Senin, 06 April 2020

Fathul muin rukun solat 4


(وَ) سَابِعُهَا: (سُجُوْدٌ مَرَّتَيْنِ) كُلُّ رَكَعَةٍ، (عَلَى غَيْرِ مَحْمُوْلٍ) لَهُ، (وَ إِنْ تَحَرَّكَ بِحَرَكَتِهِ) وَ لَوْ نَحْوَ سَرِيْرٍ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَحْمُوْلٍ لَهُ فَلَا يَضُرُّ السُّجُوْدُ عَلَيْهِ، كَمَا إِذَا سَجَدَ عَلَى مَحْمُوْلٍ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ كَطَرَفٍ مِنْ رِدَائِهِ الطَّوِيْلِ. وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ: عَلَى غَيْرِ مَحْمُوْلٍ لَهُ، مَا لَوْ سَجَدَ عَلَى مَحْمُوْلٍ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ، كَطَرَفٍ مِنْ عَمَامَتِهِ، فَلَا يَصِحُّ، فَإِنْ سَجَدَ عَلَيْهِ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ إِنْ تَعَمَّدَ وَ عَلِمَ تَحْرِيْمَهُ، وَ إِلَّا أَعَادَ السُّجُوْدَ. وَ يَصِحُّ عَلَى يَدِ غَيْرِهِ، وَ عَلَى نَحْوِ مَنْدِيْلٍ بِيَدِهِ لِأَنَّهُ فِيْ حُكْمِ الْمُنْفَصِلِ، وَ لَوْ سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فَالْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ صَحَّ، وَ وَجَبَ إِزَالَتُهُ لِلسُّجُوْدِ الثَّانِيْ. (مَعَ تَنْكِيْسٍ) بِأَنْ تَرْتَفِعَ عَجِيْزَتُهُ وَ مَا حَوْلَهَا عَلَى رَأْسِهِ وَ مَنْكَبَيْهِ، لِلْاِتِّبَاعِ. فَلَوِ انْعَكَسَ أَوْ تَسَاوَيَا لَمْ يُجْزِئْهُ. نَعَمْ، إِنْ كَانَ بِهِ عِلَّةٌ لَا يَمْكِنُهُ مَعَهَا السُّجُوْدُ إِلَّا كَذلِكَ أَجْزَأَهُ، (بِوَضْعِ بَعْضِ جَبْهَتِهِ بِكَشْفٍ) أَيْ مَعَ كَشْفٍ. فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا حَائِلٌ كَعَصَابَةٍ لَمْ يَصِحَّ، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ لِجَرَاحَةٍ وَ شَقَّ عَلَيْهِ إِزَالَتُهُ مَشَقَّةً شَدِيْدَةً، فَيَصِحُّ. (وَ) مَعَ (تَحَامُلٍ) بِجَبْهَتِهِ فَقَطْ عَلَى مُصَلَّاهُ، بِأَنْ يَنَالَ ثِقَلَ رَأْسِهِ، خِلَافًا لِلْإِمَامِ. (وَ ) وَضْعِ بَعْضِ (رُكْبَتَيْهِ وَ) بَعْضِ (بَطْنِ كَفَّيْهِ) مِنَ الرَّاحَةِ وَ بُطُوْنِ الْأَصَابِعِ (وَ) بَعْضِ بَطْنِ (أَصَابِعِ قَدَمَيْهِ) دُوْنَ مَا عَدَا ذلِكَ، كَالْحَرْفِ وَ أَطْرَافِ الْأَصَابِعِ وَ ظَهْرِهِمَا. وَ لَوْ قُطِعَتْ أَصَابِعُ قَدَمَيْهِ وَ قَدَرَ عَلَى وَضْعِ شَيْءٍ مِنْ بَطْنِهِمَا لَمْ يَجِبْ، كَمَا اقْتَضَاهُ كَلَامُ الشَّيْخَيْنِ. وَ لَا يَجِبُ التَّحَامُلُ عَلَيْهَا بَلْ يُسَنُّ، كَكَشْفِ غَيْرِ الرُّكْبَتَيْنِ.
(Rukun shalat yang ketujuh) adalah (sujūd dua kali) di setiap satu raka‘at (di selain sesuatu yang dibawa) oleh orang yang shalat (walaupun sesuatu itu bergerak dengan gerakannya), meskipun semacam ranjang yang bergerak dengan gerakannya sebab ranjang itu bukan sesuatu yang dibawa, maka tidaklah masalah sujūd di atasnya seperti ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang tidak bergerak dengan gerakannya semisal dari ujung selendang yang panjang. Dikecualikan dengan ucapankanku – di atas selain sesuatu yang dibawa – adalah permasalahan ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang bergerak dengan gerakannya seperti ujung serban, maka sujūdnya tidaklah sah. Jika seseorang sujūd di atasnya, maka shalatnya batal bila hal tersebut disengaja dan ia mengetahui keharamannya, dan jika tidak maka harus mengulangi sujūdnya.  Sah sujūd di atas tangan orang lain dan di atas semacam sapu tangan yang berada di atas tangannya sebab sapu tangan tersebut dihukumi sesuatu yang telah terpisah. Jikalau seseorang sujūd di atas sesuatu, kemudian sesuatu itu melekat di keningnya, maka sujūdnya sah dan wajib untuk menghilangkannya untuk sujūd yang kedua kali. (Sujūd tersebut haruslah besertaan dengan menyungkur) dengan cara mengangkat pantat dan sekitarnya dengan posisi lebih tinggi dari kepalanya dan dua pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jika seseorang justru membalik posisi tersebut atau sejajar, maka hukumnya tidak mencukupi. Benar tidak mencukupi, namun jika ia memiliki penyakit yang tidak mungkin untuk sujūd kecuali dengan cara seperti itu maka hukumnya mencukupi, (dan dengan meletakkan sebagian keningnya besertaan terbuka).  Jika kening tersebut terdapat penghalang seperti perban, maka sujūd tersebut tidaklah sah kecuali jika penghalang itu disebabkan karena luka dan sulit untuk menghilangkannya dengan kesulitan yang luar biasa, maka hukumnya sah. (besertaan pula dengan menekan) keningnya saja pada tempat shalat dengan cara menggunakan berat kepalanya, berbeda dengan pendapat dari Imām al-Ḥaramain. (Dan) meletakkan sebagian (dua lututnya), sebagian (batin kedua telapak tangannya) ya‘ni dari telapak tangan dan batin jari-jari, (sebagian batin jari-jari dua telapak kaki) bukan selain itu seperti tepi jari, ujung jari dan bagian luar dari keduanya. Jika jari-jari dua telapak kaki terpotong, namun masih mampu untuk meletakkan sesuatu dari dua telapak kaki, maka hukumnya tidaklah wajib, seperti yang telah disampaikan oleh dua guru kita; Imām Nawawī dan Imām Rāfi‘ī. Tidak wajib untuk menekan terhadap anggota-anggota ini selain kening, namun hukumnya sunnah saja seperti tidak wajibnya membuka anggota sujūd selain dua lutut.

(وَ سُنَّ) فِي السُّجُوْدِ (وَضْعُ أَنْفٍ) بَلْ يَتَأَكَّدُ لِخَبَرٍ صَحِيْحٍ، وَ مِنْ ثَمَّ اُخْتِيْرَ وُجُوْبُهُ. وَ يُسَنُّ وَضْعُ الرُّكْبَتَيْنِ أَوَّلًا مُتَفَرِّقَتَيْنِ قَدْرَ شِبْرٍ، ثُمَّ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكَبَيْهِ، رَافِعًا ذِرَاعَيْهِ عَنِ الْأَرْضِ وَ نَاشِرًا أَصَابِعَهُ مَضْمُوْمَةً لِلْقِبْلَةِ، ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَ أَنْفَهُ مَعًا، وَ تَفْرِيْقُ قَدَمَيْهِ قَدْرَ شِبْرٍ وَ نَصْبُهُمَا مُوَجِّهًا أَصَابِعَهُمَا لِلْقِبْلَةِ، وَ إِبْرَازُهُمَا مِنْ ذَيْلِهِ. وَ يُسَنُّ فَتْحُ عَيْنَيْهِ حَالَةَ السُّجُوْدِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ، وَ أَقَرَّهُ الزَّرْكَشِيُّ. وَ يُكْرَهُ مُخَالَفَةُ التَّرْتِيْبِ الْمَذْكُوْرِ وَ عَدَمُ وَضْعِ الْأَنْفِ، (وَ قَوْلُ: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَ بِحَمْدِهِ ثَلَاثًا) فِي السُّجُوْدِ لِلْاِتِّبَاعِ. وَ يَزِيْدُ مَنْ مَرَّ نَدْبًا: اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَ بِكَ آمَنْتُ، وَ لَكَ أَسْلَمْتُ. سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَ صَوَّرَهُ وَ شَقَّ سَمْعَهُ وَ بَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَ قُوَّتِهِ، تَبَارَكَ اللّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ. وَ يُسَنُّ إِكْثَارُ الدُّعَاءِ فِيْهِ. وَ مِمَّا وَرَدَ فِيْهِ: اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ. وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهُ وَ جِلَّهُ، وَ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ، وَ عَلَانِيَتَهُ وَ سِرَّهُ. قَالَ فِي الرَّوْضَةِ: تَطْوِيْلُ السُّجُوْدِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيْلِ الرُّكُوْعِ.
(Disunnahkan) di dalam sujūd (untuk meletakkan hidung), bahkan sangat dianjurkan sebab adanya keterangan dari hadits yang shaḥīḥ. Oleh karenanya, kewajiban hal itu dipilih sebagian ‘ulamā’. Disunnahkan untuk awal kalinya meletakkan dua lutut yang terpisah dengan jarak satu kilan (jengkal – JW) disusul dengan meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak sedang dua lengannya diangkat dari tanah dan membentangkan jari-jari tangan dengan posisi saling berhimpitan, kemudian disusul dengan meletakkan kening dan hidung bersamaan, merenggangkan dua telapak kaki dengan jarak satu kilan dan menegakkan keduanya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah qiblat. Sunnah untuk memperlihatkan kedua jari-jari kaki dari sela-sela pucuk kain penutup bawah.  Disunnahkan untuk membuka kedua matanya saat sujūd seperti yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Abd-is-Salām dan telah diakui oleh Imām Zarkasyī. Dimakruhkan untuk menyimpang dari tartib yang telah disebutkan  dan tidak meletakkan hidung. (Sunnah mengucapkan: (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَ بِحَمْدِهِ) – Maha Suci Allah. Tuhanku dan dengan pujian pada-Nya – sebanyak tiga kali), saat sujūd sebab mengikuti Nabi s.a.w. Sunnah menambahkan doa bagi orang yang telah lalu: (اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ) – sampai akhir – Ya Allah, untuk-Mu, aku sujūd, dengan-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku pasrah, jasadku sujūd kepada dzāt yang menciptakannya, membentuk rupa, memberi pendengaran dan penglihatan padanya dengan daya dan kekuatannya. Bertambah keberkahan Allah sebagai sebagus-bagusnya pencipta. Disunnahkan untuk memperbanyak membaca doa pada waktu sujūd. Sebagian doa yang telah diajarkan Nabi s.a.w. adalah doa: (اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ) – Ya Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dengan pengampunan-Mu. Dari siksa-Mu, dan aku meminta perlindungan dengan-Mu dari murka-Mu, tiadalah terhitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji atas dzāt-Mu, ya Allah ampunilah seluruh dosaku, kecil dan besarnya dosa awal dan akhirnya, dan yang tampak jelas dan samar. Imām Nawawī dalam kitab Raudhah-nya berkata: Memanjangkan sujūd lebih utama dibanding dengan memanjangkan rukū‘.
(وَ) ثَامِنُهَا: (جُلُوْسٌ بَيْنَهُمَا) أَيِ السَّجْدَتَيْنِ، وَ لَوْ فِيْ نَفْلٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ. وَ يَجِبُ أَنْ لَا يَقْصُدَ بِرَفْعِهِ غَيْرَهُ، فَلَوْ رَفَعَ فَزِعًا مِنْ نَحْوِ لَسْعِ عَقْرَبٍ أَعَادَ السُّجُوْدَ. وَ لَا يَضُرُّ إِدَامَةُ وَضْعِ يَدَيْهِ عَلَى الْأَرْضِ إِلَى السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ اِتِّفَاقًا، خِلَافًا لِمَنْ وَهَمَ فِيْهِ. (وَ لَا يُطَوِّلُهُ، وَ لَا اعْتِدَالًا) لِأَنَّهُمَا غَيْرُ مَقْصُوْدَيْنِ لِذَاتِهِمَا بَلْ شُرِعَا لِلْفَصْلِ، فَكَانَا قَصِيْرَيْنِ. فَإِنْ طَوَّلَ أَحَدَهُمَا فَوْقَ ذِكْرِهِ الْمَشْرُوْعِ فِيْهِ  قَدْرَ الْفَاتِحَةِ فِي الْاِعْتِدَالِ أَقَلَّ التَّشَهُّدِ فِي الْجُلُوْسِ عَامِدًا عَالِمًا بَطَلتْ صَلَاتُهُ.
(Rukun shalat yang kedelapan) adalah (duduk di antara dua sujūd) walaupun di dalam shalat sunnah menurut pendapat yang mu‘tamad. Wajib untuk tidak berniat ketika bangun dari sujūd selain untuk duduk. Jika seseorang yang shalat bangun dari sujūd sebab tersentak dari semacam sengatan kalajengking, maka wajib untuk mengulang sujūdnya. Tidak masalah untuk selalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah sampai sujūd yang kedua sesuai dengan kesepakatan ‘ulamā’, berbeda bagi ‘ulamā’ yang mengira batalnya shalat (Tidak diperbolehkan memanjangkannya dan juga tidak memanjangkan i‘tidāl), sebab keduanya bukanlah sebuah tujuan, namun keduanya disyarī‘atkan sebagai pemisah, maka keduanya pendek waktunya. Jika salah satu dari keduanya dipanjangkan melebihi dari dzikir yang dianjurkan di dalamnya ya‘ni kadar membaca al-Fātiḥah di dalam masalah i‘tidāl dan dengan kadar minimal tasyahhud dalam kasus duduk di antara dua sujūd disertai kesengajaan dan mengetahui keharamannya, maka shalatnya batal.

(وَ سُنَّ فِيْهِ) الْجُلُوْسُ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ، (وَ) فِيْ (تَشَهُّدِ أَوَّلٍ) وَ جَلْسَةِ اسْتِرَاحَةٍ، وَ كَذَا فِيْ تَشَهُّدٍ أَخِيْرٍ إِنْ تَعَقَّبَهُ سُجُوْدُ سَهْوٍ. (اِفْتِرَاشٌ) بِأَنْ يَجْلِسَ عَلَى كَعْبِ يُسْرَاهُ بِحَيْثُ يَلِيْ ظَهْرُهَا الْأَرْضَ، (وَاضِعًا كَفَّيْهِ) عَلَى فَخِذَيْهِ قَرِيْبًا مِنْ رُكْبَتَيْهِ بِحَيْثُ تَسَامِتُهُمَا رُؤُوْسُ الْأَصَابِعِ، نَاشِرًا أَصَابِعَهُ، (قَائِلًا: رَبِّ اغْفِرْ لِيْ، إِلَى آخِرِهِ) تَتِمَّتُهُ: وَ ارْحَمْنِيْ، وَ اجْبُرْنِيْ، وَ ارْفَعْنِيْ، وَ ارْزُقْنِيْ، وَ اهْدِنِيْ، وَ عَافِنِيْ. لِلْاِتِّبَاعِ. وَ يُكْرَهُ: اِغْفِرْ لِيْ، ثَلَاثًا. (وَ) سُنَّ (جَلْسَةُ اسْتِرَاحَةٍ) بِقَدْرِ الْجُلُوْسِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْن لِلْاِتَّبَاعِ، وَ لَوْ فِيْ نَفْلِ، وَ إِنْ تَرَكَهَا الْإِمَامُ خِلَافًا لِشَيْخِنَا (لِقِيَامٍ) أَيْ لِأَجْلِهِ، عَنْ سُجُوْدٍ لِغَيْرِ تِلَاوَةٍ. وَ يُسَنُّ اعْتِمَادٌ عَلَى بَطْنِ كَفَّيْهِ فِيْ قِيَامٍ مِنْ سُجُوْدٍ وَ قُعُوْدٍ.
(Disunnahkan dalam) duduk di antara dua sujūd (dan) di dalam (tasyahhud awal), duduk istirahat dan begitu pula ia dalam tasyahhud akhir – jika tasyahhud itu diiring-iringi setelahnya dengan sujūd sahwi – (untuk duduk iftirāsy) dengan cara duduk di atas mata kaki kiri sekira bagian luarnya menempel tanah, (dengan meletakkan dua telapak tangannya) di atas dua paha dekat dengan dua lutut sekira jari-jari tangan sejajar dengannya, dengan posisi jari-jari terbentang serta (sambil mengucapkan (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ،) – wahai Tuhan ampunilah diriku – sampai selesai) kesempurnaan doanya: Tambahlah: kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rizki diriku, berilah petunjuk padaku dan sehatkanlah diriku. Kesunnahan ini sebab mengikuti Nabi s.a.w. Dimakruhkan untuk membaca (اِغْفِرْ لِيْ) – ampunilah diriku – sebanyak tiga kali. (Dan) disunnahkan (duduk istirahat)  dengan kadar duduk di antara dua sujūd, sebab mengikuti Nabi s.a.w., walaupun di dalam shalat sunnah dan walaupun imam meninggalkannya berbeda dengan pendapat guru kita, (karena untuk berdiri) dari sujūd selain sujūd tilāwah. Disunnahkan ketika bangun dari sujūd dan duduk untuk berpegangan dengan batin dua telapak tangan.

(وَ) تَاسِعُهَا: (طُمَأْنِيْنَةٌ فِيْ كُلٍّ) مِنَ الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدَيْنِ، وَ الْجُلُوْسُ بَيْنَهُمَا، وَ الْاِعْتِدَالُ، وَ لَوْ كَانَا فِيْ نَفْلٍ، خِلَافًا لِلْأَنْوَارِ. وَ ضَابِطُهَا أَنْ تَسْتَقِرَّ أَعْضَاؤُهُ بِحَيْثُ يَنْفَصِلُ مَا انْتَقَلَ إِلَيْهِ عَمَّا انْتقَلَ عَنْهُ.
(Rukun shalat yang kesembilan) adalah (thuma’nīnah di setiap) rukū‘, dua sujūd, duduk di antara dua sujūd dan i‘tidāl, walaupun keduanya di dalam shalat sunnah, berbeda dengan pendapat yang tertera dalam kitab al-Anwār.  Batasan dari thuma’nīnah adalah diamnya anggota sekira rukun yang dituju terpisah dengan rukun yang ditinggalkan.

(وَ) عَاشِرُهَا: (تَشَهُّدٌ أَخِيْرٌ، وَ أَقَلَّهُ) مَا رَوَاهُ الشَّافِعِيُّ وَ التِّرْمِذِيُّ: (التَّحِيَّاتُ للهِ إِلَى آخِرِهِ) تَتِمَّتُهُ: سَلَامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَ رَحْمَةُ اللّهِ وَ بَرَكَاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وَ عَلَى عِبَادِ اللّهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ محَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ. وَ يُسَنُّ لِكُلِّ زِيَادَةٍ: الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، وَ أَشْهِدُ الثَّانِيْ، وَ تَعْرِيْفُ السَّلَامِ فِي الْمَوْضِعَيْنِ، لَا الْبَسْمَلَةَ قَبْلَهُ، وَ لَا يَجُوْزُ إِبْدَالُ لَفْظٍ مِنْ هذَا الْأَقَلِّ وَ لَوْ بِمُرَادِفِهِ، كَالنَّبِيِّ بِالرَّسُوْلِ وَ عَكْسِهِ، وَ مُحَمَّدٍ بِأَحْمَدَ وَ غَيْرِهِ، وَ يَكْفِيْ: وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ، لَا وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُهُ. وَ يَجِبُ أَنْ يُرَاعِيَ هُنَا التَّشْدِيْدَاتِ، وَ عَدَمَ إِبْدَالِ حَرْفٍ بِآخَرَ، وَ الْمُوَالَاةَ لَا التَّرتِيْبَ إِنْ لَمْ يُخِلَّ بِالْمَعْنَى. فَلَوْ أَظْهَرَ النُّوْنَ الْمُدْغَمَةَ فِي اللَّامِ فِيْ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ أَبْطَلَ لِتَرْكِهِ شَدَّةً مِنْهُ، كَمَا لَوْ تَرَكَ إِدْغَامَ دَالِ مُحَمَّدٍ فِيْ رَاءِ رَسُوْلِ اللهِ. وَ يَجُوْزُ فِي النَّبِيِّ الْهَمْزَةُ وَ التَّشْدِيْدُ.
(Rukun shalat yang kesepuluh) adalah (tasyahhud akhir. Minimalnya) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dan Imām Tirmidzī (yakni: (التَّحِيَّاتُ للهِ) – segala penghormatan bagi Allah – sampai selesai), kesempurnaannya: Salam sejahtera, rahmat dan barakah-Nya semoga tercurahkan padamu wahai Nabi, salam bagi kita semua dan hamba-Nya yang shalih, aku bersaksi tiada Tuhan selian Allah dan sesunggguhnya Muḥammad adalah utusan Allah. Disunnahkan bagi setiap orang yang shalat untuk menambahkan lafazh: (الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ) – yang diberkahi, shalat-shalat, ‘amal-‘amal shāliḥ – menambahkan lafazh: (أَشْهِدُ) yang kedua dan mema‘rifahkan lafazh (السَّلَامِ) di dua tempat. Tidak sunnah membaca basmalah sebelum tasyahhud. Dilarang mengganti lafazh dari minimal tasyahhud ini walaupun dengan lafazh yang semakna, seperti lafazh (النَّبِيِّ) diganti dengan (الرَّسُوْلِ) dan sebaliknya, lafazh (مُحَمَّدٍ) diganti dengan (أَحْمَدَ) dan selainnya. Cukup mengucapkan (وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ) – sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah – , Tidak lafazh (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُهُ). Dalam tasyahhud ini wajib untuk menjaga tasydīd-tasydīd yang ada, tidak mengganti satu huruf dengan huruf yang lain dan terus-menerus. Tidak wajib untuk tartib jika hal itu tidak sampai merusak ma‘na. Jikalau seorang menampakkan (النُّوْنَ) yang semestinya di-idghām-kan dengan (اللَّامِ) dalam (أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) maka dapat membatalkan shalat sebab ia telah meninggalkan satu tasydīd dari tasyahhud. Seperti kasus jikalau meninggalkan meng-idghām-kan (دَالِ) lafazh (مُحَمَّدٍ) pada (رَاءِ) lafazh (رَاءِ رَسُوْلِ اللهِ). Diperbolehkan di dalam lafazh (النَّبِيِّ) menggunakan ḥamzah dan tasydīd.
(وَ) حَادِيْ عَشَرَهَا: (صَلَاةٌ عَلَى النَّبِيِّ) (بَعْدَهُ) أَيْ بَعْدَ تَشَهُّدٍ أَخِيْرٍ، فَلَا تُجْزِىءُ قَبْلَهُ. (وَ أَقَلُّهَا: اللّهُمَّ صَلِّ) أَيْ اِرْحَمْهُ رَحْمَةً مَقْرُوْنَةً بِالتَّعْظِيْمِ، أَوْ صَلَّى اللهُ (عَلَى مُحَمَّدٍ)، أَوْ عَلَى رَسُوْلِهِ، أَوْ عَلَى النَّبِيِّ، دُوْنَ أَحْمَدَ. (وَ سُنَّ فِيْ) تَشَهُّدٍ (أَخِيْرٍ) وَ قِيْلَ: يَجِبُ. (صَلَاةٌ عَلَى آلِهِ) فَيَحْصُلُ أَقَلُّ الصَّلَاةِ عَلَى الْآلِ بِزِيَادَةِ وَ آلِهِ، مَعَ أَقَلِّ الصَّلَاةِ لَا فِي الْأَوَّلِ عَلَى الْأَصَحِّ، لِبِنَائِهِ عَلَى التَّخْفِيْفِ، وَ لِأَنَّ فِيْهَا نَقْلُ رُكْنٍ قَوْلِيٍّ عَلَى قَوْلٍ، وَ هُوَ مُبْطِلٌ عَلَى قَوْلٍ. وَ اخْتِيْرَ مُقَابِلُهُ لِصِحَّةِ أَحَادِيْثَ فِيْهِ. (وَ يُسَنُّ أَكْمَلُهَا فِيْ تَشَهُّدٍ) أَخِيْرٍ، وَ هُوَ: اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَ السَّلَامُ تَقَدَّمَ فِي التَّشَهُّدِ فَلَيْسَ هُنَا إِفْرَادُ الصَّلَاةَ عَنْهُ، وَ لَا بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ. (وَ) سُنَّ فِيْ تَشَهُّدٍ أَخِيْرٍ (دُعَاءٌ) بَعْدَ مَا ذُكِرَ كُلُّهُ. وَ أَمَّا التَّشَهُّدُ الْأَوَّلُ فَيُكْرَهُ فِيْهِ الدُّعَاءُ لبِنَائِهِ عَلَى التَّخْفِيْفِ، إِلَّا إِنْ فَرَغَ قَبْلَ إِمَامِهِ فَيَدْعُوْ حِيْنَئِذٍ. وَ مَأْثُوْرُهُ أَفْضَلُ، وَ آكِدُهُ مَا أَوْجَبَهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ، وَ هُوَ: اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ، وَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ، وَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ. وَ يُكْرَهُ تَرْكُهُ. وَ مِنْهُ: اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَ مَا أَخَّرْتُ، وَ مَا أَسْرَرْتُ وَ مَا أَعْلَنْتُ، وَ مَا أَسْرَفْتُ، وَ مَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ. رَوَاهُمَا مُسْلِمٍ. وَ مِنْهُ أَيْضًا: اللّهُمَّ إِنِيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ ظُلْمًا كَبِيْرًا كَثِيْرًا وَ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِيْ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَ يُسَنُّ أَنْ يَنْقُصَ دُعَاءُ الْإِمَامِ عَنْ قَدْرِ أَقَلِّ التَّشَهُّدِ، وَ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ. قَالَ شَيْخُنَا: تُكْرَهُ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ بَعْدَ أَدْعِيَةِ التَّشَهُّدِ.
(Rukun shalat yang kesebelas) adalah (membaca shalawat pada Nabi) s.a.w., (setelah tasyahhud akhir). Tidaklah cukup membaca sebelumnya.  (Minimalnya adalah: (اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) – Ya Allah berikanlah rahmat kepada Nabi disertai dengan pengagungan – atau menggunakan lafazh (صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ), atau (عَلَى رَسُوْلِهِ) atau (عَلَى النَّبِيِّ) bukan lafazh (أَحْمَدَ). (Disunnahkan di dalam) tasyahhud akhir – sebagian pendapat menghukumi wajib – (untuk bershalawat kepada keluarganya Nabi) maka kesunnahan shalawat kepada keluarga Nabi akan didapat dengan menambahkan lafazh (وَ آلِهِ) besertaan minimal shalawat. Tidak sunnah menambahi pada tasyahhud awal menurut pendapt yang ashaḥḥ sebab tasyahhud awal dikerjakan secara cepat, dan satu pendapat mengatakan bahwa membaca shalawat pada keluarga Nabi termasuk memindah rukun yang berakibat membatalkan shalat. Sedang perbandingan dari pendapat yang ashaḥḥ ini lebih dipilih sebab beberapa hadits yang shaḥīḥ tentang disunnahkannya hak itu. (Disunnahkan untuk menyempurnakan bacaan tasyahhud) akhir ya‘ni: (اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) – sampai akhir – . Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muḥammad dan keluarganya seperti Engkau memberi rahmat kepada Ibrāhīm dan keluarganya, barakahilah Muḥammad dan keluarganya seperti Engkau telah memberi barakah terhadap Ibrāhīm dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau adalah Dzāt yang terpuji dan agung. Lafazh salam telah disebutkan sebelumnya di dalam shalawat ini menyendirikan lafazh shalawat darinya. Tidak masalah menambahi lafazh (سَيِّدِنَا) sebelum lafazh (مُحَمَّدٍ). (Disunnahkan di dalam tasyahhud akhir untuk berdoa) setelah membaca itu semua. Sedangkan tasyahhud awal hukumnya makruh untuk membaca doa sebab tasyahhud awal dikerjakan dengan cepat kecuali ma’mūm telah selesai membaca tasyahhud sebelum imāmnya, maka saat itulah diperbolehkan berdoa. Berdoa dengan doa yang telah diajarkan Nabi s.a.w. itu lebih utama dan yang paling dianjurkan adalah doa yang telah ditetapkan oleh sebagian ‘ulamā’ ya‘ni: (اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ) – Ya Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan dari-Mu dari siksa kubur, dari siksa neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, fitnah al-Masīḥ-ud-Dajjāl. Dimakruhkan untuk meninggalkan doa tersebut. Sebagian doa lagi adalah: (اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ) – Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lewat dan dosaku yang akhir, dosa yang aku sembunyikan dan yang tampak, dosa yang melampaui batas, dan dosa yang Engkau lebih tahu daripada diriku. Engkaulah Maha Awwal dan Maha Akhir, tiada tuhan selain Engkau. Dua Hadits di atas adalah hadits riwayat Muslim. Sebagian lagi adalah: (اللّهُمَّ إِنِيْ ظَلَمْتُ) – Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang zhalim terhadap diriku dengan kezhaliman yang besar dan banyak. Tiadalah yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah dosaku dengang pengampunan dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Hadits riwayat Bukhārī. Disunnahkan bagi imām untuk mengurangi doa dari kadar minimal bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi s.a.w. Guru kita berkata: Dimakruhkan membaca shalawat Nabi s.a.w. setelah membaca doa-doa tasyahhud.

(وَ) ثَانِيَ عَشَرَهَا: (قُعُوْدٌ لَهُمَا) أَيْ لِلتَّشَهُّدِ وَ الصَّلَاةِ، وَ كَذَا لِلسَّلَامِ. (وَ سُنَّ تَوَرُّكٌ فِيْهِ) أَيْ فِيْ قُعُوْدِ التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ، وَ هُوَ مَا يَعْقِبُهُ سَلَامٌ. فَلَا يَتَوَرَّكُ مَسْبُوْقٌ فِيْ تَشَهُّدِ إِمَامِهِ الْأَخِيْرِ، وَ لَا مَنْ يَسْجُدُ لِسَهْوٍ. وَ هُوَ كَالْاِفْتِرَاشِ، لَكِنْ يُخْرِجُ يُسْرَاهُ مِنْ جِهَةِ يُمْنَاهُ وَ يُلْصِقُ وَرَكَهُ بِالْأَرْضِ. (وَ وَضْعُ يَدَيْهِ فِيْ) قَعُوْدِ (تَشَهُّدَيْهِ عَلَى طَرَفِ رُكْبَتَيْهِ) بِحَيْثُ تُسَامِتُهُ رُؤُوْسُ الْأَصَابِعِ، (نَاشِرًا أَصَابِعَ يُسْرَاهُ) مَعَ ضَمَ لَهَا، (وَ قَابِضًا) أَصَابِعَ (يُمْنَاهُ إِلَّا الْمُسَبِّحَةَ) بِكَسْرِ الْبَاءِ، وَ هِيَ الَّتِيْ تَلِي الْإِبْهَامَ فَيُرْسِلُهَا. (وَ) سُنَّ (رَفْعُهَا) أَيِ الْمُسَبِّحَةَ مَعَ إِمَالَتِهَا قَلِيْلًا (عِنْدَ) هَمْزَةِ (إِلَّا اللهَ) للاِتِّبَاعِ. (وَ إِدَامَتُهُ) أَيِ الرَّفْعِ. فَلَا يَضَعْهَا بَلْ تَبْقَى مَرفُوْعَةً إِلَى الْقِيَامِ أَوِ السَّلَامِ، وَ الْأَفْضَلُ قَبْضُ الْإِبْهَامِ بِجَنْبِهَا، بِأَنْ يَضَعَ رَأْسَ الْإِبْهَامِ عِنْدَ أَسْفَلِهَا عَلَى حَرْفِ الرَّاحَةِ، كَعَاقِدِ ثَلَاثةٍ وَ خَمْسِيْنَ. وَ لَوْ وَضَعَ الْيُمْنَى عَلَى غَيْرِ الرُّكْبَةِ يُشِيْرُ بِسَبَّابَتِهَا حِيْنَئِذٍ، وَ لَا يُسَنُّ رَفْعُهَا خَارِجَ الصَّلَاةِ عِنْدَ إِلَّا اللهُ. (وَ) سُنَّ (نَظَرٌ إِلَيْهَا) أَيْ قَصْرُ النَّظَرِ إِلَى الْمُسَبِّحَةِ حَالَ رَفْعِهَا، وَ لَوْ مَسْتُوْرَةً بِنَحْوِ كَمٍّ، كَمَا قَالَ شَيْخُنَا.
(Rukun shalat yang kedua belas) adalah (duduk untuk membaca tasyahhud dan shalawat Nabi) begitu pula untuk salam. (Disunnahkan duduk tawarruk) di dalam tasyahhud akhir  ya‘ni duduk yang diiring-iringi dengan salam, maka tidak disunnahkan untuk duduk tawarruk bagi ma’mūm masbūq di dalam tasyahhudnya imām yang akhir dan juga tidak sunnah bagi seseorang yang akan sujud sahwi.  Duduk tawarruk seperti halnya duduk iftirāsy namun kaki kirinya dikeluarkan dari arah kaki kanannya dan pantatnya ditempelkan di tanah. (Sunnah untuk meletakkan dua lengannya di dalam) dua (tasyahhudnya di atas ujung lututnya) sekira ujung jari-jarinya sejajar dengan ujung lutut (dengan membentangkan jari-jari kirinya) besertaan dengan merapatkannya (dan mengepalkan) jari-jari (tangan kanannya kecuali jari penunjuk). Lafazh (الْمُسَبِّحَةَ) dengan membaca kasrah huruf (الْبَاءِ)-nya memiliki ma‘na jari yang berada di samping ibu jari – maka lepaskanlah jari penunjuk tersebut. (Dan) disunnahkan (untuk mengangkat jari penunjuk)  dengan agak condong (ketika) sampai ucapan ḥamzah (lafazh (إِلَّا اللهَ)) sebab mengikuti Nabi s.a.w. (Sunnah melanggengkannya), maka jangan meletakkannya namun biarkan jari tersebut terangkat sampai berdiri atau salām. Yang lebih utama adalah dengan menggenggam ibu jari di samping jari penunjuk dengan cara meletakkan ujung ibu jari di bawah jari penunjuk di atas pinggir telapak tangan seperti orang yang membentuk angka 53. Jikalau seorang yang shalat meletakkan telapak tangan kanan di selain lutut, maka baginya disunnahkan untuk memberi isyārah dengan jari penunjuknya pada saat sampai lafazh (إِلَّا اللهَ), tidak sunnah mengangkat jari penunjuk ketika sampai pada lafazh itu di luar shalat. (Disunnahkan untuk melihat jari penunjuk) maksudnya hanya melihat jari itu saat jari diangkat walaupun tertutup dengan semacam lengan baju seperti yang telah diungkapkan oleh guru kita.



Selanjutnya klik disini

1 | 2 |3 |4 |5  |6 |7  | 8 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar