihat Dzatnya Allah Yang Maha Mulia) di pagi dan sore hari. Amin.

ﺑَﺎﺏُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ
ِ
BAB SHALAT
{Kutipan dari https://hatisenang.com/}

ﻫِﻲَ ﺷَﺮْﻋًﺎ: ﺃَﻗْﻮَﺍﻝٌ ﻭَ ﺃَﻓْﻌَﺎﻝٌ ﻣَﺨْﺼُﻮْﺻَﺔٌ، ﻣُﻔْﺘَﺘَﺤَﺔٌ ﺑِﺎﻟﺘَّﻜْﺒِﻴْﺮِ ﻣُﺨْﺘَﺘَﻤَﺔٌ ﺑِﺎﻟﺘَّﺴْﻠِﻴْﻢِ ﻭَ ﺳُﻤِّﻴَﺖْ ﺑِﺬﻟِﻚَ ﻟِﺎﺷْﺘِﻤَﺎﻟِﻬَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻟُﻐَﺔً، ﻭَ ﻫِﻲَ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀُ. ﻭَ ﺍﻟْﻤَﻔْﺮُﻭْﺿَﺎﺕُ ﺍﻟْﻌَﻴْﻨِﻴَّﺔُ ﺧَﻤْﺲٌ ﻓِﻲْ ﻛُﻞِّ ﻳَﻮْﻡٍ ﻭَ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ، ﻣَﻌْﻠُﻮْﻣَﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ ﺑِﺎﻟﻀَّﺮُﻭْﺭَﺓِ، ﻓَﻴَﻜْﻔُﺮُ ﺟَﺎﺣِﺪُﻫَﺎ. ﻭَ ﻟَﻢْ ﺗَﺠْﺘَﻤِﻊْ ﻫﺬِﻩِ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲُ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ‏( ﺹ ‏)، ﻭَ ﻓُﺮِﺿَﺖْ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟْﺈِﺳْﺮَﺍﺀِ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻨُّﺒُﻮَّﺓِ ﺑِﻌَﺸْﺮِ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻭَ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔِ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ، ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺳَﺒْﻊٍ ﻭَ ﻋِﺸْﺮِﻳْﻦَ ﻣِﻦْ ﺭَﺟَﺐَ، ﻭَ ﻟَﻢْ ﺗَﺠِﺐْ ﺻُﺒْﺢَ ﻳَﻮْﻡِ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻠَﺔِ ﻟِﻌَﺪَﻡِ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﺑِﻜَﻴْﻔِﻴَّﺘِﻬَﺎ .
Pengertian Shalat Shalat menurut syara‘ adalah ucapan dan perbuatan (11 ) yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām , dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap (pengertian kata) shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat yang difardhukan secara individual berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada Nabi kita Muḥammad s.a.w. (2 2). Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.

( ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺗَﺠِﺐُ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔُ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟﺼَّﻠَﻮَﺍﺕُ ﺍﻟْﺨَﻤْﺲُ ‏(ﻋَﻠَﻰ ‏) ﻛُﻞِّ ‏( ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻣُﻜَﻠَّﻒٍ ‏) ﺃَﻱْ ﺑَﺎﻟِﻎٍ ﻋَﺎﻗِﻞٍ، ﺫَﻛَﺮٍ ﺃَﻭْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ، ‏(ﻃَﺎﻫِﺮٍ ‏) ﻓَﻠَﺎ ﺗَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻛَﺎﻓِﺮٍ ﺃَﺻْﻠِﻲٍّ ﻭَ ﺻَﺒِﻲٍّ ﻭَ ﻣَﺠْﻨُﻮْﻥٍ ﻭَ ﻣُﻐْﻤًﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَ ﺳَﻜْﺮَﺍﻥَ ﺑِﻠَﺎ ﺗَﻌَﺪٍّ، ﻟِﻌَﺪَﻡِ ﺗَﻜْﻠِﻴْﻔِﻬِﻢْ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺎﺋِﺾٍ ﻭَ ﻧُﻔَﺴَﺎﺀَ ﻟِﻌَﺪَﻡِ ﺻِﺤَّﺘِﻬَﺎ ﻣِﻨْﻬُﻤَﺎ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻗَﻀَﺎﺀَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ. ﺑَﻞْ ﺗَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺮْﺗَﺪٍّ ﻭَ ﻣُﺘَﻌَﺪٍّ ﺑِﺴُﻜْﺮٍ .
(Kewajiban melaksanakan shalat maktubah) (33) yakni shalat lima waktu (hanya dibebankan kepada) setiap (orang muslim yang mukallaf) yaitu seorang muslim yang telah baligh, (44) berakal, baik laki-laki maupun yang lainnya (dan orang suci). Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haidh dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun shalat hukumnya wajib bagi orang murtad (55 ) dan orang yang ceroboh dalam hilangnya akal sebab mabuk.
( ﻭَ ﻳُﻘْﺘَﻞُ ‏) ﺃَﻱْ ‏( ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢُ ‏) ﺍﻟْﻤُﻜَﻠَّﻒُ ﺍﻟﻄَّﺎﻫِﺮُ ﺣَﺪًّﺍ ﺑِﻀَﺮْﺏِ ﻋُﻨُﻘِﻪِ ‏(ﺇِﻥْ ﺃَﺧْﺮَﺟَﻬَﺎ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔَ، ﻋَﺎﻣِﺪًﺍ ‏( ﻋَﻦْ ﻭَﻗْﺖِ ﺟَﻤْﻊٍ ‏) ﻟَﻬَﺎ، ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻛَﺴَﻠًﺎ ﻣَﻊَ ﺍﻋْﺘِﻘَﺎﺩِ ﻭُﺟُﻮْﺑِﻬَﺎ ‏( ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺘُﺐْ ‏) ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﺘَﺎﺑَﺔِ، ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺪْﺏِ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﺘَﺎﺑَﺔِ ﻟَﺎ ﻳَﻀْﻤَﻦُ ﻣَﻦْ ﻗَﺘَﻠَﻪُ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺘَّﻮْﺑَﺔِ ﻟﻜِﻨَّﻪُ ﻳَﺄْﺛَﻢُ . ﻭَ ﻳُﻘْﺘَﻞُ ﻛُﻔْﺮًﺍ ﺇِﻥْ ﺗَﺮَﻛَﻬَﺎ ﺟَﺎﺣِﺪًﺍ ﻭُﺟُﻮْﺑَﻬَﺎ، ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻐْﺴَﻞُ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺼَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ.
(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang telah diwajibkan (6 6) secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama‘) shalat fardhu tersebut (7 7), jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setela disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi sunnah menyuruh orang yang meninggalkan shalat untuk taubat, maka tidak wajib mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa. (88) Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan shalat sebab menentang kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.
( ﻭَ ﻳُﺒَﺎﺩِﺭُ ‏) ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ‏(ﺑِﻔَﺎﺋِﺖٍ ‏) ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ، ﺇِﻥْ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻠَﺎ ﻋُﺬْﺭٍ، ﻓَﻴَﻠْﺰَﻣُﻪُ ﺍﻟْﻘَﻀَﺎﺀُ ﻓَﻮْﺭًﺍ . ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ ﺃَﺣْﻤَﺪُ ﺑْﻦُ ﺣَﺠَﺮٍ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ: ﻭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﻈْﻬَﺮُ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﻠْﺰَﻣُﻪُ ﺻَﺮْﻑُ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﺯَﻣَﻨِﻪِ ﻟِﻠْﻘَﻀَﺎﺀِ ﻣَﺎ ﻋَﺪَﺍ ﻣَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺎﺝُ ﻟِﺼَﺮْﻓِﻪِ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﻟَﺎ ﺑُﺪَّ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳَﺤْﺮُﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻄَﻮُّﻉُ، ﻭَ ﻳُﺒَﺎﺩِﺭُ ﺑِﻪِ – ﻧَﺪْﺑًﺎ – ﺇِﻥْ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻌُﺬْﺭٍ ﻛَﻨَﻮْﻡٍ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻌَﺪَّ ﺑِﻪِ ﻭَ ﻧِﺴْﻴَﺎﻥٍ ﻛَﺬﻟِﻚَ .
Bersegera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadha’ shalat tersebut segera. Guru kita Syaikh Ibnu Ḥajar – semoga Allah mengasihnya – mengatakan: “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya mengganti shalat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam hal yang wajib, (99) dan haram baginya melakukan kesunnahan. Sunnah bersegera mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh, begitu pula lupa.
( ﻭَ ﻳُﺴَﻦُّ ﺗَﺮْﺗِﻴْﺒُﻪُ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻔَﺎﺋِﺖِ، ﻓَﻴَﻘْﻀِﻲ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻈُّﻬْﺮِ، ﻭَ ﻫﻜَﺬَﺍ. ‏(ﻭَ ﺗَﻘْﺪِﻳْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺎﺿِﺮَﺓٍ ﻟَﺎ ﻳَﺨَﺎﻑُ ﻓَﻮْﺗَﻬَﺎ ‏) ﺇِﻥْ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻌُﺬْﺭٍ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺧَﺸِﻲَ ﻓَﻮْﺕَ ﺟَﻤَﺎﻋَﺘِﻬَﺎ – ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﻤِﺪِ .- ﻭَ ﺇِﺫَﺍ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻠَﺎ ﻋُﺬْﺭٍ ﻓَﻴَﺠِﺐُ ﺗَﻘْﺪِﻳْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ . ﺃَﻣَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺧَﺎﻑَ ﻓَﻮْﺕَ ﺍﻟْﺤَﺎﺿِﺮَﺓِ ﺑِﺄَﻥْ ﻳَﻘَﻊَ ﺑَﻌْﻀُﻬَﺎ – ﻭَ ﺇِﻥْ ﻗَﻞَّ – ﺧَﺎﺭِﺝَ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻓَﻴَﻠْﺰَﻣُﻪُ ﺍﻟْﺒَﺪْﺀُ ﺑِﻬَﺎ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺗَﻘْﺪِﻳْﻢُ ﻣَﺎ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋُﺬْﺭٍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻓَﺎﺕَ ﺑِﻌُﺬْﺭٍ. ﻭَ ﺇِﻥْ ﻓَﻘَﺪَ ﺍﻟﺘَّﺮْﺗِﻴْﺐَ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺳُﻨَّﺔٌ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﺪَﺍﺭُ ﻭَﺍﺟِﺐٌ . ﻭَ ﻳُﻨْﺪَﺏُ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُ ﺍﻟﺮَّﻭَﺍﺗِﺐِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺋِﺖِ ﺑِﻌُﺬْﺭٍ، ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺗَﺄْﺧِﻴْﺮُﻫَﺎ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻔَﻮَﺍﺋِﺖِ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋُﺬْﺭٍ .
Disunnahkan untuk mentartibkan shalat yang ditinggalkan, maka shalat Shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan begitu seterusnya. Disunnahkan mendahulukan shalat qadha’ atas shalat yang hadir yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika shalatnya ditinggalkan dengan sebab udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama‘ah dari shalat yang hadir menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan shalat qadha’ dengan mengakhirkan shalat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir – walaupun hanya sedikit – di luar waktunya maka wajib baginya mengawali shalat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan kehilangan tartib, (10 10) sebab hukum tartib hanya sunnah sedang bersegera hukumnya wajib. (1111 ) Disunnahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur.
( ﺗَﻨْﺒِﻴْﻪٌ ‏) ﻣَﻦْ ﻣَﺎﺕَ ﻭَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﻓَﺮْﺽٍ ﻟَﻢْ ﺗُﻘْﺾَ ﻭَ ﻟَﻢْ ﺗُﻔْﺪَ ﻋَﻨْﻪُ، ﻭَ ﻓِﻲْ ﻗَﻮْﻝٍ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﺗُﻔْﻌَﻞُ ﻋَﻨْﻪُ – ﺃَﻭْﺻَﻰ ﺑِﻬَﺎ ﺃَﻡْ ﻟَﺎ ﻣَﺎ ﺣَﻜَﺎﻩُ ﺍﻟْﻌُﺒَﺎﺩِﻱُّ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻌِﻲِّ ﻟِﺨَﺒَﺮٍ ﻓِﻴْﻪِ، ﻭَ ﻓَﻌَﻞَ ﺑِﻪِ ﺍﻟﺴُّﺒْﻜِﻲُّ ﻋَﻦْ ﺑَﻌْﺾِ ﺃَﻗَﺎﺭِﺑِﻪِ .
(Peringatan ). Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardhu maka shalatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya. (12 12) Sebagian pendapat mengatakan: Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti shalat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imām al-‘Ubādī menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Syafi‘i sebab adanya hadits tentang hal tersebut dan Imām Subkī dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai ganti shalat yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.
( ﻭَ ﻳُﺆْﻣَﺮُ ‏) ﺫُﻭْ ﺻَﺒِﻴًّﺎ ﺫَﻛَﺮٌ ﺃَﻭْ ﺃُﻧْﺜَﻰ ‏( ﻣُﻤَﻴِّﺰٌ ‏) ﺑِﺄَﻥْ ﺻَﺎﺭَ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﻭَ ﻳَﺸْﺮِﺏُ ﻭَ ﻳَﺴْﺘَﻨْﺠِﻲْ ﻭَﺣْﺪَﻩُ. ﺃَﻱْ ﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻣِﻦْ ﺃَﺑَﻮَﻳْﻪِ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻋَﻠَﺎ، ﺛُﻢَّ ﺍﻟْﻮَﺻِﻲِّ . ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎﻟِﻚِ ﺍﻟﺮَّﻗِﻴْﻖِ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻣُﺮَ ‏( ﺑِﻬَﺎ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻗَﻀَﺎﺀً، ﻭَ ﺑِﺠَﻤِﻴْﻊِ ﺷُﺮُﻭْﻃِﻬَﺎ ‏( ﻟِﺴَﺒْﻊٍ ‏) ﺃَﻱْ ﺑَﻌْﺪَ ﺳَﺒْﻊٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴِّﻨِﻴْﻦَ، ﺃَﻱْ ﻋِﻨْﺪَ ﺗَﻤَﺎﻣِﻬَﺎ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻣَﻴَّﺰَ ﻗَﺒْﻠَﻬَﺎ . ﻭَ ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲْ ﻣَﻊَ ﺻِﻴْﻐَﺔِ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﺍﻟﺘَّﻬْﺪِﻳْﺪُ. ‏(ﻭَ ﻳُﻀْﺮَﺏُ ‏) ﺿَﺮْﺑًﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﺒَﺮِّﺡٍ – ﻭُﺟُﻮْﺑًﺎ – ﻣِﻤَّﻦْ ﺫُﻛِﺮَ ‏( ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ‏) ﺃَﻱْ ﻋَﻠَﻰ ﺗَﺮْﻛِﻬَﺎ – ﻭَ ﻟَﻮْ ﻗَﻀَﺎﺀً – ﺃَﻭْ ﺗَﺮَﻙَ ﺷَﺮْﻃًﺎ ﻣِﻦْ ﺷُﺮُﻭْﻃِﻬَﺎ ‏( ﻟِﻌَﺸْﺮٍ ‏) ﺃَﻱْ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﺳْﺘِﻜْﻤَﺎﻟِﻬَﺎ، ﻟِﻠْﺤَﺪِﻳْﺚِ ﺍﻟﺼَّﺤِﻴْﺢِ : ﻣُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺼِّﺒِﻲَّ ﺑِﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺇِﺫَﺍ ﺑَﻠَﻎَ ﺳَﺒْﻊَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ، ﻭَ ﺇِﺫَﺍ ﺑَﻠَﻎَ ﻋَﺸْﺮَ ﺳِﻨِﻴْﻦَ ﻓَﺎﺿْﺮِﺑُﻮْﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ. ‏(ﻛَﺼَﻮْﻡٍ ﺃَﻃَﺎﻗَﻪُ ‏) ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳُﺆْﻣَﺮُ ﺑِﻪِ ﻟِﺴَﺒْﻊٍ ﻭَ ﻳُﻀْﺮَﺏَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟِﻌَﺸْﺮٍ ﻛَﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ . ﻭَ ﺣِﻜْﻤَﺔُ ﺫﻟِﻚَ ﺍﻟﺘَّﻤْﺮِﻳْﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ ﻟِﻴَﺘَﻌَﻮَّﺩَﻫَﺎ ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺘْﺮُﻛَﻬَﺎ . ﻭَ ﺑَﺤَﺚَ ﺍﻟْﺄَﺫْﺭَﻋِﻲُّ ﻓِﻲْ ﻗِﻦٍّ ﺻَﻐِﻴْﺮٍ ﻛَﺎﻓِﺮٍ ﻧَﻄَﻖَ ﺑِﺎﻟﺸَّﻬَﺎﺩَﺗَﻴْﻦِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﺆْﻣَﺮُ ﻧَﺪْﺑًﺎ ﺑِﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡِ، ﻳُﺤَﺚُّ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺿَﺮْﺏٍ ﻟِﻴَﺄْﻟَﻒَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ ﺑَﻌْﺪَ ﺑُﻠُﻮْﻏِﻪِ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺃَﺑَﻰ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﺱُ ﺫﻟِﻚَ . ﺍﻧْﺘَﻬَﻰ .
(Dan diperintahkan) kepada yang memiliki anak kecil lelaki maupun perempuan (yang telah tamyiz) yakni telah dapat makan, minum dan istinja’ sendiri. () Maksudnya wajib bagi setiap dari kedua orang tua – walaupun ketingkat seatasnya – , kemudian orang diwasiati dan orang yang memiliki budak untuk memerintahkannya (mengerjakan shalat) walaupun shalat tersebut adalah shalat qadha’ dan dengan seluruh persyaratan shalat (ketika anak tersebut telah mencapai umur setelah tujuh tahun) maksudnya setelah sempurna umur tujuh tahun walaupun anak tersebut telah tamyiz sebelum umur tersebut. Dan sebaiknya besertaan memerintah juga disertai dengan menakut-nakuti. Wajib bagi orang- orang yang telah disebutkan di atas (untuk memukul anak tersebut) dengan pukulan yang tidak menyakitkan (14 14) ketika ia (meninggalkan shalat) walaupun qadha’ atau meninggalkan satu syarat dari syarat-syarat shalat (setelah sempurna mencapai umur sepuluh tahun) karena hadits yang shaḥīḥ: “ Perintahkanlah anak kecil untuk melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan ketika berumur sepuluh tahun, maka pukullah anak tersebut saat meninggalkannya”. (Seperti halnya kewajiban memerintahkan puasa bagi anak yang telah mampu melaksanakannya) maka anak tersebut diperintahkan untuk melaksanakannya ketika berumur tujuh tahun dan dipukul saat meninggalkannya ketika berumur 10 tahun – seperti halnya shalat – . Hikmah dari hal tersebut adalah melatih untuk melakukan ibadah agar anak terbiasa hingga tidak meninggalkannya. Imām al-Adzra‘ī pernah membahas permasalahan budak kecil yang mampu mengucapkan kalimat syahadat bahwa anak tersebut sunnah untuk diperintahkan untuk mengerjakan shalat dan puasa dengan motivasi tanpa pemukulan supaya anak tersebut terbiasa melakukan kebaikan setelah baligh, walaupun secara qiyas hukum sunnah tersebut ditolak.
ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ﻧَﻬْﻴُﻪُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤُﺤَﺮَّﻣَﺎﺕِ ﻭَ ﺗَﻌْﻠِﻴْﻤُﻪُ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺒَﺎﺕِ، ﻭَ ﻧَﺤْﻮَﻫَﺎ ﻣِﻦْ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟﺸَّﺮَﺍﺋِﻊِ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮَﺓِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺳُﻨَّﺔً ﻛَﺴِﻮَﺍﻙٍ، ﻭَ ﺃَﻣْﺮُﻩُ ﺑِﺬﻟِﻚَ . ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﺘَﻬِﻲ ﻭُﺟُﻮْﺏُ ﻣَﺎ ﻣَﺮَّ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺒُﻠُﻮْﻏِﻪِ ﺭَﺷِﻴْﺪًﺍ، ﻭَ ﺃُﺟْﺮَﺓُ ﺗَﻌْﻠِﻴْﻤِﻪِ ﺫﻟِﻚَ – ﻛَﺎﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻭَ ﺍﻟْﺂﺩَﺍﺏِ – ﻓِﻲْ ﻣَﺎﻟِﻪِ ﺛُﻢَّ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺑِﻴْﻪِ ﺛُﻢَّ ﻋَﻠَﻰ ﺃُﻣِّﻪِ .
Wajib pula bagi seorang yang telah disebutkan untuk mencegah seorang anak dari melakukan perkara yang diharamkan, mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sejenisnya yakni dari setiap syari‘at yang telah jelas walaupun itu sunnah seperti bersiwak (1515 ). Hukum wajib memerintahkan anak tersebut adalah dengan melakukan syari‘at itu. Kewajiban yang telah lewat kepada orang- orang yang telah disebut tidak berakhir kecuali anak itu telah baligh dalam keadaan pandai. Sedangkan upah mengajarkan anak seperti mengajarkan al-Qur’ān dan etika itu dibebankan kepada harta sang anak, lalu ayahnya, lalu ibunya.
( ﺗَﻨْﺒِﻴْﻪٌ ‏) ﺫَﻛَﺮَ ﺍﻟﺴَّﻤْﻌَﺎﻧِﻲُّ ﻓِﻲْ ﺯَﻭْﺟَﺔٍ ﺻَﻐِﻴْﺮَﺓٍ ﺫَﺍﺕَ ﺃَﺑَﻮَﻳْﻦِ ﺃَﻥَّ ﻭُﺟُﻮْﺏَ ﻣَﺎ ﻣَﺮَّ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﻓَﺎﻟﺰَّﻭْﺝِ، ﻭَ ﻗَﻀِﻴَّﺘُﻪُ ﻭُﺟُﻮْﺏُ ﺿَﺮْﺑِﻬَﺎ. ﻭَ ﺑِﻪِ – ﻭَ ﻟَﻮْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮَﺓِ – ﺻَﺮَّﺡَ ﺟَﻤَﺎﻝُ ﺍﻟْﺈِﺳْﻠَﺎﻡِ ﺍﻟْﺒَﺰَﺭِﻱُّ. ﻗَﺎﻝَ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ: ﻭَ ﻫُﻮَ ﻇَﺎﻫِﺮٌ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﺶَ ﻧُﺸُﻮْﺯًﺍ . ﻭَ ﺃَﻃْﻠَﻖَ ﺍﻟﺰَّﺭْﻛَﺸِﻲُّ ﺍﻟﻨَّﺪْﺏَ .
(Peringatan ). Imām as-Sam‘ānī menyampaikan permasalahan seorang istri yang masih kecil yang masih memiliki kedua orang tua bahwa kewajiban yang telah lewat dibebankan kepada kedua orang tuanya (1616 ), kemudian suaminya. Dampak hukum dari itu adalah kewajiban memukul istri tersebut. Imām Jamāl-ul-Islām al-Bazarī menjelaskan kewajiban memukul sang istri walaupun istri tersebut telah dewasa. Guru kita mengatakan: Hal itu jelas, namun jika tidak ditakutkan terjadinya nusyuz, sedangkan Imām Zarkasyī memutlakkan hukum sunnah.
( ﻭَ ﺃَﻭَّﻝُ ﻭَﺍﺟِﺐٍ ‏) ﺣَﺘَّﻰ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﺑِﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻛَﻤَﺎ ﻗَﺎﻟُﻮْﺍ ‏( ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺂﺑَﺎﺀِ ‏) ﺛُﻢَّ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ‏( ﺗَﻌْﻠِﻴْﻤُﻪُ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻤُﻤَﻴِّﺰِ ‏(ﺃَﻥَّ ﻧَﺒِﻴَّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪًﺍ ‏( ﺹ ‏) ﺑُﻌِﺚَ ﺑِﻤَﻜَّﺔَ ‏) ﻭَ ﻭُﻟِﺪَ ﺑِﻬَﺎ ‏(ﻭَ ﺩُﻓِﻦَ ﺑِﺎﻟْﻤَﺪِﻳْﻨَﺔِ ‏) ﻭَ ﻣَﺎﺕَ ﺑِﻬَﺎ .
(Awal hal yang wajib)  sampai pada kewajiban memerintahkan shalat seperti yang telah disampaikan oleh para ulama’ (kepada para ayah), kemudian kepada orang-orang yang telah disebutkan (adalah mengajarkan anak-anak) yang telah tamyiz (bahwa Nabi kita, Nabi Muḥammad s.a.w. diutus di kota Makkah), dilahirkan di kota tersebut, (dimakamkan di kota Madinah) dan wafat di kota Madinah pula.
(فصل فى شروط الصلاة)
FASAL TENTANG SYARAT SHALAT
ﺍﻟﺸَّﺮْﻁُ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻮَﻗَّﻒُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺻِﺤَّﺔُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻭَ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻨْﻬَﺎ. ﻭَ ﻗُﺪِّﻣَﺖِ ﺍﻟﺸُّﺮُﻭْﻁُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﻛَﺎﻥِ ﻟِﺄَﻧَّﻬَﺎ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﺎﻟﺘَّﻘْﺪِﻳْﻢِ، ﺇِﺫِ ﺍﻟﺸَّﺮْﻁُ ﻣَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﺗَﻘْﺪِﻳْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﺍﺳْﺘِﻤْﺮَﺍﺭُﻩُ ﻓِﻴْﻬَﺎ.
‏(ﺷُﺮُﻭْﻁُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺧَﻤْﺴَﺔٌ: ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ: ﻃَﻬَﺎﺭَﺓٌ ﻋَﻦْ ﺣَﺪَﺙٍ ﻭَ ﺟَﻨَﺎﺑَﺔٍ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ: ﻟُﻐَﺔً‏) ، ﺍﻟﻨَّﻈَﺎﻓَﺔُ ﻭَ ﺍﻟْﺨُﻠُﻮْﺹُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪَّﻧَﺲِ.
ﻭَ ﺷَﺮْﻋًﺎ: ﺭَﻓْﻊُ ﺍﻟْﻤَﻨْﻊِ ﺍﻟْﻤُﺘَﺮَﺗَّﺐِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺤَﺪَﺙِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲِ .

Syarat adalah Suatu hal yang menjadikan
sahnya shalat, namun bukan  dari shalat . Syarat-syarat shalat lebih didahulukan daripada rukun-rukunnya sebab syarat lebih utama didahulukan karena syarat adalah hal yang wajib didahulukan atas shalat dan wajib harus selalu ada dalam shalat. Syarat-syarat shalat ada lima. Yang pertama adalah suci dari hadats dan janabah. Bersuci secara bahasa adalah bersih dan lepas dari kotoran. Sedang secara syara‘ adalah menghilangkan penghalang yang berupa hadats atau najis.

( ﻓَﺎﻟْﺄُﻭْﻟَﻰ ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﺤَﺪَﺙِ: (ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀُ ‏) ﻫُﻮَ – ﺑِﻀَﻢِّ ﺍﻟْﻮَﺍﻭِ – ﺍﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻝُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻓِﻲْ ﺃَﻋْﻀَﺎﺀٍ ﻣَﺨْﺼُﻮْﺻَﺔٍ ﻣُﻔْﺘَﺘَﺤًﺎ ﺑِﻨِﻴَّﺔٍ. ﻭَ ﺑِﻔَﺘْﺤِﻬَﺎ: ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ ﺑِﻪِ. ﻭَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﺑْﺘِﺪَﺍﺀُ ﻭُﺟُﻮْﺑِﻪِ ﻣَﻊَ ﺍﺑْﺘِﺪَﺍﺀِ ﻭُﺟُﻮْﺏِ ﺍﻟْﻤَﻜْﺘُﻮْﺑَﺔِ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟْﺈِﺳْﺮَﺍﺀِ .

Syarat Shalat Ke-1 (Untuk yang pertama) yakni bersuci dari hadats adalah dengan cara (berwudhu’). Lafazh wudhu’ dengan membaca dhammah wāw-nya bermakna menggunakan air pada anggota-anggota tertentu yang diawali dengan sebuah niat. Dan dengan terbaca fatḥah wāw- nya bermakna sesuatu yang digunakan untuk berwudhu’. Awal diwajibkannya berwudhu’ adalah bersamaan dengan kewajiban shalat lima waktu pada malam Isrā’-nya Nabi s.a.w.
( ﻭَ ﺷُﺮُﻭْﻃُﻪُ‏) ﺃَﻱِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ ﻛَﺸُﺮُﻭْﻁِ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ ﺧَﻤْﺴَﺔٌ. ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ: ‏( ﻣَﺎﺀٌ ﻣُﻄْﻠَﻖٌ ‏) ، ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺮْﻓَﻊُ ﺍﻟْﺤَﺪَﺙَ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﺰِﻳْﻞُ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲَ ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺼُﻞُ ﺳَﺎﺋِﺮَ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ – ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﺴْﻨُﻮْﻧَﺔً – ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺍﻟْﻤُﻄْﻠَﻖُ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻳَﻘَﻊُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﺳْﻢُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺑِﻠَﺎ ﻗَﻴْﺪٍ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺭَﺷَﺢَ ﻣِﻦْ ﺑِﺨَﺎﺭِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﻄَّﻬُﻮْﺭِ ﺍﻟْﻤُﻐْﻠَﻰ، ﺃَﻭِ ﺍﺳْﺘُﻬْﻠِﻚَ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟْﺨَﻠِﻴْﻂُ، ﺃَﻭْ ﻗَﻴْﺪٍ ﺑِﻤُﻮَﺍﻓَﻘَﺔِ ﺍﻟْﻮَﺍﻗِﻊِ ﻛَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ. ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺬْﻛَﺮُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣُﻘَﻴَّﺪًﺍ ﻛَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟْﻮَﺭْﺩِ، ‏(ﻏَﻴْﺮُ ﻣُﺴْﺘَﻌْﻤَﻞٍ ﻓِﻲْ‏) ﻓَﺮْﺽِ ﻃَﻬَﺎﺭَﺓٍ، ﻣِﻦْ (ﺭَﻓْﻊِ ﺣَﺪَﺙٍ ‏) ﺃَﺻْﻐَﺮَ ﺃَﻭْ ﺃَﻛْﺒَﺮَ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣِﻦْ ﻃُﻬْﺮِ ﺣَﻨَﻔِﻲٍّ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻮِ، ﺃَﻭْ ﺻَﺒِﻲٍّ ﻟَﻢْ ﻳُﻤَﻴِّﺰْ ﻟِﻄَﻮَﺍﻑٍ. ‏( ﻭَ‏) ﺇِﺯَﺍﻟَﺔِ ‏( ﻧَﺠَﺲٍ‏) ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﻌْﻔُﻮًّﺍ ﻋَﻨْﻪُ. ‏(ﻗَﻠِﻴْﻠًﺎ‏) ﺃَﻱْ ﺣَﺎﻝَ ﻛَﻮْﻥِ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻌْﻤَﻞِ ﻗَﻠِﻴْﻠًﺎ، ﺃَﻱْ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻘُﻠَّﺘَﻴْﻦِ. ﻓَﺈِﻥْ ﺟُﻤِﻊَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻌْﻤَﻞُ ﻓَﺒَﻠَﻎَ ﻗُﻠَّﺘَﻴْﻦِ ﻓَﻤُﻄَﻬِّﺮٌ، ﻛَﻤَﺎ ﻟَﻮْ ﺟُﻤِﻊَ ﺍﻟْﻤُﺘَﻨَﺠِّﺲُ ﻓَﺒَﻠَﻎَ ﻗُﻠَّﺘَﻴْﻦِ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮْ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻗَﻞَّ ﺑَﻌْﺪُ ﺑِﺘَﻔْﺮِﻳْﻘِﻪِ. ﻓَﻌُﻠِﻢَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻌْﻤَﺎﻝَ ﻟَﺎ ﻳَﺜْﺒُﺖُ ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻊَ ﻗِﻠَّﺔِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ، ﺃَﻱْ ﻭَ ﺑَﻌْﺪَ ﻓَﺼْﻠِﻪِ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﺤَﻞِّ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻌْﻤَﻞِ ﻭَ ﻟَﻮْ ﺣُﻜْﻤًﺎ، ﻛَﺄَﻥْ ﺟَﺎﻭَﺯَ ﻣَﻨْﻜِﺐَ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﺿِّﺊِ ﺃَﻭْ ﺭُﻛْﺒَﺘَﻪُ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻋَﺎﺩَ ﻟِﻤَﺤَﻠِّﻪِ ﺃَﻭِ ﺍﻧْﺘَﻘَﻞَ ﻣِﻦْ ﻳَﺪٍ
ﻟِﺄُﺧْﺮَﻯ. ﻧَﻌَﻢْ، ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤُﺤْﺪِﺙِ ﺍﻧْﻔِﺼَﺎﻝُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻒِّ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺴَّﺎﻋِﺪِ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠُﻨُﺐِ ﺍﻧْﻔِﺼَﺎﻟُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺮَّﺃْﺱِ
ﺇِﻟَﻰ ﻧَﺤْﻮِ ﺍﻟﺼَّﺪْﺭِ ﻣِﻤَّﺎ ﻳَﻐْﻠِﺐُ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻘَﺎﺫُﻑُ .


Syarat Wudhu’ (Syarat-syaratnya wudhu’) seperti halnya syarat-syaratnya mandi berjumlah lima syarat. Syarat yang pertama adalah (menggunakan air mutlak). Maka hadats dan najis tidak akan hilang, begitu pula tidak akan dapat membuahkan kesucian lain walaupun itu sunnah kecuali dengan menggunakan air yang mutlak. Air mutlak adalah sebuah penamaan air tersebut terikat dengan sebab mencocoki terhadap realita yang terjadi seperti air laut walaupun air tersebut menetes dari uap air suci yang mendidih atau larut di dalamnya sesuatu yang mencampuri. (33) Hal ini berbeda dengan air yang tidak disebut kecuali selalu terikat dengan nama lain  seperti air mawar. Air mutlak tersebut haruslah (belum digunakan untuk) kefardhuan bersuci, (5 5) yakni (dari menghilangkan hadats) kecil ataupun besar walaupun bekas bersuci dari madzhab Ḥanafiyyah yang tidak menggunakan niat atau dari seorang anak kecil yang belum tamyiz untuk ibadah thawāf (dan belum digunakan untuk menghilangkan najis) walaupun najis tersebut dima‘fuw (sedang keadaan air yang digunakan tersebut adalah air yang jumlahnya sedikit) maksudnya adalah air yang kurang dari dua qullah. Jika seandainya ada air musta‘mal dikumpulkan hingga mencapai dua qullah, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan seperti halnya ada air yang terkena najis kemudian dikumpulkan hingga mencapai dua qullah dan sifat air menjadi sedikit dengan memisah-misahkannya. Maka dari itu dapat diketahui, bahwa air musta‘mal tidak akan ada kecuali pada air yang jumlahnya sedikit dan setelah terpisahnya air dari tempat digunakannya air tersebut walaupun secara hukum saja seperti melampauinya air dari pundaknya orang yang berwudhu’ atau kedua lututnya walaupun air tersebut kembali ke tempat semula atau air berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Benar bahwa air yang telah terpisah walaupun secara hukum dikatakan musta‘mal namun tidak masalah terpisahnya air dari telapak tangan menuju lengan bagi seorang yang hadats dan bagi orang mandi junub, dari kepala menuju semisal dada yakni dari setiap anggota yang secara umumnya air tersebut menetes. 
فَرعٌ) لو ادخل المتوضئ يده بقصد الغسل عن الحدث او لا ﺑﻘﺼﺪ ﺑﻌﺪ ﻧﻴﺔ ﺍﻟﺠﻨﺐ، ﺃﻭ ﺗﺜﻠﻴﺚ ﻭﺟﻪ ﺍﻟﻤﺤﺪﺙ، ﺃﻭ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻐﺴﻠﺔ ﺍﻻﻭﻟﻰ، ﺇﻥ ﻗﺼﺪ ﺍﻻﻗﺘﺼﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﺎ، ﺑﻼ ﻧﻴﺔ ﺍﻏﺘﺮﺍﻑ ﻭﻻ ﻗﺼﺪ ﺃﺧﺬ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻟﻐﺮﺽ ﺁﺧﺮ ﺻﺎﺭ ﻣﺴﺘﻌﻤﻼ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻐﻴﺮ ﻳﺪﻩ ﻓﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﻐﺴﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﺑﺎﻗﻲ ﺳﺎﻋﺪﻫﺎ . ‏
(Cabangan Masalah). Kalau seandainya seorang yang berwudhu’ memasukkan tangannya dengan maksud mandi menghilangkan hadats ataupun orang tersebut tidak berniat seperti itu, namun setelah berniat mandi junub, atau setelah mengulang tiga kali dalam membasuh wajah seorang yang hadats kecil atau setelah basuhan pertama – jika ia meringkas dengan satu basuhan saja – dengan tanpa berniat ightirāf  dan juga tidak bertujuan mengambil air karena tujuan lain selain bersuci maka air tersebut menjadi musta‘mal untuk selain tangannya dan baginya diperbolehkan untuk membasuh lengannya dengan air yang berada pada tangannya.

( ﻭَ ‏) ﻏَﻴْﺮُ ‏(ﻣُﺘَﻐَﻴَّﺮٍ‏) ﺗَﻐَﻴُّﺮًﺍ ‏(ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ‏) ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﺇِﻃْﻠَﺎﻕَ ﺍﺳْﻢِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﺑِﺄَﻥْ ﺗَﻐَﻴَّﺮَ ﺃَﺣَﺪُ ﺻِﻔَﺎﺗِﻪِ ﻣِﻦْ ﻃَﻌْﻢٍ ﺃَﻭْ ﻟَﻮْﻥٍ ﺃَﻭْ ﺭِﻳْﺢٍ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺗَﻘْﺪِﻳْﺮِﻳًّﺎ ﺃَﻭْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﺑِﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﻋُﻀْﻮِ ﺍﻟْﻤُﺘَﻄَﻬِّﺮِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ، ﻭَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺆَﺛِّﺮُ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ (ﺑِﺨَﻠِﻴْﻂٍ‏) ﺃَﻱْ ﻣُﺨَﺎﻟِﻄًﺎ ﻟِﻠْﻤَﺎﺀٍ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎلا ﻳَﺘَﻤَﻴَّﺰُ ﻓِﻲْ ﺭَﺃْﻱِ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦِ ‏(ﻃَﺎﻫِﺮٍ ‏) ﻭَ ﻗَﺪْ ( ﻏَﻨِﻲَ‏) ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ‏( ﻋَﻨْﻪُ‏) ﻛَﺰْﻋَﻔَﺮَﺍﻥٍ، ﻭَ ﺛَﻤَﺮَ ﺷَﺠَﺮٍ ﻧَﺒَﺖَ ﻗُﺮْﺏَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ، ﻭَ ﻭَﺭَﻕٍ ﻃُﺮِﺡَ ﺛُﻢَّ ﺗَﻔَﺘَّﺖَ، ﻟَﺎ ﺗُﺮَﺍﺏٍ ﻭَ ﻣِﻠْﺢِ ﻣَﺎﺀٍ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻃُﺮِﺣَﺎ ﻓِﻴْﻪِ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳُﻀَﺮُّ ﺗَﻐَﻴُّﺮٌ ﻟَﺎ ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﺍﻟْﺎِﺳْﻢَ ﻟِﻘِﻠَّﺘِﻪِ ﻭَ ﻟَﻮِ ﺍﺣْﺘِﻤَﺎﻟًﺎ، ﺑِﺄَﻥْ ﺷَﻚَّ ﺃَﻫُﻮَ ﻛَﺜِﻴْﺮٌ ﺃَﻭْ ﻗَﻠِﻴْﻞٌ. ﻭَ ﺧَﺮَﺝَ ﺑِﻘَﻮْﻟِﻲْ ﺑِﺨَﻠِﻴْﻂِ ﺍﻟْﻤُﺠَﺎﻭِﺭُ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻳَﺘَﻤَﻴَّﺰُ
ﻟِﻠﻨَّﺎﻇِﺮِ، ﻛَﻌُﻮْﺩٍ ﻭَ ﺩُﻫْﻦٍ ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣُﻄَﻴِّﺒَﻴْﻦَ، ﻭَ ﻣِﻨْﻪُ ﺍﻟْﺒُﺨُﻮْﺭُ ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ ﻭَ ﻇَﻬَﺮَ ﻧَﺤْﻮَ ﺭِﻳْﺤِﻪِ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺠَﻤْﻊٍ. ﻭَ ﻣِﻨْﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻣَﺎﺀٌ ﺃُﻏْﻠِﻲَ ﻓِﻴْﻪِ ﻧَﺤْﻮَ ﺑُﺮٍّ ﻭَ ﺗَﻤْﺮٍ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﻢْ ﻳُﻌْﻠَﻢِ ﺍﻧْﻔِﺼَﺎﻝُ ﻋَﻴْﻦٍ ﻓِﻴْﻪِ ﻣُﺨَﺎﻟِﻄَﺔً، ﺑِﺄَﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺼِﻞَ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﺪٍّ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻟَﻪُ ﺍﺳْﻢٌ ﺁﺧَﺮَ ﻛَﺎﻟْﻤَﺮَﻗَﺔِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺷَﻚَّ ﻓِﻲْ ﺷَﻲْﺀٍ ﺃَﻣُﺨَﺎﻟِﻂٌ ﻫُﻮَ ﺃَﻡْ ﻣُﺠَﺎﻭِﺭٌ، ﻟَﻪُ ﺣُﻜْﻢُ ﺍﻟْﻤُﺠَﺎﻭِﺭِ. ﻭَ ﺑِﻘُﻮْﻟِﻲْ ﻏَﻨِﻲٌّ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺴْﺘَﻐْﻨَﻰ ﻋَﻨْﻪُ، ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﻘَﺮِّﻩِ ﻭَ ﻣَﻤَﺮِّﻩِ، ﻣِﻦْ ﻧَﺤْﻮِ ﻃِﻴْﻦٍ ﻭَ ﻃُﺤْﻠُﺐٍ ﻣُﺘَﻔَﺘِّﺖٍ ﻭَ ﻛِﺒْﺮِﻳْﺖٍ، ﻭَ ﻛَﺎﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮِ ﺑِﻄُﻮْﻝِ ﺍﻟْﻤُﻜْﺚِ ﺃَﻭْ ﺑِﺄَﻭْﺭَﺍﻕٍ ﻣُﺘَﻨَﺎﺛِﺮَﺓٍ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻬَﺎ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺗَﻔَﺘَّﺘَﺖْ ﻭَ ﺑَﻌُﺪَﺕِ ﺍﻟﺸَّﺠَﺮَﺓُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ. ‏( ﺃَﻭْ ﺑِﻨَﺠَﺲٍ‏) ﻭَ ﺃَﻥْ ﻗَﻞَّ ﺍﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮُ. ‏( ﻭَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ‏) ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ‏(ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ‏) ﺃَﻱْ ﻗُﻠَّﺘَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻓِﻲْ ﺻُﻮْﺭَﺗَﻲِ ﺍﻟﺘَّﻐْﻴِﻴْﺮِ ﺑِﺎﻟﻄَّﺎﻫِﺮِ ﻭَ ﺍﻟﻨَّﺠَﺲِ .

(Dan) tidak (ada perubahan) dengan
perubahan (yang banyak) sekira perubahan tersebut dapat mencegah kemutlakan nama air, sebagaimana perubahan yang terjadi pada salah satu sifatnya air yakni dari rasa, warna dan baunya walaupun perubahannya hanya secara perkiraan atau adanya perubahan sebab sesuatu yang berada pada anggota orang yang bersuci menurut pendapat ashaḥḥ . Perubahan hanya akan terjadi apabila perubahan disebabkan oleh (sesuatu yang mencampuri air) yakni mukhālith mukhālith adalah benda yang tidak terlihat berbeda dengan air () – (yang bersifat suci) dan (air tersebut dapat terhindar dari percampuran tersebut) seperti minyak za‘faran, buah dari pohon yang tumbuh di dekat air dan dedaunan yang dijatuhkan kemudian hancur di dalamnya, bukan debu () dan garam air walaupun dijatuhkan ke dalam air. Tidak masalah sebuah perubahan yang tidak merubah kemutlakan nama air sebab perubahannya sedikit, walaupun terjadi keraguan sebagaimana seorang yang ragu apakah perubahan tersebut banyak atau sedikit. () Dikecualikan dari ucapan saya: mukhālith adalah mujāwir . Mujāwir adalah benda yang terlihat berbeda dengan air seperti kayu, minyak walaupun keduanya dibuat wewangian. Sebagian dari benda mujāwir adalah tetesan air yang mendidih walaupun sangat banyak dan baunya tampak jelas, berbeda dengan pendapat sekelompok ulama’. Sebagian lagi adalah air yang mendidih sedang di dalamnya terdapat sejenis gandum dan kurma sekira tidak diketahui terpisahnya sebuah bentuk benda yang mencampuri air dengan tidak terjadinya penamaan yang lain seperti air kuah. Kalau seandainya sebuah benda diragukan apakah mukhālith ataupun mujāwir , maka benda itu dihukumi mujāwir . Dikecualikan pula dengan ucapanku: dapat dihindarkan dari air adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan seperti halnya kasus air yang berada pada tempat menetapnya air dan tempat mengalirnya air, ( ) seperti sejenis lumpur, lumut yang hancur, belerang, dan seperti perubahan sebab diam yang terlalu lama atau dedaunan yang berguguran dengan sendirinya walaupun hancur dan pohonnya jauh dari air tersebut. (Atau perubahan terjadi dengan sebab najis) walaupun perubahannya hanya sedikit (dan walaupun adanya) air (tersebut banyak) yakni dua qullah lebih dalam dua contoh perubahan dengan menggunakan perkara yang suci dan najis.

ﻭَ ﺍﻟْﻘُﻠَّﺘَﺎﻥِ ﺑِﺎﻟْﻮَﺯْﻥِ: ﺧَﻤْﺴُﻤِﺎﺋَﺔِ ﺭِﻃْﻞِ ﺑَﻐْﺪَﺍﺩِﻱٍّ ﺗَﻘْﺮِﻳْﺒًﺎ، ﻭَ ﺑِﺎﻟْﻤِﺴَﺎﺣَﺔِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤُﺮَﺑَّﻊِ: ﺫِﺭَﺍﻉٌ ﻭَ ﺭُﺑُﻊٌ ﻃُﻮْﻟًﺎ ﻭَ ﻋَﺮْﺿًﺎ ﻭَ ﻋُﻤْﻘًﺎ، ﺑِﺬِﺭَﺍﻉِ ﺍﻟْﻴَﺪِ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺪِﻟَﺔِ. ﻭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤُﺪَﻭَّﺭِ: ﺫِﺭَﺍﻉٌ ﻣِﻦْ ﺳَﺎﺋِﺮِ ﺍﻟْﺠَﻮَﺍﻧِﺐِ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉِ ﺍﻟْﺂﺩَﻣِﻲِّ، ﻭَ ﺫِﺭَﺍﻋَﺎﻥِ ﻋُﻤْﻘًﺎ ﺑِﺬِﺭَﺍﻉِ ﺍﻟﻨَّﺠَّﺎﺭِ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﺫِﺭَﺍﻉٌ ﻭَ ﺭُﺑُﻊٌ. ﻭَ ﻟَﺎ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﻗُﻠَّﺘَﺎ ﻣَﺎﺀٍ ﻭَ ﻟَﻮِ ﺍﺣْﺘِﻤَﺎﻟًﺎ، ﻛَﺄَﻥْ ﺷَﻚَّ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﺃَﺑْﻠَﻐَﻬُﻤَﺎ ﺃَﻡْ ﻟَﺎ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﺗُﻴُﻘِّﻨَﺖْ ﻗِﻠَّﺘُﻪُ ﻗَﺒْﻞَ ﺑِﻤُﻠَﺎﻗَﺎﺓِ ﻧَﺠَﺲٍ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﻐَﻴَّﺮْ ﺑِﻪِ، ﻭَ ﺇِﻥِ ﺍﺳْﺘُﻬْﻠِﻜَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔُ ﻓِﻴْﻪِ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﺍﻟﺘَّﺒَﺎﻋُﺪُ ﻣِﻦْ ﻧَﺠَﺲٍ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﻛَﺜِﻴْﺮٍ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺒَﺤْﺮِ ﻣَﺜَﻠًﺎ ﻓَﺎﺭْﺗَﻔَﻌَﺖْ ﻣِﻨْﻪُ ﺭَﻏْﻮَﺓٌ ﻓَﻬِﻲَ ﻧَﺠِﺴَﺔٌ ﺇِﻥْ ﺗَﺤَﻘَّﻖَ ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﻴْﻦِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔِ، ﺃَﻭْ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺘَﻐَﻴِّﺮِ ﺃَﺣَﺪُ ﺃَﻭْﺻَﺎﻓِﻪِ ﺑِﻬَﺎ، ﻭَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓَﻠَﺎ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﻃُﺮِﺣَﺖْ ﻓِﻴْﻪِ ﺑَﻌْﺮَﺓٌ، ﻓَﻮَﻗَﻌَﺖْ ﻣِﻦْ ﺃَﺟْﻞِ ﺍﻟﻄَّﺮْﺡِ ﻗَﻄْﺮَﺓٌ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻟَﻢْ ﺗُﻨَﺠِّﺴْﻪُ،

Ukuran air dua qullah dengan timbangan adalah kurang-lebih 500 liter Baghdad, sedang dua qullah dengan alat ukur dalam wadah kubus adalah 1 ¼ hasta orang normal setiap panjang, lebar dan dalamnya. Sedang dalam wadah silinder atau bulat adalah dengan diameter 1 hasta manusia disetiap sisi dan dalamnya 2 hasta dengan hasta tangan tukang kayu, yakni 1 ¼ hasta tangan biasa. Air yang berjumlah dua qullah tidak dapat dihukumi najis – walaupun masih kemungkinan seperti diragukan apakah ari tersebut sudah mencapai dua qullah ataupun belum dan walaupun sebelumnya telah diyakini sedikitnya jumlah air tersebut – dengan sebab terkena najis selama najis tersebut tidak merubah sifat air walaupun najis tersebut larut di dalamnya. Tidak wajib menjauhi najis di air yang berjumlah banyak (). Kalau seandainya seseorang kencing di laut, kemudian terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis bila jelas buih itu dari air kencingnya atau dari air yang telah berubah salah satu sifat air dengan sebab air kencing tersebut, dan bila tidak seperti itu maka tidaklah dihukumi najis. Jika sebuah kotoran kering () dilemparkan ke dalam air, lalu dari pelemparan tersebut menimbulkan percikan air yang mengenai pada suatu benda, maka benda tersebut tidak dihukumi najis.

ﻭَ ﻳُﻨَﺠِّﺲُ ﻗَﻠِﻴْﻞُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ – ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﺩُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻘُﻠَّﺘَﻴْﻦِ – ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻭَﺍﺭِﺩًﺍ ﺑِﻮُﺻُﻮْﻝِ ﻧَﺠَﺲٍ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻳُﺮَﻯ ﺑِﺎﻟْﺒَﺼَﺮِ ﺍﻟْﻤُﻌْﺘَﺪِﻝِ، ﻏَﻴْﺮَ ﻣَﻌْﻔُﻮٍّ ﻋَﻨْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻣَﻌْﻔُﻮًّﺍ ﻋَﻨْﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻛَﻐَﻴْﺮِﻩِ ﻣِﻦْ ﺭُﻃَﺐٍ ﻭَ ﻣَﺎﺋِﻊٍ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜُﺮَ. ﻟَﺎ ﺑِﻮُﺻُﻮْﻝِ ﻣَﻴْﺘَﺔٍ ﻟَﺎ ﺩَﻡَ ﻟِﺠِﻨْﺴِﻬَﺎ ﺳَﺎﺋِﻞٌ ﻋِﻨْﺪَ ﺷَﻖِّ ﻋُﻀْﻮٍ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﻛَﻌَﻘْﺮَﺏٍ ﻭَ ﻭَﺯْﻉٍ، ﺇِﻟَّﺎ ﺇِﻥْ ﺗَﻐَﻴَّﺮَ ﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﺘْﻪُ – ﻭَ ﻟَﻮْ ﻳَﺴِﻴْﺮًﺍ – ﻓَﺤِﻴْﻨَﺌِﺬٍ ﻳَﻨْﺠُﺲُ. ﻟَﺎ ﺳَﺮْﻃَﺎﻥٍ ﻭَ ﺿِﻔْﺪَﻉٍ ﻓَﻴَﻨْﺠُﺲُ ﺑِﻬِﻤَﺎ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺠَﻤْﻊٍ، ﻭَ ﻟَﺎ ﺑِﻤَﻴْﺘَﺔٍ ﻛَﺎﻥَ ﻧَﺸْﺆُﻫَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻛَﺎﻟْﻌَﻠَﻖِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻃُﺮِﺡَ ﻓِﻴْﻪِ ﻣَﻴْﺘَﺔٌ ﻣِﻦْ ﺫﻟِﻚَ ﻧَﺠَﺲَ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻄَّﺎﺭِﺡُ ﻏَﻴْﺮَ ﻣُﻜَﻠَّﻒٍ، ﻭَ ﻟَﺎ ﺃَﺛَﺮَ ﻟِﻄَﺮْﺡِ ﺍﻟْﺤَﻲِّ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ. ﻭَ ﺍﺧْﺘَﺎﺭَ ﻛَﺜِﻴْﺮُﻭْﻥَ ﻣِﻦْ ﺃَﺋِﻤَّﺘِﻨَﺎ ﻣَﺬْﻫَﺐَ ﻣَﺎﻟِﻚٍ: ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻟَﺎ ﻳَﻨْﺠُﺲُ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟﺘَّﻐَﻴُّﺮِ، ﻭَ ﺍﻟْﺠَﺎﺭِﻱْ ﻛَﺮَﺍﻛِﺪٍ ﻭَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻘَﺪِﻳْﻢِ: ﻟَﺎ ﻳَﻨْﺠُﺲُ ﻗَﻠِﻴْﻠُﻪُ ﺑِﻠَﺎ ﺗَﻐَﻴُّﺮٍ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺬْﻫَﺐُ ﻣَﺎﻟِﻚٍ. ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺠْﻤُﻮْﻉِ: ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺠَﺎﺳَﺔُ ﻣَﺎﺋِﻌَﺔً ﺃَﻭْ ﺟَﺎﻣِﺪَﺓً. ﻭَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺍﻟْﻘَﻠِﻴْﻞُ ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻨَﺠَّﺲَ ﻳَﻄْﻬُﺮُ ﺑِﺒُﻠُﻮْﻏِﻪِ ﻗُﻠَّﺘَﻴْﻦِ – ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺲٍ – ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﺗَﻐَﻴُّﺮَ ﺑِﻪِ، ﻭَ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﺮُ ﻳَﻄْﻬُﺮُ ﺑِﺰَﻭَﺍﻝِ ﺗَﻐَﻴُّﺮِﻩِ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﺃَﻭْ ﺑِﻤَﺎﺀٍ ﺯِﻳْﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻭْ ﻧُﻘِﺺَ ﻋَﻨْﻪُ ﻭَ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟْﺒَﺎﻗِﻲْ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ .

Air yang jumlahnya sedikit yakni air yang kurang dari dua qullah dapat menjadi najis – bila air itu tidak dialirkan – () dengan sebab masuknya najis pada air tersebut dengan najis yang dapat dilihat dengan mata orang yang normal, yang tidak dima‘fuw di dalam air walaupun dima‘fuw di dalam shalat, seperti halnya hukum selain air yakni dari perkara yang basah dan cair walaupun cairan yang berjumlah banyak. Tidak najis dengan sebab masuknya bangkai yang tidak memiliki jenis darah yang mengalir saat anggota tubuhnya dirobek seperti scorpio (kalajengking) dan cecak kecuali bangkai tersebut merubah sifat air walaupun dengan perubahan yang sedikit, maka pada saat seperti itu air menjadi najis. Tidak dengan masuknya bangkai kepiting dan katak, maka air menjadi najis dengan sebab dua bangkai hewan tersebut, sementara segolongan ulama’ berpendapat lain. Dan juga tidak najis dengan sebab bangkai dari hewan yang muncul dari air seperti halnya lintah. Kalau seandainya bangkai-bangkai itu1) dilempar ke dalam air, maka air dihukumi najis walaupun yang melempar adalah selainnya orang yang mukallaf. Tidak masalah melempar hewan pada waktu masih hidup secara mutlak. Mayoritas ulama’ kita lebih memilih pendapat Imām Mālik yang mengatakan bahwa air tidak dihukumi najis secara mutlak kecuali air menjadi berubah. Air yang mengalir seperti halnya air yang diam. Dalam qaul qadīm Imām Syāfi‘ī disebutkan bahwa tidak dihukumi najis sedikitnya air tanpa perubahan dan itu adalah madzhab Imām Mālik. Dan Majmū‘-nya Imām Nawawī mengatakan: Baik adanya najis tersebut cair ataupun padat. Air sedikit yang terkena najis dapat menjadi suci dengan sampainya air tersebut menjadi dua qullah – walaupun dengan menggunakan air yang terkena najis – sekira tidak ditemukan perubahan pada sifat air tersebut. Sedangkan air banyak yang terkena najis dapat suci dengan sebab hilangnya perubahan pada air itu dengan sendirinya atau dengan air yang ditambahkan () atau dikurangi sedang sisanya masih banyak.

( ﻭَ ‏) ﺛَﺎﻧِﻴْﻬَﺎ: ‏(ﺟَﺮِﻱُّ ﻣَﺎﺀٍ ﻋَﻠَﻰ ﻋُﻀْﻮٍ‏) ﻣَﻐْﺴُﻮْﻝٍ، ﻓَﻠَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﺃَﻥْ ﻳَﻤَﺴَّﻪُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﺑِﻠَﺎ ﺟِﺮْﻳَﺎﻥٍ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﺴَﻤَّﻰ ﻏُﺴْﻠًﺎ. ‏( ﻭَ‏) ﺛَﺎﻟِﺜُﻬَﺎ: ‏(ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ‏) ﺃَﻱْ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌُﻀْﻮِ ‏( ﻣُﻐَﻴَّﺮٌ ﻟِﻠْﻤَﺎﺀِ ﺗَﻐَﻴُّﺮًﺍ ﺿَﺎﺭًّﺍ‏) ﻛَﺰَﻋْﻔَﺮَﺍﻥٍ ﻭَ ﺻَﻨْﺪَﻝٍ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺠَﻤْﻊٍ. ‏( ﻭَ‏) ﺭَﺍﺑِﻌُﻬَﺎ: ‏(ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰ ﺍﻟْﻌُﻀْﻮِ ﺣَﺎﺋِﻞٌ ‏) ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻭَ ﺍﻟْﻤَﻐْﺴُﻮْﻝِ، ( ﻛَﻨُﻮْﺭَﺓٍ‏) ﻭَ ﺷَﻤْﻊٍ ﻭَ ﺩُﻫْﻦٍ ﺟَﺎﻣِﺪٍ ﻭَ ﻋَﻴْﻦِ ﺣُﺒْﺮٍ ﻭَ ﺣِﻨَّﺎﺀٍ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑِ ﺩُﻫْﻦٍ ﺟَﺎﺭٍ ﺃَﻱْ ﻣَﺎﺋِﻊٍ – ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺜْﺒُﺖِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ – ﻭَ ﺃَﺛَﺮَ ﺣُﺒْﺮٍ ﻭَ ﺣِﻨَّﺎﺀٍ. ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ – ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺟَﺰَﻡَ ﺑِﻪِ ﻛَﺜِﻴْﺮُﻭْﻥَ – ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥَ ﻭَﺳَﺦٌ ﺗَﺤْﺖَ ﻇُﻔْﺮٍ ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﻭُﺻُﻮْﻝَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﺤْﺘَﻪُ، ﺧِﻠَﺎﻓًﺎ ﻟِﺠَﻤْﻊٍ ﻣِﻨْﻬُﻢُ ﺍﻟْﻐَﺰَﺍﻟِﻲُّ ﻭَ ﺍﻟﺰَّﺭْﻛَﺸِﻲُّ ﻭَ ﻏَﻴْﺮُﻫُﻤَﺎ، ﻭَ ﺃَﻃَﺎﻟُﻮْﺍ ﻓِﻲْ ﺗَﺮْﺟِﻴْﺤِﻪِ ﻭَ ﺻَﺮَّﺣُﻮْﺍ ﺑِﺎﻟْﻤُﺴَﺎﻣَﺤَﺔِ ﻋَﻤَّﺎ ﺗَﺤْﺘَﻬَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺳَﺦِ ﺩُﻭْﻥَ ﻧَﺤْﻮِ ﺍﻟْﻌَﺠِﻴْﻦِ. ﻭَ ﺃَﺷَﺎﺭَ ﺍﻟْﺄَﺫْﺭَﻋِﻲُّ ﻭَ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺿَﻌْﻒِ ﻣَﻘَﺎﻟَﺘِﻬِﻢْ. ﻭَ ﻗَﺪْ ﺻَﺮَّﺡَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺘَّﺘِﻤَّﺔِ ﻭَ ﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ، ﺑِﻤَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺮَّﻭْﺿَﺔِ ﻭَ ﻏَﻴْﺮِﻫَﺎ، ﻣِﻦْ ﻋَﺪَﻡِ ﺍﻟْﻤُﺴَﺎﻣَﺤَﺔِ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻤَّﺎ ﺗَﺤْﺘَﻬَﺎ ﺣَﻴْﺚُ ﻣَﻨَﻊَ ﻭُﺻُﻮْﻝِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺤَﻠِّﻪِ. ﻭَ ﺃَﻓْﺘَﻰ ﺍﻟْﺒَﻐَﻮِﻱُّ ﻓِﻲْ ﻭَﺳَﺦٍ ﺣَﺼَﻞَ ﻣِﻦْ ﻏُﺒَﺎﺭٍ ﺑِﺄَﻧَّﻪُ ﻳَﻤْﻨَﻊُ ﺻِﺤَّﺔَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﺑِﺨِﻠَﺎﻑٍ ﻣَﺎ ﻧَﺸَﺄَ ﻣِﻦْ ﺑَﺪَﻧِﻪِ ﻭَ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﻌِﺮْﻕُ ﺍﻟْﻤُﺘَﺠَﻤِّﺪُ. ﻭَ ﺟَﺰَﻡَ ﺑِﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﻧْﻮَﺍﺭِ .

(Syarat yang kedua dari wudhu’) adalah (mengalirkan air pada anggota yang dibasuh), maka tidak cukup mengusapkan air tanpa mengalirkan () karena hal tersebut tidak dinamakan membasuh. (Syarat ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota ketiga dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak terdapat sesuatu yang dapat merubah air dengan perubahan yang membahayakan () seperti minyak za‘faran dan kayu cendana, sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain. (Syarat yang keempat dari wudhu’) adalah (pada anggota wudhu’ tidak ada penghalang) di antara air dan anggota yang dibasuh (seperti kapur), lilin, minyak yang telah mengeras, dzat tinta dan inai. Berbeda dengan minyak yang cair –walaupun air tidak menetap pada anggota wudlu – dan bekas (21 3) tinta dan inai. Begitu pula disyaratkan – menurut mayoritas ulama’ – tidak adanya kotoran kuku yang dapat mencegah masuknya air pada bagian di bawah kuku tersebut. Sementara sekelompok ulama’ berpendapat lain, sebagian ulama’ tersebut adalah Imām al-Ghazālī, Imām az-Zarkasyī dan selain keduanya. Mereka bersikukuh memperkuat pendapatnya dan menjelaskan bahwa sesuatu yang berada di bawah kuku yakni dari kotoran bukan sejenis adonan roti merupakan dispensasi () (rukhshah). Imām al-Adzra‘ī dan selainnya memberi isyarat atas lemahnya pendapat mereka. Imām Mutawallī dalam kitab Tatimah dan selainnya menjelaskan dengan menggunakan pendapat yang tertuang dalam ar-Raudhah dan selainnya bahwa kotoran yang berada di bawah kuku, jika dapat menghalangi masuknya air ke tempatnya tidaklah mendapatkan dispensasi. Imām al- Baghawī berfatwa bahwa kotoran yang dihasilkan dari debu itu dapat menghalangi sahnya wudhu’, berbeda dengan keringat yang mengeras yang muncul dari tubuhnya sendiri dan Imām Yūsuf telah mengambil keputusan dalam kitab al-Anwār-nya sesuai dengan hal tersebut.

( ﻭَ ‏) ﺧَﺎﻣِﺴُﻬَﺎ: ‏(ﺩُﺧُﻮْﻝُ ﻭَﻗْﺖٍ ﻟِﺪَﺍﺋِﻢِ ﺣَﺪَﺙٍ‏) ﻛَﺴَﻠِﺲٍ ﻭَ ﻣُﺴْﺘَﺤَﺎﺿَﺔٍ. ﻭَ ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻟَﻪُ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻇَﻦُّ ﺩُﺧُﻮْﻟِﻪِ، ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺘَﻮَﺿَّﺄُ – ﻛَﺎﻟْﻤُﺘَﻴَﻤِّﻢِ – ﻟِﻔَﺮْﺽٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻔْﻞٍ ﻣُﺆَﻗَﺖٍ ﻗَﺒْﻞَ ﻭَﻗْﺖِ ﻓِﻌْﻠِﻪِ، ﻭَ ﻟِﺼَﻠَﺎﺓِ ﺟَﻨَﺎﺯَﺓٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ، ﻭَ ﺗَﺤِﻴَّﺔٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺩُﺧُﻮْﻝِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ، ﻭَ ﻟِﻠﺮَّﻭَﺍﺗِﺐِ ﺍﻟْﻤُﺘَﺄَﺧِّﺮَﺓِ ﻗَﺒْﻞَ ﻓِﻌْﻞِ ﺍﻟْﻔَﺮْﺽِ، ﻭَ ﻟَﺰِﻡَ ﻭُﺿُﻮْﺁﻥِ ﺃَﻭْ ﺗَﻴَﻤُّﻤَﺎﻥِ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻄِﻴْﺐٍ ﺩَﺍﺋِﻢٍ ﺍﻟْﺤَﺪَﺙِ، ﺃَﺣَﺪُﻫُﻤَﺎ: ﻟِﻠْﺨُﻄْﺒَﺘَﻴْﻦِ ﻭَ ﺍﻟْﺂﺧَﺮُ ﺑَﻌْﺪَﻫُﻤَﺎ ﻟِﺼَﻠَﺎﺓِ ﺟُﻤْﻌَﺔٍ، ﻭَ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻭَﺍﺣِﺪٌ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﻟِﻐَﻴْﺮِﻩِ، ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀُ ﻟِﻜُﻞِّ ﻓَﺮْﺽٍ – ﻛَﺎﻟﺘَّﻴَﻤُّﻢِ ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻏُﺴْﻞُ ﺍﻟْﻔَﺮْﺝِ ﻭَ ﺇِﺑْﺪَﺍﻝُ ﺍﻟْﻘُﻄْﻨَﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲْ ﺑِﻔَﻤِﻪِ ﻭَ ﺍﻟْﻌَﺼَﺎﺑَﺔِ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﺰُﻝْ ﻋَﻦْ ﻣَﻮْﺿِﻌِﻬَﺎ. ﻭَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺤْﻮِ ﺳَﻠِﺲٍ ﻣُﺒَﺎﺩَﺭَﺓٌ ﺑِﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻓَﻠَﻮْ ﺃَﺧَّﺮَ ﻟِﻤَﺼْﻠَﺤَﺘِﻬَﺎ ﻛَﺎﻧْﺘِﻈَﺎﺭِ ﺟَﻤَﺎﻋَﺔٍ ﺃَﻭْ ﺟُﻤْﻌَﺔٍ ﻭَ ﺇِﻥْ ﺃُﺧِّﺮَﺕْ ﻋَﻦْ ﺃَﻭَّﻝِ ﺍﻟْﻮَﻗْﺖِ ﻭَ ﻛَﺬَﻫَﺎﺏٍ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﺴْﺠِﺪٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮُّﻩُ .

(Syarat wudhu’ yang kelima) () adalah (masuknya waktu shalat bagi seorang yang selalu hadats) seperti orang yang beser (24 6) dan istiḥādhah, dan disyaratkan pula baginya untuk menduga masuknya waktu shalat, maka baginya tidak diperbolehkan berwudhu’ – seperti halnya orang yang tayammum – untuk shalat fardhu ataupun sunnah sebelum masuknya waktu untuk mengerjakannya, dan untuk shalat janazah sebelum memandikannya, dan untuk shalat tahiyyat-ul- masjid sebelum masuk masjid, dan untuk shalat rawatib yang diakhirkan sebelum melakukan shalat fardhu. Wajib melakukan dua wudhu’ atau dua tayammum bagi seorang khatib yang selalu hadats, satu wudhu’ untuk dua khutbah dan satunya setelah dua khutbah untuk melakukan shalat jum‘at, dan dicukupkan satu wudhu’ untuk kedua hal tersebut baginya untuk berwudhu’ di setiap akan melaksanakan shalat fardhu’ seperti halnya tayammum () Begitu pula wajib membasuh vagina dan mengganti kapuk yang berada pada bibir vagina dan mengganti pembalut walaupun pembalut tersebut tidak bergeser dari tempatnya.  ). Dan bagi sejenis beser kencing diwajibkan untuk bersegera melaksanakan shalat. Kalau seandainya ia mengakhirkan shalat karena untuk kemaslahatan shalat seperti menunggu jama‘ah atau shalat jum‘at – walaupun shalat tersebut diakhirkan dari awal waktu – dan seperti berangkat menuju masjid, maka hukumnya tidaklah masalah baginya.

 TENTANG KEFARDHUAN WUDHU’

( ﻭَ ﻓُﺮُﻭْﺿُﻪُ ﺳِﺘَّﺔٌ ‏) ﺃَﺣَﺪُﻫَﺎ: ‏( ﻧِﻴَّﺔٌ‏) ﻭُﺿُﻮْﺀٍ ﺃَﻭْ ﺃَﺩَﺍﺀِ ‏( ﻓَﺮْﺽِ ﻭُﺿُﻮْﺀٍ ‏) ﺃَﻭْ ﺭَﻓْﻊِ ﺣَﺪَﺙٍ ﻟِﻐَﻴْﺮِ ﺩَﺍﺋِﻢِ ﺣَﺪَﺙٍ، ﺣَﺘَّﻰ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ ﺍﻟْﻤُﺠَﺪَّﺩِ ﺃَﻭِ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ ﻋَﻨْﻪُ، ﺃَﻭِ ﺍﻟﻄَّﻬَﺎﺭَﺓِ ﻟِﻨَﺤْﻮِ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ، ﻣِﻤَّﺎ ﻟَﺎ ﻳُﺒَﺎﺡُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺎﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﺃَﻭِ ﺍﺳْﺘِﺒَﺎﺣَﺔٍ ﻣُﻔْﺘَﻘِﺮٍّ ﺇِﻟَﻰ ﻭُﺿُﻮْﺀِ ﻛَﺎﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَ ﻣَﺲَّ ﺍﻟْﻤُﺼْﺤَﻒِ. ﻭَ لَا ﺗَﻜْﻔِﻲْ ﻧِﻴَّﺔُ ﺍﺳْﺘِﺒَﺎﺣَﺔِ ﻣَﺎ ﻳُﻨْﺪَﺏُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀُ، ﻛَﻘِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳْﺚِ، ﻭَ ﻛَﺪُﺧُﻮْﻝِ ﻣَﺴْﺠِﺪٍ ﻭَ ﺯِﻳَﺎﺭَﺓِ ﻗَﺒْﺮٍ. ﻭَ ﺍﻟْﺄَﺻْﻞُ ﻓِﻲْ ﻭُﺟُﻮْﺏِ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔِ ﺧَﺒَﺮُ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍﻟْﺄَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ. ﺃَﻱْ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺻِﺤَّﺘُﻬَﺎ بِاِﻛْﻤَﺎﻟِﻬَﺎ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻗَﺮْﻧَﻬَﺎ ‏(ﻋِﻨْﺪَ‏) ﺃَﻭَّﻝِ (ﻏَﺴْﻞِ‏) ﺟُﺰْﺀٍ ﻣِﻦْ ‏(ﻭَﺟْﻪٍ‏) ، ﻓَﻠَﻮْ ﻗَﺮَﻧَﻬَﺎ ﺑِﺄَﺛْﻨَﺎﺋِﻪِ ﻛَﻔَﻰ ﻭَ ﻭَﺟَﺐَ ﺇِﻋَﺎﺩَﺓُ ﻏَﺴْﻞِ ﻣَﺎ ﺳَﺒَﻘَﻬَﺎ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻗَﺮْﻧُﻬَﺎ ﺑِﻤَﺎ ﻗَﺒْﻠَﻪُ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﺼْﺤِﺒْﻬَﺎ ﺇِﻟَﻰ ﻏُﺴْﻞِ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﻨْﻪُ، ﻭَ ﻣَﺎ ﻗَﺎﺭَﻧَﻬَﺎ ﻫُﻮَ ﺃَﻭَّﻟُﻪُ، ﻓَﺘَﻔُﻮْﺕُ ﺳُﻨَّﺔُ ﺍﻟْﻤَﻀْﻤَﻀَﺔِ ﺇِﻥِ ﺍﻧْﻐَﺴَﻞَ ﻣَﻌَﻬَﺎ ﺷَﻲْﺀٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ – ﻛَﺤُﻤْﺮَﺓِ ﺍﻟﺸَّﻔَﺔِ – ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔِ ﻓَﺎﻟْﺄَﻭْﻟَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﻔَﺮِّﻕَ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔُ ﺑِﺄَﻥْ ﻳَﻨْﻮِﻱَ ﻋِﻨْﺪَ ﻛُﻞِّ ﻣِﻦْ ﻏَﺴْﻞِ ﺍﻟْﻜَﻔَّﻴْﻦِ ﻭَ ﺍﻟْﻤَﻀْﻤَﻀَﺔِ ﻭَ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻨْﺸَﺎﻕِ ﺳُﻨَّﺔَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﺛُﻢَّ ﻓَﺮْﺽَ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ ﻋِﻨْﺪَ ﻏَﺴْﻞِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ، ﺣَﺘَّﻰ ﻟَﺎ ﺗَﻔُﻮْﺕَ ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُ ﺍﺳْﺘِﺼْﺤَﺎﺏِ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔِ ﻣِﻦْ ﺃَﻭَّﻟِﻪِ. ﻭَ ﻓَﻀِﻴْﻠَﺔُﺍﻟْﻤَﻀْﻤَﻀَﺔِ ﻭَ ﺍﻟْﺎِﺳْﺘِﻨْﺸَﺎﻕِ ﻣَﻊَ ﺍﻧْﻐِﺴَﺎﻝِ ﺣُﻤْﺮَﺓِ ﺍﻟﺸَّﻔَﺔِ .

Rukun Wudhu’
(Kefardhuan wudhu’ ada enam). Yang pertama adalah (niat) wudhu’ atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau mengerjakan (kefardhuan wudhu’) atau menghilangkan hadats bagi selain orang yang selalu hadats. (11) Semua niat tersebut juga berlaku sampai di dalam wudhu’ yang diperbaharui (22). Boleh juga berniat bersuci dari hadats, bersuci untuk sesamanya shalat yakni dari setiap hal yang tidak diperbolehkan dilakukan kecuali dengan wudhu’ atau berniat supaya diperbolehkan melakukan setiap hal yang membutuhkan wudhu’ seperti shalat dan menyentuh mushhaf. Tidak cukup niat supaya diperbolehkan melakukan hal yang disunnahkan untuk berwudhu’ seperti membaca al-Qur’ān dan hadits, dan tidak pula niat untuk diperbolehkan masuk masjid dan ziarah qubur. Dasar dari kewajiban berniat ini adalah hadits: Keabsahan sebuah amal hanyalah dengan kesempurnaan niat . Wajib membarengkan niat (ketika mengawali membasuh bagian wajah). (3 3) Jika seseorang membarengkan niat di tengah pembasuhan bagian wajah maka hal tersebut mencukupi dan wajib baginya mengulangi membasuh bagian yang telah mendahului niat. Tidak cukup membarengkan niat dengan anggota sebelum wajah sekira orang tersebut tidak melanggengkan niat sampai membasuh bagian dari wajah. Anggota wajah yang dibarengi niat adalah awal pembasuhan, maka kesunnahan berkumur akan hilang bila bagian wajah – seperti bagian merah bibir – terbasuh saat berkumur setelah berniat wudhu’. Oleh karenanya, yang lebih baik adalah memetakan niat dengan berniat ketika membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menghirup air ke hidung dengan niat sunnah, kemudian disusul dengan niat fardhu wudhu’ ketika membasuh wajah hingga kesunnahan melanggengkan niat dari awal membasuh wajah tidak hilang, dan tidak hilang pula kesunnahan berkumur dan menghirup air dari hidung dengan terbasuhnya bagian merahnya bibir. (4 4).

( ﻭَ ‏) ﺛَﺎﻧِﻴْﻬَﺎ: ‏(ﻏَﺴْﻞُ‏) ﻇَﺎﻫِﺮِ ‏( ﻭَﺟْﻬِﻪِ‏) لاﻳَﺔٍ* : ‏(ﻓَﺎﻏْﺴِﻠُﻮْﺍ ﻭُﺟُﻮْﻫَﻜُﻢْ ‏) * ‏( ﻭَ ﻫُﻮَ ‏) ﻃُﻮْﻟًﺎ ‏( ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﻣَﻨَﺎﺑِِﺖ‏) ﺷَﻌْﺮِ ( ﺭَﺃْﺳِﻪِ‏) ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ‏( ﻭَ‏) ﺗَﺤْﺖَ ‏( ﻣُﻨْﺘَﻬَﻰ ﻟِﺤْﻴَﻴْﻪِ‏) – ﺑِﻔَﺘْﺢِ ﺍﻟﻠَّﺎﻡِ – ﻓَﻬُﻮَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﺩُﻭْﻥَ ﻣَﺎ ﺗَﺤْﺘَﻪُ، ﻭَ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮِ ﺍﻟﻨَّﺎﺑِﺖِ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺗَﺤْﺘَﻪُ، ‏( ﻭَ‏) ﻋَﺮْﺿًﺎ ‏( ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺃُﺫُﻧَﻴْﻪِ ‏). ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴﻞ ﺷَﻌْﺮِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﻣِﻦْ ﻫُﺪْﺏٍ ﻭَ ﺣَﺎﺟِﺐٍ ﻭَ ﺷَﺎﺭِﺏٍ ﻭَ ﻋُﻨْﻔُﻘَﺔٍ ﻭَ ﻟِﺤْﻴَﺔٍ – ﻭَ ﻫِﻲَ ﻣَﺎ ﻧَﺒَﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺬَّﻗَﻦِ – ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣُﺠْﺘَﻤَﻊٌ ﺍﻟﻠَّﺤَﻴَﻴْﻦِ – ﻭَ ﻋُﺬَﺍﺭٍ – ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻧَﺒَﺖَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﻈْﻢِ ﺍﻟْﻤُﺤَﺎﺫِﻱْ ﻟِﻠْﺄُﺫُﻥِ – ﻭَ ﻋَﺎﺭِﺽٍ – ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﺍﻧْﺤَﻂَ ﻋَﻨْﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠِّﺤْﻴَﺔِ .- ﻭَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﺣُﻤْﺮَﺓُ ﺍﻟﺸَّﻔَﺘَﻴْﻦِ ﻭَ ﻣَﻮْﺿِﻊُ ﺍﻟْﻐَﻤَﻢِ – ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻧَﺒَﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﺒْﻬَﺔِ ﺩُﻭْﻥَ ﻣَﺤَﻞِّ ﺍﻟﺘَّﺤْﺬِﻳْﻒِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺻَﺢِّ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﻧَﺒَﺖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮْ ﺍﻟْﺨَﻔِﻴْﻒُ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﺑْﺘِﺪَﺍﺀِ ﺍﻟْﻌُﺬَﺍﺭِ ﻭَ ﺍﻟﻨَّﺰْﻋَﺔِ – ﻭَ ﺩُﻭْﻥَ ﻭَﺗَﺪِ ﺍﻟْﺄُﺫُﻥِ ﻭَ ﺍﻟﻨَّﺰْﻋَﺘَﻴْﻦِ – ﻭَ ﻫُﻤَﺎ ﺑَﻴَﺎﺿَﺎﻥِ ﻳَﻜْﺘَﻨِﻔَﺎﻥِ ﺍﻟﻨَّﺎﺻِﻴَﺔِ – ﻭَ ﻣَﻮْﺿِﻊُ ﺍﻟﺼَّﻠَﻊِ – ﻭَ ﻫُﻮَ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﺤَﺴَﺮَ ﻋَﻨْﻪُ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮُ .- ﻭَ ﻳُﺴَﻦُّ ﻏُﺴْﻞُ ﻛُﻞِّ ﻣَﺎ ﻗِﻴْﻞَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏُﺴْﻞُ ﻇَﺎﻫِﺮِ ﻭَ ﺑَﺎﻃِﻦِ ﻛُﻞِّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸُّﻌُﻮْﺭِ ﺍﻟﺴَّﺎﺑِﻘَﺔِ – ﻭَ ﺇِﻥْ ﻛَﺜَﻒَ – ﻟِﻨُﺪْﺭَﺓِ ﺍﻟْﻜَﺜَﺎﻓَﺔِ ﻓِﻴْﻬَﺎ، ﻟَﺎ ﺑَﺎﻃِﻦُ ﻛَﺜِﻴْﻒِ ﻟِﺤْﻴَﺔٍ ﻭَ ﻋَﺎﺭِﺽٍ – ﻭَ ﺍﻟْﻜَﺜِﻴْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﺮَ ﺍﻟْﺒَﺸَﺮَﺓُ ﻣِﻦْ ﺧِﻠَﺎﻟِﻪِ ﻓِﻲْ ﻣَﺠْﻠِﺲِ ﺍﻟﺘَّﺨَﺎﻃُﺐِ ﻋُﺮْﻓًﺎ – ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏُﺴْﻞُ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺘَﺤَﻘَّﻖُ ﻏَﺴْﻞُ ﺟَﻤِﻴْﻌِﻪِ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﻐَﺴْﻠِﻪِ، ﻟِﺄَﻥَّ ﻣَﺎ ﻟَﺎ ﻳَﺘِﻢُّ ﺍﻟْﻮَﺍﺟِﺐُ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﻪِ ﻭَﺍﺟِﺐٌ .

Kefardhuan wudhu’ yang kedua adalah
(membasuh bagian luar wajah) (55 ) sebab telah dijelaskan dalam ayat al-Qur’ān: Maka basuhlah wajah kalian semua. (Wajah) dari sisi lebarnya adalah (anggota di antara tempat tumbuhnya rambut) (66 ) secara umumnya (dan) bagian bawah (tempat akhir dua tulang rahang). Tulang rahang adalah termasuk dari bagian wajah, bukan bagian yang berada di bawah tulang rahang dan rambut yang tumbuh di bagian bawah tulang tersebut. Sedang wajah dari sisi lebarnya (adalah anggota di antara dua kuping). Wajib membasuh rambut yang tumbuh di wajah seperti bulu mata, alis, kumis, rawis, jenggot – yakni rambut yang tumbuh di bawah dagu sedang dagu adalah tempat berkumpulnya dua tulang rahang – , rambut ati-ati – yakni rambut yang tumbuh pada tulang yang melurusi kuping, – rambut jabang – yakni rambut yang berada pada posisi akhir rambut ati-ati sampai jenggot. Sebagian dari bagian wajah adalah merah dua bibir dan tempat ghamam (sinom; jawa) – adalah tempat tumbuhnya rambut kening – bukan tempat taḥdzīf (7 7) menurut pendapat yang ashaḥḥ – yakni daerah tumbuhnya rambut tipis di antara awal rambut ati-ati dan tempat dua sisi dahi yang tak berambut – , dan bukan pasak telinga dan dua naz‘ah – dua naz‘ah adalah dua daerah bebas rambut yang mengelilingi ubun-ubun – , dan bukan tempat botak – yakni daerah di antara dua naz‘ah ketika rambut rontok – . Disunnahkan untuk membasuh setiap anggota yang tidak disebut sebagai wajah. Wajib membasuh bagian luar dan dalam setiap rambut-rambut yang telah lewat – walaupun tebal – sebab hal tersebut jarang terjadi. Tidak wajib membasuh bagian dalam rambut yang tebal dari jenggot dan jabang. Katagori tebal adalah selama tidak terlihat dari sela-sela rambut di tempat perbincangan secara umumnya. Wajib membasuh anggota yang tidak mungkin terbasuh keseluruhannya kecuali dengan membasuhnya, sebab perkara yang tidak mungkin sempurna kewajibannya kecuali
dengan perkara tersebut, maka hukumnya wajib.

( ﻭَ ‏) ﺛَﺎﻟِﺜُﻬَﺎ: ‏(ﻏَﺴْﻞُ ﻳَﺪَﻳْﻪِ‏) ﻣِﻦْ ﻛَﻔَّﻴْﻪِ ﻭَ ﺫِﺭَﺍﻋَﻴْﻪِ ‏(ﺑِﻜُﻞِّ ﻣِﺮْﻓَﻖٍ ‏) ﻟِﻠْﺂﻳَﺔِ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏَﺴْﻞُ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻣَﺎ ﻓِﻲْ ﻣَﺤَﻞِّ ﺍﻟْﻔَﺮْﺽِ ﻣِﻦْﺷَﻌْﺮٍ ﻭَ ﻇُﻔْﺮٍ، ﻭَ ﺇِﻥْ ﻃَﺎﻝَ. ‏(ﻓَﺮْﻉٌ ‏) ﻟَﻮْ ﻧَﺴِﻲَ ﻟُﻤْﻌَﺔً ﻓَﺎﻧْﻐَﺴَﻠَﺖْ ﻓِﻲْ ﺗَﺜْﻠِﻴْﺚٍ، ﺃَﻭْ ﺇِﻋَﺎﺩَﺓِ ﻭُﺿُﻮْﺀٍ ﻟِﻨِﺴْﻴَﺎﻥٍ ﻟَﻪُ، ﻟَﺎ ﺗَﺠْﺪِﻳْﺪٍ ﻭَ ﺍﺣْﺘِﻴَﺎﻁٍ، ﺃَﺟْﺰَﺃَﻩُ. ‏( ﻭَ ‏) ﺭَﺍﺑِﻌُﻬَﺎ: ‏( ﻣَﺴْﺢُ ﺑَﻌْﺾِ ﺭَﺃْﺳِﻪِ‏) ﻛَﺎﻟﻨَّﺰْﻋَﺔِ ﻭَ ﺍﻟْﺒَﻴَﺎﺽِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺍﻟْﺄُﺫُﻥِ ﺑَﺸَﺮٌ ﺃَﻭْ ﺷَﻌْﺮٌ ﻓِﻲْ ﺣَﺪِّﻩِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﺑَﻌْﺾَ ﺷَﻌْﺮَﺓٍ ﻭَﺍﺣِﺪَﺓٍ، ﻟِﻠْﺂﻳَﺔِ. ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﺒَﻐَﻮِﻱُّ: ﻳَﻨْﺒَﻐِﻲْ ﺃَﻥْ ﻟَﺎ ﻳُﺠْﺰِﺉَ ﺃَﻗَﻞُّ ﻣِﻦْ ﻗَﺪْﺭِ ﺍﻟﻨَّﺎﺻِﻴَﺔِ، ﻭَ ﻫِﻲَ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟﻨَّﺰْﻋَﺘَﻴْﻦِ، ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﺴَﺢْ ﺃَﻗَﻞَّ ﻣِﻨْﻬَﺎ، ﻭَ ﻫُﻮَ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٌ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﺣَﻨِﻴْﻔَﺔَ ﺭَﺣِﻤَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ، ﻭَ ﺍﻟْﻤَﺸْﻬُﻮْﺭ ﻋَﻨْﻪُ ﻭُﺟُﻮْﺏُ ﻣَﺴْﺢِ ﺍﻟﺮُّﺑُﻊِ. ‏( ﻭَ‏) ﺧَﺎﻣِﺴُﻬَﺎ: ‏(ﻏَﺴْﻞُ ﺭِﺟْﻠَﻴْﻪِ‏) ﺑِﻜُﻞِّ ﻛَﻌْﺐٍ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺭِﺟْﻞٍ، ﻟِﻠْﺂﻳَﺔِ. ﺃَﻭْ ﻣَﺴْﺢُ ﺧُﻔَّﻴْﻬِﻤَﺎ ﺑِﺸُﺮُﻭْﻃِﻪِ. ﻭَ ﻳَﺠِﺐُ ﻏُﺴْﻞُ ﺑَﺎﻃِﻦِ ﺛَﻘْﺐٍ ﻭَ ﺷَﻖٍّ .

(Fardhu yang ketiga) adalah (membasuh
kedua tangan) yakni dari dua telapak tangan dan dua lengan (besertaan setiap siku-siku) karena adanya ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan. Wajib membasuh seluruh anggota yang berada pada tempat yang wajib dibasuh dari rambut (88 ) dan kuku, walaupun kuku tersebut panjang. (Cabang Masalah ). Kalau seandainya seseorang lupa tidak membasuh sedikit dari anggota wudhu’ lalu anggota tersebut terbasuh pada basuhan yang ketiga atau saat mengulangi wudhu’ karena lupa, bukan karena memperbaharui wudhu’ dan berhati-hati (9 9) maka hal tersebut mencukupi. (Fardhu yang keempat) adalah (mengusap sebagian kepala) – seperti daerah dua sisi dahi yang tak berambut dan warna putih yang berada di belakang kuping – , yakni berupa kulit ataupun rambut yang masih pada batasannya1 – walaupun sebagian satu rambut saja – sebab ayat yang menjelaskan hal tersebut. Imām Baghawī mengatakan: Sebaiknya tidak mencukupi sebuah usapan yang kurang dari kadar ubun-ubun yakni anggota yang di antara dua naz‘ah sebab Nabi s.a.w. tidak pernah mengusap kurang dari kadar tersebut, (11 11) dan hadits tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Abū Ḥanīfah – semoga Allah mengasihinya – . Pendapat yang masyhur dari madzhab Abū Ḥanīfah adalah wajib membasuh seperempat dari kepala. (Fardhu yang kelima) adalah (membasuh kedua kaki) besertaan setiap mata kaki dari setiap kaki karena ayat al-Qur’ān yang telah menjelaskan, atau mengusap kedua muzah dengan syarat-syaratnya (12 12). Wajib untuk membasuh bagian tubuh yang berlubang dan robek.

( ﻓَﺮْﻉٌ‏) ﻟَﻮْ ﺩَﺧَﻠَﺖْ ﺷَﻮْﻛَﺔٌ ﻓِﻲْ ﺭِﺟْﻠِﻪِ ﻭَ ﻇَﻬَﺮَ ﺑَﻌْﻀُﻬَﺎ، ﻭَﺟَﺐَ ﻗَﻠْﻌُﻬَﺎ ﻭَ ﻏَﺴْﻞُ ﻣَﺤَﻠِّﻬَﺎ ﻟِﺄَﻧَّﻪُ ﺻَﺎﺭَ ﻓِﻲْ ﺣُﻜْﻢِ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮِ، ﻓَﺈِﻥِ ﺍﺳْﺘَﺘَﺮَﺕْ ﻛُﻠُّﻬَﺎ ﺻَﺎﺭَﺕْ ﻓِﻲْ ﺣُﻜْﻢِ ﺍﻟْﺒَﺎﻃَﻦِ ﻓَﻴَﺼِﺢُّ ﻭُﺿُﻮْﺅُﻩُ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﺗَﻨَﻔَّﻂَ ﻓِﻲْ ﺭِﺟْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻏَﻴْﺮِﻩِ ﻟَﻢْ ﻳَﺠِﺐْ ﻏُﺴْﻞُ ﺑَﺎﻃِﻨِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺘَﺸَﻘَّﻖْ، ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﺸَﻘَّﻖَ ﻭَﺟَﺐَ ﻏَﺴْﻞُ ﺑَﺎﻃِﻨِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺮْﺗَﺘِﻖْ .

(Cabangan Masalah). Kalau seandainya kaki seseorang tertancap duri dan sebagian duri tersebut tampak, maka wajib untuk mencabutnya dan membasuh bekas duri menancap sebab tempat tersebut dihukum menjadi anggota luar. Jika semua duri terbenam maka duri dihukumi bagian dalam hingga sahlah wudhu’nya. Kalau seandainya kaki atau anggota lain melepuh, mata tidak wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama anggota itu tidak sobek. Jika anggota tersebut sobek, maka wajib untuk membasuh bagian dalamnya selama belum melekat.

( ﺗَﻨْﺒِﻴْﻪٌ‏) ﺫَﻛَﺮُﻭْﺍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞِ ﺃَﻧَّﻪُ ﻳُﻌْﻔَﻰ ﻋَﻦْ ﺑَﺎﻃِﻦٍ ﻋَﻘْﺪِ ﺍﻟﺸَّﻌْﺮِ ﺃَﻱْ ﺇِﺫَﺍ ﺍﻧْﻌَﻘَﺪَ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻭَ ﺃُﻟْﺤِﻖَ ﺑِﻬَﺎ ﻣِﻦِ ﺍﺑْﺘُﻠِﻲَ ﺑِﻨَﺤْﻮِ ﻃَﺒَّﻮُﻉٍ ﻟَﺼَﻖَ ﺑَﺄُﺻُﻮْﻝِ ﺷَﻌْﺮِﻩِ ﺣَﺘَّﻰ ﻣَﻨَﻊَ ﻭُﺻُﻮْﻝَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَ ﻟَﻢْ ﻳُﻤْﻜِﻦْ ﺇِﺯَﺍﻟَﺘُﻪُ. ﻭَ ﻗَﺪْ ﺻَﺮَّﺡَ ﺷَﻴْﺦُ ﺷُﻴُﻮْﺧِﻨَﺎ ﺯَﻛَﺮِﻳَّﺎ ﺍﻟْﺄَﻧْﺼَﺎﺭِﻱُّ ﺑِﺄَﻧَّﻪُ ﻟَﺎ ﻳُﻠْﺤَﻖُ ﺑِﻬَﺎ، ﺑَﻞْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﻴَﻤُّﻢُ. ﻟﻜِﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﺗِﻠْﻤِﻴْﺬُﻩُ – ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ :- ﻭَ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳُﺘَّﺠَﻪُ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮُ ﻟِﻠﻀَّﺮُﻭْﺭَﺓِ .

(Peringatan ). Para ulama menyebutkan dalam masalah mandi bahwa anggota dalam dari rambut yang tersimpul diampuni – di- ma‘fuw – jika rambut tersebut tersimpul dengan sendirinya. Disamakan dengan hal tersebut adalah seseorang yang diuji dengan sejenis telur kutu yang melekat pada pangkal-pangkal rambut hingga mencegah masuknya air ke tempat tersebut dan tidak mungkin dihilangkan. Gurunya guru kita Syaikh Zakariyyā al-Anshārī telah menjelaskan bahwa permasalahan itu tidak bisa disamakan, bahkan orang tersebut harus bertayammum. Namun muridnya yakni guru kita Ibnu Ḥajar mengatakan: Bahwa pendapat yang unggul adalah diampuni sebab hal itu termasuk dalam keadaan darurat. (13 13).

( ﻭَ ‏) ﺳَﺎﺩِﺳُﻬَﺎ: ‏( ﺗَﺮْﺗِﻴْﺐٌ‏) ﻛَﻤَﺎ ﺫُﻛِﺮَ ﻣِﻦْ ﺗَﻘْﺪِﻳْﻢِ ﻏَﺴْﻞِ ﺍﻟْﻮَﺟْﻪِ ﻓَﺎﻟْﻴَﺪَﻳْﻦِ ﻓَﺎﻟﺮَّﺃْﺱِ ﻓَﺎﻟﺮِّﺟْﻠَﻴْﻦِ ﻟِﻼﺗِّﺒَﺎﻉِ. ﻭَ ﻟَﻮِ ﺍﻧْﻐَﻤَﺲَ
ﻣُﺤْﺪِﺙٌ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻓِﻲْ ﻣَﺎﺀٍ ﻗَﻠِﻴْﻞٍ ﺑِﻨِﻴَّﺔٍ ﻣُﻌْﺘَﺒَﺮَﺓٍ ﻣِﻤَّﺎ ﻣَﺮًّﺍ ﺃَﺟْﺰَﺃَﻩُ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﻭَ ﻟَﻮْ ﻟَﻢْ ﻳَﻤْﻜُﺚْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺎِﻧْﻐِﻤَﺎﺱِ ﺯَﻣَﻨًﺎ ﻳُﻤْﻜِﻦُ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﺮْﺗِﻴْﺐُ. ﻧَﻌَﻢْ، ﻟَﻮِ ﺍﻏْﺘَﺴَﻞَ ﺑِﻨِﻴَّﺘِﻪِ ﻓَﻴُﺸْﺘَﺮَﻁَ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟﺘَّﺮْﺗِﻴْﺐُ ﺣَﻘِﻴْﻘًﺔ، ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﻀُﺮُّ ﻧِﺴْﻴَﺎﻥُ ﻟُﻤْﻌَﺔٍ ﺃَﻭْ ﻟُﻤَﻊٍ ﻓِﻲْ ﻏَﻴْﺮِ ﺃَﻋْﻀَﺎﺀِ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﺑَﻞْ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻋَﺪَﺍ ﺃَﻋْﻀَﺎﺋِﻪِ، ﻣَﺎﻧِﻊٌ ﻛَﺸَﻤْﻊٍ ﻟَﻢْ ﻳَﻀُﺮَّ – ﻛَﻤَﺎ ﺍﺳْﺘَﻈْﻬَﺮَﻩُ ﺷَﻴْﺨُﻨَﺎ .- ﻭَ ﻟَﻮْ ﺃَﺣْﺪَﺙَ ﻭَ ﺃَﺟْﻨَﺐَ ﺃَﺟْﺰَﺃَﻩُ ﺍﻟْﻐُﺴْﻞُ ﻋَﻨْﻬُﻤَﺎ ﺑِﻨِﻴَّﺘِﻪِ. ﻭَ ﻟَﺎ ﻳَﺠِﺐُ ﺗَﻴَﻘُّﻦُ ﻋُﻤُﻮْﻡِ ﺍﻟْﻤَﺎﺀِ ﺟَﻤِﻴْﻊَ ﺍﻟْﻌُﻀْﻮِ ﺑَﻞْ ﻳَﻜْﻔِﻲْ ﻏَﻠَﺒَﺔُ ﺍﻟﻈَّﻦِّ ﺑِﻪِ .

(Fardhu yang keenam) adalah (tartib) seperti keterangan yang telah disebutkan yakni dari mendahulukan membasuh wajah, lalu kedua tangan, kepala, lalu yang terakhir kedua kaki karena mengikuti Nabi s.a.w. Kalau seandainya seseorang yang berhadats menyelam walaupun di dalam air yang jumlahnya sedikit, dengan niat yang sesuai yakni dari niat yang telah disebutkan, maka hal tersebut mencukupi dari wudhu’, () walaupun orang tersebut tidak diam di dalam air saat menyelam dengan kadar waktu yang seandainya membasuh dengan niat menghilangkan hadats, maka diisyaratkan harus tartib secara nyata. Tidak masalah lupa
tidak membasuh sedikit anggota atau
beberapa anggota di selain anggota wudhu’ bahkan kalaupun bila di selain anggota wudhu’ terdapat penghalang seperti lilin, maka hal tersebut tidak masalah pula seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita. Kalau seandainya seseorang hadats kecil dan junub maka mencukupi baginya dair dua hal tersebut dengan niat mandi saja. (17 ) Tidak wajib untuk meyakini telah ratanya air pada seluruh anggota bahkan cukup baginya praduga kuat tentang hal tersebut.

( ﻓَﺮْﻉٌ‏) ﻟَﻮْ ﺷَﻚَّ ﺍﻟْﻤُﺘَﻮَﺿِّﺊُ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﻤُﻐْﺘَﺴِﻞُ ﻓِﻲْ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮِ ﻋُﻀْﻮ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﻍِ ﻣِﻦْ ﻭُﺿُﻮْﺋِﻪِ ﺃَﻭْ ﻏُﺴْﻠِﻪِ ﻃَﻬَّﺮَﻩُ، ﻭَ ﻛَﺬَﺍ ﻣَﺎ
ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻮُﺿُﻮْﺀِ، ﺃَﻭْ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻔِﺮَﺍﻍِ ﻣِﻦْ ﻃُﻬْﺮِﻩِ، ﻟَﻢْ ﻳُﺆَﺛَّﺮْ. ﻭَ ﻟَﻮْ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺸَّﻚُّ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔِ ﻟَﻢْ ﻳُﺆَﺛِّﺮْ ﺃَﻳْﻀًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﻭْﺟَﻪِ، ﻛَﻤَﺎ ﻓِﻲْ ﺷَﺮْﺡِ ﺍﻟْﻤِﻨْﻬَﺎﺝِ ﻟِﺸَﻴْﺨِﻨَﺎ، ﻭَ ﻗَﺎﻝَ: ﻓِﻴْﻪِ ﻗِﻴَﺎﺱُ ﻣَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﻚِّ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻔَﺎﺗِﺤَﺔِ ﻭَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮْﻉِ: ﺃَﻧَّﻪُ ﻟَﻮْ ﺷَﻚَّ ﺑَﻌْﺪَ ﻋُﻀْﻮٍ ﻓِﻲْ ﺃَﺻْﻞِ ﻏُﺴْﻠِﻪِ ﻟَﺰِﻣَﻪُ ﺇِﻋَﺎﺩَﺗُﻪُ، ﺃَﻭْ ﺑَﻌْﻀَﻪُ ﻟَﻢْ ﺗَﻠْﺰَﻣْﻪُ. ﻓَﻠْﻴُﺤْﻤَﻞْ ﻛَﻠَﺎﻣُﻬُﻢْ ﺍﻟْﺄَﻭَّﻝِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺸَّﻚِّ ﻓِﻲْ ﺃَﺻْﻞِ ﺍﻟْﻌُﻀْﻮِ ﻟَﺎ ﺑَﻌْﻀِﻪِ .

(Cabangan Masalah). Kalau seandainya
seorang yang berwudhu’ atau mandi ragu di dalam menyucikan anggota sebelum selesai dari wudhu’ atau mandinya, maka orang tersebut harus menyucikan anggota yang diragukan itu, begitu pula wajib disucikan anggota yang setelahnya di dalam kasus wudhu’ (18 18) Atau keraguan tersebut terjadi setelah selesai dari bersuci, maka hal itu tidak memberi dampak apapun. Kalaupun seandainya adanya keraguan di dalam niat, maka tidak memberi petunjuk pula menurut pendapat yang lebih unggul seperti penjelasan dalam Syaraḥ Minhāj milik guru kita. Guru kita berkata dalam Syaraḥ Minhāj : Penyamaan permasalahan yang akan ada nanti () di dalam kasus keraguan setelah fātiḥah dan sebelum ruku‘ adalah bahwa bila ckeraguan seorang yang berwudhu’ terjadi setelah selesainya pembasuhan satu anggota di dalam asal pembasuhan,() maka seorang tersebut harus mengulangi wudhu’nya atau keraguan terjadi ketika masih membasuh sebagian
anggota, maka tidak wajib mengulanginya. Oleh karena itu, ucapan para ulama yang awal diarahkan pada kasus keraguan di dalam asal pembasuhan anggota bukan sebagiannya.


(وَسُنَّ) للمتوضئ ولو بماء مغصوب على الاوجه (تسمية اوله)




bab puasa

Haji

Terjemah bahasa jawa klik 


terjemah bahasa jawa  





3 |4 |5  |6 |7  | 8 | 910 | 11 | 12 | 13 | 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar