Minggu, 14 Februari 2021

lubabulhadits3

BAB 23 | KEUTAMAAN TAUBAT

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ : ﻓﻲ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ

ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :   ﺍﻟﺘَّﺎﺋِﺐُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻧْﺐِ ﻛَﻤَﻦْ ﻻ ﺫَﻧْﺐَ ﻟَﻪُ، ﻭﺍﻟﻤُﺴْﺘَﻐْﻔِﺮُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻧْﺐِ ﻭَﻫُﻮَ ﻣُﻘِﻴﻢٌ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻛﺎﻟﻤُﺴْﺘَﻬْﺰِﻯﺀِ ﺑِﺮَﺑِّﻪِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Orang yang bertaubat dari dosanya itu seperti orang yang tanpa dosa sama sekali dan orang yang meminta ampun dari dosanya sedangkan dia tetap menjalankannya itu bagaikan orang yang mentertawakan Tuhannya. 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﻨَّﺪَﻡُ ﺗَﻮْﺑَﺔٌ ﻭﺍﻟﺘَّﺎﺋِﺐُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺬَّﻧْﺐِ ﻛَﻤَﻦْ ﻻَ ﺫَﻧْﺐَ ﻟَﻪُ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Penyesalan itu taubat dan orang yang bertauubat itu seperti orang yang tanpa dosa. 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْﺀٍ ﺃَﺣَﺐُّ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ ﻣِﻦْ ﺷَﺎﺏٍّ ﺗَﺎﺋِﺐٍ ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻲْﺀٍ ﺃَﺑْﻐَﺾُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻣِﻦْ ﺷَﻴْﺦٍ ﻣُﻘِﻴﻢٍ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻌَﺎﺻِﻴﻪِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh Allah daripada anak muda yang bertaubat dan tidak ada sesuatu yang lebih dibenci oleh Allah daripada orang tua yang tetap menjalankan maksiat. 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲﺀٍ ﺣِﻴﻠﺔٌ ﻭﺣﻴﻠﺔُ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮﺏِ ﺍﻟﺘَّﻮْﺑَﺔُ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap sesuatu itu ada rekayasanya dan rekayasa dosa adalah taubat.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﺩَﻭﺍﺀٌ ﻭَﺩَﻭﺍﺀُ ﺍﻟﺬُّﻧُﻮﺏِ ﺍﻟﺘَّﻮﺑَﺔُ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap sesuatu itu ada obatnya dan obatnya dosa adalah taubat.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﺘَّﻮْﺑَﺔُ ﺗَﻬْﺪِﻡُ ﺍﻟﺤَﻮْﺑَﺔَ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Taubat merobohkan kesalahan.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺗُﻮﺑﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓَﺈﻧﻲ ﺃﺗُﻮﺏُ ﺇﻟَﻴْﻪِ ﻛُﻞَّ ﻳَﻮْﻡٍ ﻣﺎﺋَﺔَ ﻣَﺮَّﺓٍ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Bertaubatlah kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepadanya setiap hari seratus kali” 

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺗُﻮﺑُﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﻻَ ﺗَﻴْﺄَﺳُﻮﺍ ﻓَﺈﻥَّ ﺍﻟﻴَﺄْﺱَ ﻛُﻔْﺮٌ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Bertaubatlah kalian kepada Allah dan jangan berputus asa karena sesungguhnya putus asa itu kufur.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻋَﺠِّﻠﻮﺍ ﺑﺎﻟﺘَّﻮْﺑَﺔِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻤَﻮْﺕِ ﻭَﻋَﺠِّﻠُﻮﺍ ﺑﺎﻟﺼَّﻼﺓِ ﻗَﺒْﻞَ ﺍﻟﻔَﻮْﺕِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Segeralah beratubat sebelum mati dan segeralah shalat sebelum terlambat.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺗُﻮﺑُﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺭَﺑِّﻜُﻢْ ﻗَﺒْﻞَ ﺃﻥْ ﺗَﻤُﻮﺗُﻮﺍ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Bertaubatlah kalian kepada Tuhan kalian sebelum kalian semua mati.

BAB 24 | KEUTAMAAN FAKIR

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ : ﻓﻲ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﻔﻘﺮ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﻔَﻘْﺮُ َﺯْﻳَﻦُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻦِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻌِﺬَﺍﺭِ ﺍﻟﺤَﺴَﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﺪِّ ﺍﻟﻔَﺮَﺱِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Kefakiran itu lebih indah daripada rambut bagus (tali kekang) di pipi kuda.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﻔَﻘْﺮُ ﺷَﻴْﻦٌ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺯَﻳْﻦٌ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Fakir itu cacat menurut manusia dan baik menurut Allah pada hari kiamat.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺣُﺐُّ ﺍﻟﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﻼﻕِ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀِ ﻭَﺑُﻐْﺾُ ﺍﻟﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﻣِﻦْ ﺃَﺧْﻼَﻕِ ﺍﻟﻔَﺮَﺍﻋِﻨَﺔِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Mencintai orang fakir itu sebagian akhlak para nabi dan membenci orang fakir itu sebagian akhlak para Fir`aun.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻟِﻜُﻞِّ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﻔْﺘَﺎﺡٌ ﻭَﻣِﻔْﺘَﺎﺡُ ﺍﻟﺠَﻨَّﺔِ ﺣُﺐُّ ﺍﻟﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦِ ﻭَﺍﻟﻔُﻘَﺮَﺍﺀِ ﻟِﺼَﺒْﺮِﻫِﻢْ ﻫُﻢْ ﺟُﻠَﺴَﺎﺀُ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Setiap sesuatu itu ada kuncinya dan kuncinya surga dalah cinta fakir miskin karena kesabaran mereka. Meraka adalah orang-orang yang duduk menghadap Allah di hari kiamat.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺇﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻳُﺤِﺐُّ ﻋَﺒْﺪَﻩُ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻦَ ﺍﻟﻔَﻘﻴﺮَ ﺍﻟﻤُﺘَﻌﻔِّﻒَ ﺃَﺑَﺎ ﺍﻟﻌِﻴَﺎﻝِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT mencintainya hamba-NYA yang beriman, fakir, memelihara diri dan banyak anak.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﻔَﻘْﺮُ ﺃَﻣَﺎﻧَﺔٌ ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺘَﻤَﻪُ ﻛَﺎﻥ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓً ﻭَﻣَﻦْ ﺑﺎﺡ ﺑﻪِ ﻓَﻘَﺪْ ﻗَﻠَّﺪ ﺇﺧﻮﺍﻧَﻪُ ﺍﻟﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Kefakiran adalah amanat, barang siapa menyembunyikannya maka jadi ibadah dan barang siapa menampakkannya maka jadi beban bagi saudara-saudaranya yang muslim.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻃُﻮﺑﻰ ﻟِﻠْﻔُﻘﺮﺍﺀِ ﻭﺍﻟﻀﻌﻔﺎﺀِ ﻣِﻦْ ﺃﻣَّﺘﻲ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Keberuntungan bagi orang-orang fakir dan lemah dari umatku

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﻔَﻘْﺮُ ﻛَﺮَﺍﻣَﺔٌ ﻣِﻦْ ﻛَﺮَﺍﻣﺎﺕِ ﺍﻟﻠﻪ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Kefakiran adalah salah satu dari kemulyaan Allah SWT

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻓَﻀْﻞُ ﺍﻟﻔﻘِﻴﺮ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻐَﻨِﻲِّ ﻛَﻔَﻀْﻠِﻲ ﻋَﻠﻰ ﺟَﻤﻴﻊِ ﺧَﻠْﻖِ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Keutamaan orang fakir atas orang kaya itu seperti keutamaanku atas semua mahkluk Allah SWT.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻻَ ﺷَﻲْﺀَ ﻳُﻌﻄِﻴﻪِ ﺍﻟﻠﻪ ﻣِﺜْﻞُ ﺍﻟﻔَﻘْﺮِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Tidak ada suatu pemberian dari Allah yang menyamai kefakiran.

BAB 25 | KEUTAMAAN NIKAH

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺨﺎﻣﺲ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ :  ﻓﻲ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺍﻟﺘَّﺰْﻭﻳﺞُ ﺑَﺮَﻛﺔٌ ﻭﺍﻟﻮَﻟﺪُ ﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻓَﺄَﻛْﺮﻣﻮﺍ ﺃﻭْﻻَﺩَﻛُﻢْ ﻓﺈﻥَّ ﻛَﺮَﺍﻣَﺔَ ﺍﻷﻭﻻﺩِ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓٌ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Nikah itu berkah dan anak itu rahmat maka mulyakanlah anak-anak kalian karena sesungguhnya memulyakan anak itu adalah ibadah.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡُ ﺳُﻨَّﺘِﻲ ﻓَﻤِﻦْ ﺭَﻏِﺐَ ﻋَﻦْ ﺳُﻨَّﺘِﻲ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﻲ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Nikah itu sunnahku maka barangsiapa benci sunnahku maka tidak termasuk golonganku.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :   ﺍﻟﺤَﺮَﺍﺋِﺮُ ﺻَﻼﺡُ ﺍﻟﺒَﻴْﺖِ ﻭﺍﻹﻣﺎﺀُ ﻓَﺴَﺎﺩُ ﺍﻟﺒَﻴْﺖِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Wanita-wanita merdeka itu kemaslahatan rumah. Wanita-wanita budak itu kehancuran rumah.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﻦْ ﺃﺭَﺍﺩَ ﺃﻥْ ﻳَﻠْﻘَﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻃَﺎﻫِﺮﺍ ﻣُﻄَﻬَّﺮﺍ ﻓَﻠْﻴَﺘَﺰَﻭَّﺝِ ﺍﻟﺤَﺮﺍﺋِﺮَ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa ingin berjumpa Allah SWT dalam keadaan suci dan disucikan maka nikahilah wanita-wanita merdeka.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺍﻟﺘَﻤِﺴُﻮﺍ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ﺑﺎﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Carilah rizki dengan menikah .

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﻦْ ﺗَﺰَﻭَّﺝَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃُﻋْﻄﻲ ﻧِﺼْﻒَ ﺍﻟﻌِﺒَﺎﺩَﺓِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa menikah maka dia benar-benar telah dikasih separuh ibadah.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺷِﺮَﺍﺭُﻛُﻢْ ﻋُﺰَّﺍﺑُﻜُﻢ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sejelek-jelek kalian adalah kebujangan kalian.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺷِﺮَﺍﺭُﻛُﻢْ ﻋُﺰَّﺍﺑُﻜُﻢْ ﻭَﺃَﺭَﺍﺫِﻝُ ﻣَﻮْﺗَﺎﻛُﻢْ ﻋُﺰَّﺍﺑُﻜُﻢْ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sejelek-jelek kalian adalah kebujangan kalian dan sejelek-jelek kematian kalian adalah mati membujang.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺷِﺮَﺍﺭُﻛُﻢْ ﻋُﺰَّﺍﺑُﻜُﻢْ ﺭَﻛْﻌَﺘَﺎﻥِ ﻣِﻦْ ﻣُﺘَﺄَﻫّﻞٍ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮ ﻣُﺘَﺄَﻫِّﻞٍ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sejelek-jelek kaliana adalah kebujangan kalian. Dua raka`at dari orang yang berkeluarga lebih baik daripada tujuhpuluh raka`at dari orang yang tidak berumah tangga.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﺎ ﺃﻃْﻌَﻤْﺖَ ﺯَﻭﺟَﺘَﻚَ ﻓَﻬُﻮَ ﻟَﻚَ ﺻَﺪَﻗَﺔٌ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Makanan yang engkau berikan kepada istrimu adalah sedekah bagimu.

BAB 26 | BERATNYA BERZINA

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺴﺎﺩﺱ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ : ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﺪﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺰﻧﻰ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺍﻟﺰِّﻧَﻰ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟﻔَﻘْﺮَ

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Zina itu menyebabkan kefakiran”

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﺯِﻧَﻰ ﺍﻟﻌﻴﻨﻴﻦ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Zina kedua mata itu memandang”

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺍﻷَﺟْﻨَﺒِﻴَّﺎﺕِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻜَﺒَﺎﺋِﺮِ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Memandang wanita lain itu sebagian dari dosa besar.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﺯِﻧَﻰ ﺍﻟﺮِّﺟْﻠَﻴْﻦِ ﺍﻟﻤَﺸْﻲُ ﻭَﺯِﻧَﻰ ﺍﻟﻴَﺪَﻳْﻦِ ﺍﻟﺒَﻄْﺶُ ﻭَﺯِﻧَﻰ ﺍﻟﻌَﻴْﻨَﻴْﻦِ ﺍﻟﻨَّﻈَﺮُ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Zina kedua kaki itu berjalan, zina kedua tangan itu menampar dan zina kedua mata itu memandang

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ } ﺯَﻧْﻴَﺔٌ ﻭﺍﺣِﺪَﺓٌ ﺗُﺤْﺒِﻂُ ﻋَﻤَﻞَ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﺳَﻨَﺔً  

Nabi Muhammad SAW bersabda : Satu kali zina itu menghapus amalan tujuh puluh tahun

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺐٍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺸِّﺮْﻙِ َﻋْﻈُﻢ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪ ﻣِﻦْ ﻧُﻄْﻔَﺔٍ ﻭَﺿَﻌَﻬﺎ ﺭَﺟُﻞٌ ﻓِﻲ ﺭَﺣِﻢٍ ﻻ ﻳَﺤﻞُّ ﻟَﻪُ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik menurut Allah SWT daripada sperma yang diletakkan seorang laki-laki pada rahim yang tidak halal baginya.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : } ﺇﻥَّ ﻷَﻫْﻞِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺻَﻴْﺤَﺔٌ ﻣِﻦْ ﻧَﺘَﻦِ ﺭَﻳﺢِ ﻓَﺮْﺝِ ﺍﻟﺰَّﺍﻧِﻲ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sesungguhnya bagi ahli neraka itu ada jeritan karena bau busuknya kemaluan pezina.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ } ﺍﻟﻐﻨِﻲ ﻭﺍﻟﺰِّﻧﻰ ﻻ ﻳَﺠْﺘﻤﻌﺎﻥِ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Kaya dan zina itu tidak dapat bersatu

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﺗَﺮْﻙُ ﺍﻟﺰِّﻧﻰ ﻳُﻮﺭِﺙُ ﺍﻟﻐَﻨَﻰ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Meninggalkan zina itu menyebabkan kaya. 

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﻣَﻦْ ﺯَﻧَﻰ ﺯُﻧِﻲَ ﺑِﻪِ ﻭَﻟَﻮْ ﺑﺤﻴﻄﺎﻥِ ﺩَﺍرِه

Barangsiapa berzina maka dia akan dizinahi walaupun dalam tembok rumahnya.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : } ﻣَﻦْ ﺯَﻧَﻰ ﺑﺎﻣﺮﺃﺓٍ ﻓَﺘَﺢَ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓﻲ ﻗَﺒﺮِﻩِ ﺛﻤﺎﻧﻴﺔ ﺃﺑْﻮﺍﺏٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻳَﺨْﺮُﺝِ ﻣِﻦْ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻷﺑﻮﺍﺏِ ﻋَﻘَﺎﺭِﺏُ ﻭَﺣَﻴَّﺎﺕٌ ﺇﻟﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa berzina dengan seorang wanita maka Allah membuka delapan pintu neraka yang keluar dari pintu tersebut kalajengking dan ular hingga hari kiamat.

BAB 27 | BERATNYA LIWATH (HOMO SEXUAL) 

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻭﺍﻟﻌﺸﺮﻭﻥ :  ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﺪﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻮﺍﻁ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﻦْ ﻗَﺒَّﻞَ ﻏُﻼَﻣﺎ ﺑِﺸَﻬْﻮَﺓٍ ﻋَﺬَّﺑَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ﺗَﻌَﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺃَﻟْﻒَ ﺳَﻨﺔٍ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa mencium pemuda dengan syahwat maka Allah SWT mengazabnya seribu tahun dalam neraka.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :   ﻟَﻮِ ﺍﻏْﺘَﺴَﻞَ ﺍﻟﻠﻮﻃِﻲُّ ﺑِﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﺒَﺤْﺮِ ﻟَﻢْ ﻳَﺠﻰﺀْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ﺇﻻ ﺟُﻨُﺒﺎ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Sendainya homoseks mandi dengan air lautan maka tidak akan datang pada hari kiamat terkecuali tetap dalam keadaan junub.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﻦْ ﻗَﺒَّﻞَ ﻏُﻼﻣﺎ ﺑِﺸَﻬْﻮَﺓٍ ﺃُﻟْﺠِﻢَ ﺑِﻠِﺠﺎﻡٍ ﻣِﻦْ ﻧَﺎﺭ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa mencium pemuda dengan syahwat maka dia dikendalikan (dikalungin) dengan kendali api neraka .

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :   ﻣَﻦْ ﻣَﺲَّ ﻏُﻼﻣﺎ ﺑِﺸَﻬْﻮَﺓٍ ﻟَﻌَﻨَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ﻭَﺍﻟﻤَﻼَﺋِﻜَﺔُ ﻭﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺃﺟْﻤَﻌُﻮﻥَ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa menyentuh pemuda dengan syahwat maka Allah SWT, Malaikat dan Manusia melaknatinya.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣَﻦْ ﺃَﺩْﺧَﻞَ ﻗُﺒُﻠَﻪُ ﻓﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﺍﻣْﺮَﺃﺓٍ ﺑَﻌَﺜَﻪُ ﺍﻟﻠﻪ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣَﺔِ ﻭَﻫُﻮَ ﺃﻧْﺘَﻦُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺠَﺠﻔَﺔِ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barang siapa memasukkan kemaluannya pada dubur (anus) seorang wanita maka dia akan dibangkitkn pada hari kiamat lebih busuk daripada bangkai.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺇﺫﺍ ﺃﺗَﻰ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﻓَﻬُﻤَﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺎﻥِ، ﻭﺇﺫﺍ ﺃﺗَﺖِ ﺍﻟﻤْﺮﺃَﺓُ ﺍﻟﻤَﺮﺃَﺓَ ﻓَﻬُﻤَﺎ ﺯَﺍﻧِﻴَﺘﺎﻥِ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Apabila seorang laki-laki menyetubuhi laki-laki maka keduanya berzina. Apabila wanita menyetubuhi wanita maka keduanya berzina.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻣﻦ ﻗَﺒَّﻞَ ﻏُﻼﻣﺎ ﺑِﺸَﻬﻮﺓٍ ﻓَﻜَﺄَﻧَّﻤﺎ ﺯَﻧَﻰ ﻣَﻊَ ﺃُﻣِّﻪِ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﻣَﺮَّﺓً ﻭَﻣَﻦْ ﺯَﻧَﻰ ﻣَﻊَ ﺃُﻣِّﻪِ ﻣَﺮَّﺓً ﻭَﺍﺣِﺪَﺓً، ﻓَﻜَﺄَﻧَّﻤﺎ ﻗَﺘَﻞَ ﺳَﺒْﻌِﻴﻦَ ﻧَﺒﻴﺎ ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ : ﻣَﻦْ ﻻَﻁَ ﻓﻲ ﻏُﻼَﻡٍ ﺃَﺻْﺒَﺢَ ﻓﻲ ﻗَﺒْﺮِﻩِ ﺧﻨﺰِﻳﺮﺍ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa mencium pemuda dengan syahwat maka seakan-akan dia zina dengan ibunya tujuh puluh kali dan barangsiapa zina dengan ibunya sekali maka seolah-olah dia membunuh tujuh puluh Nabi. Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa menyetubuhi seorang pemuda maka di dalam kuburnya jadi babi hutan.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﺇﺫﺍ ﻟُﻤِﺲَ ﺍﻟﻐﻼﻡُ ﺍﻫْﺘَﺰَّ ﺍﻟﻌَﺮْﺵُ ﻭﻗﺎﻟﺖ ﺍﻟﺴَّﻤﻮٰﺍﺕ : ﻳﺎ ﺭﺑَّﻨﺎ ﺃﺃُﻣِﺮْﻧَﺎ ﻧَﺨْﻄِﻔﻪُ ﻭَﻗَﺎﻟَﺖِ ﺍﻷَﺭْﺽُ : ﻳﺎ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﺃﺃﻣِﺮْﻧَﺎ ﻧَﺒْﻠَﻌﻪُ

Nabi Muhammad SAW bersabda : Ketika pemuda menyentuh pemuda maka berguncanglah langit seranya berkata “Wahai Tuhan kami perintahkanlah kami menyambarnya” dan bumi berkata “Wahai Tuhan kami perintahkanlah kami menelannya”.

ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ :  ﻻَ ﺗَﺄْﺗُﻮﺍ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀَ ﻓﻲ ﺃﺳﺘﺎﻫِﻬِﻦَّ ﻓﺈﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﺴْﺘَﺤِﻲ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺤَﻖِّ 

Nabi Muhammad SAW bersabda : Janganlah kalian menyetubuhi wanita pada duburnya (anus) karena sesungguhnya Allah SWT tidak malu untuk menjelaskan kebenaran. 

Selanjutnya klik disini

lubabulhadits2

BAB KE 19 | KEUTAMAAN DOA

الباب التاسع عشر:  في فضيلة الدعاء

قال النبي صلى الله عليه وسلم: الدُّعَاءُ مُخُّ العبادةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Doa adalah intisari ibadah”.

وقال صلى الله عليه وسلم: إنَّ الله تَعَالى يُحِبُّ المُلِحِّينَ في الدُّعَاءِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah ta’ala mencintai orang yg sungguh-sungguh dalam berdoa”.

وقال صلى الله عليه وسلم: لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى الله تَعَالى مِنَ الدُّعَاءِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tiada sesuatu yg lebih mulia di sisi Allah ta’ala daripada doa”.

وقال صلى الله عليه وسلم: يَقُولُ الله تَعَالى يَا عَبْدي أنَا عِنْدَ ظَنِّكَ وَأَنَا مَعَكَ إذَا دَعَوْتَنِي

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Allah ta’ala berfirman -dalam hadits qudsi- Hai hamba-KU, Aku  mengikuti persangkaanmu dan Aku bersamamu ketika kamu berdoa kepada-KU”.

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنْ لَمْ يَدْعُ الله تَعَالَى يَغْضَبْ عَلَيْهِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa tidak berdoa kepada Allah ta’ala, maka Allah murka kepadanya”.

وقال صلى الله عليه وسلم: تَرْكُ الدُّعَاءَ مَعْصِيَةٌ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Meninggalkan berdoa merupakan kemaksiatan”.

وقال صلى الله عليه وسلم: الدُّعَاءُ سِلاحُ المُؤْمِنِ وَعِمَادُ الدِّينِ وَنُورُ السَّمواتِ والأَرْضِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Doa itu senjatanya orang mukmin, tiangnya agama dan cahaya langit dan bumi.”

وقال صلى الله عليه وسلم: دَعْوَةُ المَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ وإنْ كَانَ فَاجِرا فَفُجُورُهُ على نَفْسِهِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Doa orang teraniyaya itu mustajab walaupun dari orang durhaka, maka kedurhakaannya menjadi tanggungannya sendiri.”

وقال صلى الله عليه وسلم: اتَّقُوا دَعْوَةَ المَظْلُومِ، فإنَّها  تُحْمَلُ على الغَمَامِ، يَقُولُ اللَّه وَعِزَّتِي وَجَلالي  لأَنْصُرَنَّكَ وَلَوْ بَعْد حِينٍ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Takutlah kepada doanya orang yang teraniyaya, karena doanya diangkat  diatas awan. Allah berfirman “Demi keagungan dan kebesaran-Ku, Aku pasti  menolongmu, meskipun setelah waktu lama”.

وقال صلى الله عليه وسلم: اتَّقُوا دَعْوَةَ المَظْلُوم وَإنْ كَانَ كَافِرا، فَإنَّه لَيْسَ دُونَها حِجَابٌ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Takutlah kepada doanya orang teraniyaya, meskipun dia seorang kafir, karena diantaranya tidak ada penghalang”.

BAB 20 | KEUTAMAAN ISTIGHFAR

الباب العشرون:  في فضيلة الاستغفار

قال النبي صلى الله عليه وسلم: لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ وَدَواءُ الذُّنوبِ الاسْتِغْفَارُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Setiap penyakit ada obatnya, dan obatnya dosa-dosa adalah istighfar”.

وقال صلى الله عليه وسلم: لِكُلِّ شَيْءٍ حِلْيَةٌ وَحِلْيَةُ الذُّنُوبِ الاسْتِغْفَارُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Setiap sesuatu ada perhiasannya dan perhiasan dosa-dosa adalah istigfar.”

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنِ اسْتَغْفَرَ غَفَرَ الله لَهُ وإنْ كَانَ فارّا مِنَ الزَّحْفِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa beristighfar maka Allah mengampuninya walaupun pernah kabur dari medan perang”.

وقال صلى الله عليه وسلم: مَا أَصَرَّ مَنِ اسْتَغْفَرَ وإنْ عَادَ في اليَوْم سَبْعِينَ مَرَّةً

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tetap berdosa orang yang beristighfar, meskipun dia kembali berbuat dosa 70 kali dalam sehari”.

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنِ اسْتَغْفَرَ بَعْدَ الذُّنُوبِ غَفَرَ الله لَهُ فَهُوَ لَها كَفَّارَةٌ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa beristighfar setelah berbuat dosa, maka Allah mengampuniya karena istighfar sebagai penebus dosanya”.

وقال صلى الله عليه وسلم: إذا كَثُرَ عَلى أَحَدِكُمْ الذُّنُوب فَلْيَطْلُبِ المَغْفِرَةَ بالاسْتِغْفَارِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Ketika salah seorang dari kalian banyak berdosa maka mintalah ampunan dengan istigfar.”

وقال صلى الله عليه وسلم: إذَا كَثُرَتْ ذُنُوبُ أَحَدِكُمْ فَلْيَسْتَغْفِر الله

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Ketika dosa salah seorang dari kalian banyak maka mintalah ampunan kepada Allah “.

وقال صلى الله عليه وسلم: الاسْتِغْفَارُ يَأكُلُ الذُّنُوبَ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الحَطَبَ اليابِسَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Istigfar membakar dosa-dosa bagaikan api membakar kayu bakar yang kering”.

وقال صلى الله عليه وسلم: كَثْرَةُ الاسْتِغْفَارِ تَجْلُبُ الرِّزْقَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Memperbanyak istighfar bisa menarik rizki”.

وقال صلى الله عليه وسلم: أكْثِرُوا مِنَ الاسْتِغْفَارِ، فَمَنْ  أَكْثَرَ مِنْهُ جَعَلَ الله لَهُ مِنْ كُلِّ غَمٍّ وَهَمٍّ فَرَجا  وَرَزَقَهُ من حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Perbanyaklah beristigfar karena barang siapa yang memperbanyak  istigfar maka Allah akan menjadikan jalan keluar dari setiap kesedihan  dan kesusahan dan memberikan rizki dari jalan yang tidak disangka – sangka”.

BAB 21 | KEUTAMAAN DZIKRULLOH

الباب الحادي والعشرون :  في فضيلة ذكر الله تعالى

 قال النبي الله صلى الله عليه وسلم: ذِكْرُ الله عِلَمُ الإيمانِ  وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ وَحِصْنٌ مِنَ الشِّيْطَانِ وَحِرْزٌ مِنَ  النيرانِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dzikir kepada Allah itu tandanya iman, kebebasan dari munafik, tameng dari setan dan penjaga dari neraka. “

وقال صلى الله عليه وسلم:  أَفْضَلُ الذِّكْرُ الخَفِيُّ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dzikir yang paling utama adalah yang tersembunyi”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  أَشَدُّ الأَعْمالِ ثَلاَثٌ ذِكْرُ الله  تَعَالى عَلَى كُلِّ حَالٍ وَمُوَاسَاةُ الأخِ مِنْ مالِكَ وإنْصَافُ  الفَقيرِ البَائِسِ مِنْ نَفْسِكَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Amal yang paling berat itu ada tiga : dzikir kepada Allah ta’ala pada  setiap keadaan, menolong saudara dari penguasa dan berbagi kebahagiaan  dengan orang miskin yang melarat.”.

وقال صلى الله عليه وسلم: عَلاَمَةُ حُبِّ الله حُبُّ ذِكْرِ الله وَعَلامَةُ بُغْضِ الله بُغْضُ ذِكْرِ الله عَز وَجَل

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tandanya cinta kepada Allah adalah Dzikir kepada Allah, dan tandanya  benci kepada Allah adalah benci dzikir kepada Allah azza wajalla”.

وقال صلى الله عليه وسلم حِكَايَة عَنِ الله تَعَالى:  أَنَا مَعَ عَبْدي إذا ذَكَرني وَتَحَرَّكَتْ بي شَفَتَاهُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda -menceritakan dari Allah ta’ala : “Aku bersama hamba-hamba-Ku ketika ia dzikir kepada-Ku, dan bibrnya bergerak karena-Ku “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  ذِكْرُ الله تَعَالَى بالغَدَاةِ والعَشِيِّ أَفْضَلُ مِنْ ضَرْبِ ٱلسُّيُوفِ فِي سَبِيلِ الله

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dzikir kepada Allah ta’ala pagi dan sore lebih utama daripada memukulkan pedang fi sabilillah “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  أَفْضَلُ الذِّكْرِ لا إلهَ إلاَّ الله

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dzikir yang paling utama adalah laa ilaaha illallah”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  اذْكُروا الله ذِكْرا خَامِلاً، قيل: وَمَا الذِكْرُ الخَامِلُ؟، قال: الذِّكْرُ الخَفِيُّ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dzikirlah kepada Allah dengan khumul “, ditanyakan kepada beliau : ” Apa dzikir khumul itu ?” beliau menjawab : ” dzikir dengan tersembunyi “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  أَفْضَلُ العِبَادِ دَرَجَةً عِنْدَ الله يَوْمَ القِيَامَةِ الذَّاكِرونَ الله كَثِيرا

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Derajat seorang hamba yang paling utama di sisi Allah di hari kiamat  kelak adalah orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  خَيْرُ الذِّكْرِ الذِّكْرُ الخَفِيُّ، وَخَيْرُ العِبَادَةِ أَخَفُّها، وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik dzikir adalah dzikir yang tersembunyi, sebaik-baik ibadah  adalah yang paling tersembunyi dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi”.

BAB 22 | KEUTAMAAN TASBIH

الباب الثاني والعشرون :  في فضيلة التسبيح

 قال النبي الله صلى الله عليه وسلم:  ما عَلَى الأَرْضِ رَجُلٌ يَقُولُ لا  إلٰه إلا الله والله أكْبَرُ وسُبْحَانَ الله وَلاَ حَوْلَ وَلا قُوَّةَ  إلاَّ بالله إلاَّ غُفِرَتْ ذُنُوبُهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ  البَحْرِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tidak ada seorang laki-laki di atas bumi yang mengucapkan La ilaha  illallah wallahu Akbar wa subhanallah walhamdulillah wa laa quwwata illa  billah terkecuali dosa-dosanya diampuni walaupun bagaikan buih lautan”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ قَالَ سُبْحَانَ الله وَبِحَمْدِهِ في  يَوْمٍ مائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَاياهُ وإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ  البَحْرِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa mengucapkan subhanallahi wa bihamdihi seratus kali maka dihapus kesalahannya walaupun bagaikan buihnya lautan”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  سُبْحَانَ الله نِصْفُ المِيزانِ، والحَمْدُ  لله مِلْءُ الميزانِ، والله أَكْبَرُ مِلْءُ السَّمواتِ والأرْضِ، وَلا إله  إلا الله لَيْسَ دُونَها سِترٌ وَلا حِجَابُ حَتَّى تَخْلَصَ إلى ربِّها  عَزَّ وَجَلَّ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Subhanallahi itu setengah timbangan, alhamdulillahi itu memenuhi  timbangan, Allahu akbar itu memenuhi langit dan bumi, Laa illaha  illallah tidak ada tabir maupun penghalang sehingga bisa sampai kepada  Tuhannya Azza wa Jalla”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ هَلَّلَ  مَائَةً وَسَبَّحَ مَائَةً وَكَبَّرَ فإنَّهُ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ رِقَابٍ  يَعْتِقُهَا وَسَبْعِ بَدنَاتٍ يَنْحَرُهَا

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa membaca tahlil seratus kali, membaca tasbih seratus kali  dan membaca takbir seratus kali maka itu lebih baik daripada  memerdekakan sepuluh orang budak dan berkurban tujuh ekor unta “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ قَالَ سُبْحَانَ الله والحَمْدُ لله ولا  إلٰه إلا الله وَالله أَكْبَرُ ولا حَوْلَ وَلاَ قُوَّة إلا بالله العَلي  العظيم مَرَّةً وَاحِدةً كَتَبَ الله لَهُ مائَةَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا  عَنْهُ مائَة ألْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ مائَةَ أَلْفِ دَرَجَةٍ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa mengucapkan subhanallahi walhamdulillahi walaailaha  illallahu wallahu akbar wala quwwata illa billahil aliyyil adzim sekali  maka Allah menulis untuknya seratus ribu kebaikan, menghapus seratus ribu  kejelekan dan mengangkanya seratusribu derajat”.

وقال صلى الله  عليه وسلم:  مَنْ قَالَ سُبْحَانَ الله إلى آخِرِهَا تَنَاثَرَتْ عَنْهُ  الخَطَايا والذُّنُوبُ كَتَناثُرِ أوْراقِ الشَّجَرِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa mengucapkan subhanallahi hingga akhirnya maka dosa dan kesalahannya rontok bagaikan rontoknya dedaunan”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ قَالَ سُبْحَانَ رَبي العَظيم غُرِسَتْ لَهُ بِهَا شَجَرَةٌ في الجَنَّةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa mengucapkan subhanallahi Rabbiyal `azhiimi maka ditanam baginya sebuah pohon di surga “.

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ قَالَ سُبْحانَ رَبي الأعْلَى غَفَرَ الله لَهُ وَأَدْخَلَهُ الجَنَّة

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa mengucapkan subhana Rabbiyal A`laa maka Allah mengampuni dosa-dosanya dan memasukannya kedalam surga”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  التَّسْبِيحُ يَجْلُبُ الرِّزْقَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Bertasbih itu mendatangkan rizki.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  كَلِمَتَان خَفِيفتان عَلَى اللِّسانِ،  ثَقيلتانِ في الميزان، حَبيبتان إلى الرَّحمٰنِ سُبْحَانَ الله  وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ الله العَظِيمِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Dua kalimat yang ringan pada lisan, berat pada timbangan dan dicintai  Ar-Rahman adalah subhanallahi wa bihamdihi dan subhanallahil adzim”.


lubabulhadits

BAB KE 15 | KEUTAMAAN SHOLAT SUNNAT

الباب الخامس عشر :   في فضيلة السنن

 قال النبي صلى الله عليه وسلم :  مَنْ صَلَّى في اليَوْمِ واللَّيلَةِ  اثْنَتيْ عَشرَةَ رَكْعَةً تَطَوّعا بنى الله لَهُ بيتا في الجَنَّةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat sunat dalam sehari semalam 12 rakaat maka Allah membuatkannya sebuah rumah di surga.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى قَبْلَ الفَجْر رَكْعَتَيْنِ  وَقَبْلَ الظُّهْرِ أربعا وَبَعْدَها أرْبعا وَأَرْبعا قَبْلَ العَصْرِ  دَخَلَ الجَنَّةَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat sebelum fajar dua raka`at, sebelum zhuhur empat  raka`at dan sesudahnya empat raka`at, sebelum asar empat raka`at maka  dia masuk surga. ”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى قَبْلَ الظُّهْرِ أربعا كَانَ كَعَدْلِ رقَبَةٍ مِنْ بني إسْمَاعِيل

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat empat rakaa`t sebelum zhuhur maka pahalanya sama dengan memerdekakan seorang sahaya dari anak Ismail.”

وقال النبي صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى رَكْعَتَينِ في خَلاَءٍ لا  يَرَاهُ إلا الله والمَلائِكَةُ كُتِبَ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّار

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat dua raka`at di tempat yang sepi yang tiada  melihatnya terkecuali Allah dan para Malaikat maka ditulis baginya  kebebasan dari neraka. ”

وقال رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم:   مَا مِنْ عَبْدٍ يُصَلِّي في بَيْتٍ مُظْلِمٍ بِرُكُوعٍ تَامٍّ وَسُجُودٍ  تَامٍّ إلا وَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ بَلا حِسَابٍ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tiada seorang hambapun yang sholat dua raka`at di rumah yang gelap  dengan menyempurnakan ruku` dan sujudnya terkecuali pasti masuk surga  tanpa hisab.”

وقَالَ صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى أرْبَعَ  رَكَعَاتٍ بِحَيْثُ لا تَرَاهُ النَّاسُ فَقَدْ بَرِىءَ مِنَ النِّفَاقِ  والكُفرِ والبِدْعَةِ والضَّلالَةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat empat raka`at tanpa terlihat oleh manusia maka ia  telah terbebas dari munafik, kufur, bid`ah dan kesesatan.”

وقالَ صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى قَبْلَ العَصْرِ أَرْبَعا حَرَّمَهُ الله عَلَى النَّارِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat empat raka`at sebelum asar maka Allah mengharamkannya dari siksa neraka.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى بَعْدَ المَغْرِبِ رَكْعَتَينِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّم كُتِبَتَا في عليين

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat dua raka`at setelah maghrib sebelum berbicara maka pahala keduanya ditulis di `illiyyin .”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى أَرْبع رَكَعَاتٍ بَعْدَ العِشَاءِ  قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ فَكَأَنَّما أَدْرَكَ لَيْلَةَ القَدْر في  المَسْجِدِ الحَرامِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat empat raka`at setelah isya` sebelum berbicara  maka seakan – akan dia menjumpai malam lailatul qadar di Masjidil  Haram.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ صَلَّى الضُّحَى ثِنَتيْ  عَشرةَ رَكْعَةً إيمانا واحْتِسَابا كَتَبَ الله لَهُ أَلْفَ أَلْفِ  حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ ورَفَعَ لَهُ أَلْفَ  أَلْفِ دَرَجَةٍ وَبَنى الله لَهُ بَيْتا في الجَنَّةِ وَغَفَرَ الله لَهُ  ذُنُوبَه كُلَّها

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa sholat dhuha dua belas raka`at dengan penuh keimanan dan  mengharapkan pahala maka Allah menuliskan baginya sejuta kebaikan, menghapus sejuta kejelekan, mengangkatnya sejuta derajat, membangun  rumah baginya di surga dan mengampuni semua dosa-dosanya”.

BAB 16 | KEUTAMAAN ZAKAT

الباب السادس عشر :  في فضيلة الزكاة

قال النبي صلى الله عليه وسلم:  الزَّكَاةُ قَنْطَرَةُ الإسْلام

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Zakat itu jembatan islam.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  الزَّكَاةُ طُهْرُ الإيمانِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Zakat itu menyucikan iman”

وقال صلى الله عليه وسلم:  لاَ يَقْبَلُ الله الإيمانَ إلاَّ بالزَّكاةِ ولا إيمانَ لِمَنْ لاَ زَكَاة لَهُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Allah tidak menerima iman terkecuali bersama zakat dan tidak ada iman bagi orang yang tidak zakat.”

وقال صلى الله عليه وسلم: حَصِّنُوا أموالَكم بالزَّكاةِ وَدَاووا مَرْضَاكُمْ بالصَّدَقَةِ وأَعِدُّوا لِلْبَلاءِ الدُّعَاءَ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Jagalah harta kalian dengan zakat, obatilah orang-orang sakit dengan sedekah dan siapkanlah do`a untuk menolak bencana.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  ما هَلَكَ مَالٌ في بَرٍّ ولا بَحْر إلاَّ بِمَنْعِ الزَّكَاةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah binasa harta di daratan dan di lautan kecuali karena menahan zakat.”

وقال صلى الله عليه وسلم:  لا إيمَانَ لِمَنْ لاَ صَلاَةَ لَهُ ولا صَلاَةَ لِمَنْ لا زَكَاةَ لَهُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : ” Tiada iman bagi orang yang tidak sholat dan tiada sholat bagi orang yang tidak zakat. ”

وقال النبي صلى الله عليه وسلم:  طَهِّروا أمْوَالَكُمْ بالزَّكاةِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Sucikanlah harta benda kalian dengan zakat”.

وقال صلى الله عليه وسلم  مَنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ فَلَم يَدْفَعْهَا فَهُوَ في النَّارِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa bekewajiban zakat namun tidak menunaikan kewajiban zakatnya maka dia di dalam neraka”.

وقال صلى الله عليه وسلم:  لا خَيْرَ في مَالٍ لا يُزَكَّى

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Tiada kebaikan pada harta yang tidak dizakati”

وقال صلى الله عليه وسلم:  مَنْ مَنَعَ الزَّكاةَ مَنَعَ الله تَعَالى عَنْهُ حِفْظَ المَالِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa menolak membayar zakat maka Allah menolak memelihara hartanya”.

BAB 17 | KEUTAMAAN SEDEKAH

ﺍﻟﺒﺎﺏ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﻋﺸﺮ : ﻓﻲ ﻓﻀﻴﻠﺔ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﺗَﻤْﻨَﻊُ ﻣِﻴﺘَﺔَ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sedekah itu bisa menolak mati buruk”. 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺻَﺪَﻗَﺔُ ﺍﻟﺴِّﺮِّ ﺗُﻄْﻔِﻰﺀُ ﻏَﻀَﺐَ ﺍﻟﺮَّﺏِّ ﻭَﺻَﺪَﻗَﺔُ ﺍﻟﻌَﻼَﻧِﻴَﺔِ ﺟُﻨَّﺔٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sedekah sirri (secara rahasia) memadamkan murka Allah SWT dan sedekah secara terang-terangan merupakan perisai dari neraka”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﺗَﺴُﺪُّ ﺳَﺒْﻌِﻴْﻦَ ﺑَﺎﺑًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﻮﺀِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sedekah itu bisa menutup 70 pintu keburukan” 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﺗّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ﻭَﻟَﻮْ ﺑِﺸِﻖِّ ﺗَﻤْﺮَﺓٍ، ﻓﺈﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﺠِﺪُﻭﺍ ﻓَﺒِﻜَﻠِﻤَﺔٍ ﻃَﻴِّﺒَﺔٍ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Takutlah kalian pada neraka walaupun dengan sesobek kurma, jika kalian tidak mendapatkannya maka dengan kalimat yang baik”. 

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻻَ ﺗَﺴْﺘَﺤﻴُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺇﻋﻄَﺎﺀِ ﺍﻟﻘَﻠِﻴﻞِ، ﻓَﺈﻥَّ ﺍﻟﺤِﺮْﻣَﺎﻥَ ﺃَﻗَﻞُّ ﻣِﻨْﻪُ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Janganlah kalian merasa malu untuk memberi sedikit, karena sesungguhnya tidak memberi lebih sedikit daripada memberi sedikit”.

ﻭَﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻣَﻦْ ﻧَﻬَﺮَ ﺳَﺎﺋِﻼً ﻧَﻬَﺮَﺗْﻪُ ﺍﻟﻤﻼﺋِﻜَﺔُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang membentak peminta (pengemis) makakelak di hari kiamat dibentak oleh malaikat”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻣَﻬْﺮُ ﺍﻟﺤُﻮﺭِ ﺍﻟﻌِﻴﻦِ ﻗَﺒْﻀَﺔُ ﺍﻟﺘَّﻤْﺮِ ﻭَﻓَﻠْﻖُ ﺍﻟﺨُﺒْﺰِ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Mas kawin bidadari itu segenggam kurma dan sepotong roti”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﻣَﺎ ﻧَﻘَﺺَ ﻣَﺎﻝٌ ﻣِﻦْ ﺻَﺪَﻗَﺔٍ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Tidaklah berkurang suatu harta karena sedekah”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﺷَﻲُﺀٌ ﻋَﻈِﻴﻢٌ ﻗَﺎﻟَﻬﺎ ﺛَﻼَﺛﺎ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sedekah itu sesuatu yang besar. Beliau mengucapkannya sampai tiga kali”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ :  ﺍﻟﺼَّﺪَﻗَﺔُ ﺗَﺮُﺩُّ ﺍﻟﺒَﻼَﺀ ﻭَﺗُﻄَﻮِّﻝُ ﺍﻟﻌُﻤْﺮَ 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sedekah itu menolak bala dan memanjangkan umur”.

BAB 18 | KEUTAMAAN SALAM

الباب الثامن عشر :  في فضيلة السلام
قال النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: السَّلامُ قَبْلَ الكَلاَمِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : ” Salam itu sebelum bicara.”

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنْ بَدَأ بالكلامِ قَبْلَ السَّلامِ فَلاَ تُجيبُوهُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : ” Barang siapa memulai bicara sebelum salam maka janganlah menjawabnya.”

وقال صلى الله عليه وسلم: مَنْ بَدَأَ بالسَّلامِ فَهُوَ أَوْلَى بالله وَرَسُولِهِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa memulai salam maka dia lebih berhak mendapatkan perlindungan dari Allah dan Rasul-NYA”.

وقال صلى الله عليه وسلم: السَّلامُ مِنْ أسْمَاءِ الله تَعَالَى  وَضَعَهُ الله في الأَرْضِ فَأَفْشُوهُ، فإنَّ الرَّجُلَ المُسْلِمَ إذا  مَرَّ بِقَوْمٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ فَرَدّوا عَلَيْهِ كَانَ لَهُ  عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ بِتَذْكِيرهِ إيَّاهُم السَّلام، فإنْ لَمْ  يَرُدوا عَلَيْهِ رَدَّ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُمْ وَأَطْيَبُ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “As Salam itu salah satu Nama Allah ta’ala yang diletakkannya di bumi,  maka sebarkanlah. Karena ketika seorang muslim melewati suatu kaum dan  mengucapkan salam kepada mereka kemudian mereka menjawabnya maka dia  mempunyai kelebihan derajat atas kaum tersebut karena mengingatkan  mereka akan salam, jika mereka tidak menjawabnya maka dia dijawab oleh  orang yang lebih baik dan lebih harum dari mereka (Malaikat).”

وقال صلى الله عليه وسلم: إنَّ أَوْلَى النَّاسِ بالله مَنْ بَدَأَهُمْ بالسَّلامِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya manusia yang paling dekat kepada Allah adalah orang yang memulai salam.”

وقال صلى الله عليه وسلمّ: رَأْسُ التَّواضعُ الابتداءُ بالسَّلامِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Pokok tawadlu’ adalah memulai dengan salam”.

وقال صلى الله عليه وسلم: إذا الْتَقَى المُسْلِمَانِ أَقْرَبُهُما إلى الله تَعَالى مَنْ بَدَأ بالسَّلامِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Ketika dua orang muslim bertemu maka yang paling dekat kepada Allah ta’ala adalah yang memulai mengucapkan salam”.

وقال صلى الله عليه وسلم: إذَا دَخَلْتُم في مَجْلِسٍ فَسَلِّمُوا وإذا خَرَجْتُمْ فَسَلِّمُوا

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Ketika kalian masuk suatu majlis maka ucapkanlah salam dan ketika kalian meninggalkannya maka ucapkanlah salam.”

وقال صلى الله عليه وسلم: أَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بالسَّلامِ

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Orang yang paling kikir adalah orang yang paling pelit memberi salam.”

وقال النبي صلى الله عليه وسلم: السَّلامُ تَحِيَّةٌ لِمِلَّتِنا  وَأَمَانٌ لِذِمَّتنَا، قال الله تعالى: “وإذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ  فَحَيّوا بأحْسَنَ منها أوْ رُدُّوهَا”

Nabi Shollallohu alaihi wasallam bersabda : “Salam itu penghormatan bagi agama kita dan keamanan bagi jaminan  kita. Allah ta’ala berfirman : “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau  balaslah (dengan yang serupa)”.

solat jumat

FATHUL MU'IN

(فَصْلٌ): فِيْ صَلَاةِ الْجُمْعَةِ

FASAL

TENTANG SHALAH JUM‘AT

 

هِيَ فَرْضُ عَيْنٍ عِنْدَ اجْتِمَاعِ شَرَائِطِهَا. وَ فُرِضَتْ بِمَكَّةَ، وَ لَمْ تَقُمْ بِهَا لِفَقْدِ الْعَدَدِ، أَوْ لِأَنَّ شِعَارَهَا الْإِظْهَارُ، وَ كَانَ مُسْتَخْفِيًا فِيْهَا. وَ أَوَّلُ مَنْ أَقَامَهَا بِالْمَدِيْنَةِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ أَسْعَدُ بْنُ زُرَارَةِ، بِقَرْيَةٍ عَلَى مَيْلٍ مِنَ الْمَدِيْنَةِ. وَ صَلَاتُهَا أَفْضَلُ الصَّلَوَاتِ. وَ سُمِّيَتْ بِذلِكَ: لِاجْتِمَاعِ النَّاسِ لَهَا، أَوْ لِأَنَّ آدَمَ اجْتَمَعَ فِيْهَا مَعَ حَوَّاءَ مِنْ مُزْدَلِفَةَ، فَلِذلِكَ سُمِّيَتْ جُمُعًا.



Mengerjakan shalat Jum‘at hukumnya fardhu ‘ain, jika telah memenuhi syarat-syaratnya. Perintah melakukannya turun di Makkah. Namun di Makkah sendiri tidak diselenggarakan kala itu, karena belum cukup bilangan kaum mu’min, atau karena syi‘arnya harus ditampakkan, sedangkan Nabi Muḥammad s.a.w. di Makkah masih sembunyi-sembunyi. Orang yang pertama kali mendirikan shalat Jum‘at di Madīnah sebelum Nabi s.a.w. hijrah adalah As‘ad bin Zurārah. Yaitu diselenggarakan di desa yang berdekatan dengan kota Madīnah. Shalat Jum‘at itu shalat yang paling utama. Dinamakan dengan shalat Jum‘at, karena berkumpulnya manusia guna mengerjakan shalat Jum‘at, atau karena Nabi Ādam a.s. berkumpul dengan Ḥawwā’ di Muzdalifah pada hari Jum‘at. Dan karena itu, Muzdalifah dinamakan Jumu‘an.

(تَجِبُ جُمُعَةٌ عَلَى) كُلِّ (مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ، (ذَكَرٍ، حُرٍّ)، فَلَا تَلْزَمُ عَلَى أُنْثَى، وَ خُنْثَى، وَ مَنْ بِهِ رِقٌّ إِنْ كُوْتِبَ لِنَقْصِهِ، (مُتَوَطِّنٌ) بِمَحَلِّ الْجُمْعَةِ لَا يُسَافِرُ مِنْ مَحَلِّ إِقَامَتِهَا صَيْفًا وَ لَا شِتَاءً إِلَّا لِحَاجَةٍ، كَتِجَارَةٍ، وَ زِيَارَةٍ، (غَيْرَ مَعْذُوْرٍ) بِنَحْوِ مَرَضٍ، مِنَ الْأَعْذَارِ الَّتِيْ مَرَّتْ فِي الْجَمَاعَةِ، فَلَا تَلْزَمُ عَلَى مَرِيْضٍ إِنْ لَمْ يَحْضُرْ بَعْدَ الزَّوَالِ مَحَلَّ إِقَامَتِهَا، وَ تَنْعَقِدُ بِمَعْذُوْرٍ

Shalat Jum‘at itu wajib atas setiap orang mukallaf, yaitu bāligh, berakal sehat, laki-laki dan merdeka. Karena itu, shalat Jum‘at tidak wajib atas wanita, khutsā’ dan budak, sekalipun budak mukātab. Sebab mereka semua dianggap punya kekurangan. Yang bertempat tinggal di tempat diselenggarakannya shalat Jum‘at. Artinya, mereka tidak pergi dari tempat itu di musim kemarau maupun hujan, kecuali ada keperluan semacam berdagang atau ziarah. Mereka tidak sedang ‘udzur, misalnya sakit atau ‘udzur-‘udzur lain, seperti yang ada dalam masalah shalat jamā‘ah.Maka, shalat Jum‘at tidak wajib bagi orang sakit yang tidak bisa hadir di tempat diselenggarakan Jum‘atan setelah matahari tergelincir ke arah barat. Shalat Jum‘at tetap sah, jika dikerjkan oleh orang yang punya ‘udzur.

(وَ) تَجِبُ (عَلَى مُقِيْمٍ) بِمَحَلِّ إِقَامَتِهَا غَيْرِ مُتَوَطِّنٍ، كَمَنْ أَقَامَ بِمَحَلِّ جُمْعَةٍ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ فَأَكْثَرَ، وَ هُوَ عَلَى عَزْمِ الْعَوْدِ إِلَى وَطْنِهِ، وَ لَوْ بَعْدَ مُدَّةٍ طَوِيْلَةٍ. وَ عَلَى مُقِيْمٍ مُتَوَطِّنٍ بِمَحَلِّ يَسْمَعُ مِنْهُ النِّدَاءَ وَ لَا يَبْلُغُ أَهْلَهُ أَرْبَعِيْنَ، فَتَلْزَمُهُمَا الْجُمْعَةُ (وَ) لكِنْ (لَا تَنْعَقِدُ) الْجُمْعَةُ (بِهِ) أَيْ بِمُقِيْمٍ غَيْرِ مُتَوَطِّنٍ، وَ لَا بِمُتَوَطِّنٍ خَارِجَ بَلَدِ إِقَامَتِهَا، وَ إِنْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ بِسَمَاعِهِ النِّدَاءَ مِنْهَا. (وَ لَا بِمَنْ بِهِ رِقٌّ وَصَبَا)، بَلْ تَصِحُّ مِنْهُمْ، لكِنَّ يَنْبَغِيْ تَأَخُّرُ إِحْرَامِهِمْ عَنْ إِحْرَامِ أَرْبَعِيْنَ مِمَّنْ تَنْعَقِدُ بِهِ الْجُمْعَةُ عَلَى مَا اشْتَرَطَهُ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ، وَ إِنْ خَالَفَ فِيْهِ كَثِيْرُوْنَ.

Shalat Jum‘at wajib bagi seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at tanpa ada niat menetap selamanya, seperti seseorang yang ber-muqīm di daerah diselenggarakannya shalat Jum‘at selama 4 hari atau lebih, sedangkan ia bermaksud untuk kembali ke tanah kelahirannya, sekalipun maksud tersebut setelah masa yang lama. Juga wajib dikerjakan oleh orang muqīm mutawaththin di tempat yang panggilan shalat Jum‘at masih terdengar, di mana penduduk tempat terselenggarakan Jum‘atan kurang dari 40 orang,  maka wajib mengerjakan shalat Jum‘at. Namun shalat Jum‘at tidak sah dengan golongan orang muqīm yang tidak menetap selamanya dan tidak sah pula dengan muqīm mutawaththin yang berada di luar daerah diselenggarakan shalat Jum‘at, sekalipun shalat Jum‘at wajib baginya bila mendengar panggilan shalat dari tempat diselenggarakannya itu. Shalat Jum‘at juga tidak sah dengan dipenuhi oleh budak atau anak-anak, tetapi shalat mereka sah. Hanya saja mereka sebaiknya menunda takbīrat-ul-iḥrām sampai sesudah takbīr 40 orang yang sah Jum‘atnya atas pendapat yang mensyaratkan hal tersebut ya‘ni dari segolongan ‘ulamā’ muḥaqqiqīn, sekalipun banyak ‘ulamā’ yang menentangnya. 

(وَ شُرِطَ) لِصِحَّةِ الْجُمْعَة مَعَ شُرُوْطٍ غَيْرِهَا سِتَّةٌ: أَحَدُهَا: (وُقُوْعُهَا جَمَاعَةً) بِنِيَّةِ إِمَامَةٍ وَ اقْتِدَاءٍ، مُقْتَرِنَةً بِتَحَرُّمٍ (فِي الرَّكْعَةِ الْأُوْلَى)، فَلَا تَصِحُّ الْجُمْعَةُ بِالْعَدَدِ فُرَادَى، وَ لَا تُشْتَرَطُ الْجَمَاعَةُ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ. فَلَوْ صَلَّى الْإِمَامُ بِالْأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً ثُمَّ أَحْدَثَ فَأَتَمَّ كُلٌّ مِنْهُمْ رَكْعَةً وَاحِدَةً، أَوْ لَمْ يُحْدِثْ بَلْ فَارَقُوْهُ فِي الثَّانِيَةِ، وَ أَتَمُّوْا مُنْفَرِدِيْنَ، أَجْزَأَتْهُمُ الْجُمْعَةُ. نَعَمْ، يُشْتَرَطُ بَقَاءُ الْعَدَدِ إِلَى سَلَامِ الْجَمِيْعِ، حَتَّى لَوْ أَحْدَثَ وَاحِدٌ مِنَ الْأَرْبَعِيْنَ قَبْلَ سَلَامِهِ، وَ لَوْ بَعْدَ سَلَامٍ مَنْ عَدَاهُ مِنْهُمْ، بَطَلَتْ جُمْعَةُ الْكُلِّ.


Di samping syarat-syarat shalat yang lain, shalat Jum‘at juga disyaratkan atas enam perkara: (1. Harus dilaksanakan secara berjamā‘ah pada raka‘at pertama, imām berniat menjadi imām dan ma’mūm berniat berma’mūm yang bersamaan dengan takbīrat-ul-iḥrām. Karena itu, shalat Jum‘at yang telah terpenuhi bilangan jamā‘ahnya (40 orang) tidak sah, jika dilaksanakan dengan sendiri-sendiri. Pada raka‘at keduanya tidak disyaratkan harus berjamā‘ah. Jika imām pada raka‘at pertama berjamā‘ah dengan ma’mūm 40 orang, lalu imām berhadats, lantas mereka meneruskan shalat sendiri-sendiri, atau imām tidak berhadats, tetapi mereka memisah dari imām (mufāraqah) pada raka‘at kedua dan meneruskan sendiri-sendiri, maka sah Jum‘atannya. Benar sah, namun orang 40 itu disyaratkan harus tetap ada  sampai mereka semua salām, sehingga apabila salah satu dari keempat puluh orang tersebut berhadats sebelum salāmnya, sekalipun ma’mūm yang lainnya sudah salām, maka batallah shalat Jum‘at mereka.

وَ لَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَى أَنْ سَلَّمَ، أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلَامِهِ جَهْرًا وَ تَمَّتْ جُمْعَتُهُ إِنْ صَحَّتْ جُمْعَةُ الْإِمَامِ وَ كَذَا مَنِ اقْتَدَى بِهِ وَ أَدْرَكَ رَكْعَةً مَعَهُ كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا. وَ تَجِبُ عَلَى مَنْ جَاءَ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ: نِيَّةُ الْجُمْعَةِ عَلَى الْأَصَحِّ وَ إِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللَّازِمَةَ لَهُ. وَ قِيْلَ: تَجُوْزُ نِيَّةُ الظُّهْرِ. وَ أَفْتَى بِهِ الْبُلْقِيْنِيُّ وَ أَطَالَ الْكَلَامَ فِيْهِ.

Apabila ma’mūm masbūq mendapatkan rukū‘ imām pada raka‘at kedua, lalu ia mengikuti terus sampai salām, maka ia harus menambah satu raka‘at dengan bacaan keras dan shalat Jum‘at sudah dianggap sempurna, jika Jum‘atan imām tadi sah. Demikian juga sempurna shalat Jum‘at ma’mūm masbūq lainnya, yang berma’mūm kepada masbūq di atas dan ia masih mendapatkan satu raka‘at bersamanya, demikianlah menurut fatwa guru kami. Orang yang baru mengikuti imām setelah rukū‘nya imām raka‘at kedua, menurut pendapat yang ashaḥḥ wajib niat shalat Jum‘at, sekalipun yang harus dikerjakan adalah shalat Zhuhur. Pendapat lain mengatakan bahwa orang tersebut boleh berniat shalat Zhuhur. Seperti ini pula Imām al-Bulqīnī memfatwakan dan menguraikan secara panjang lebar. 

(وَ) ثَانِيْهَا: وُقُوْعُهَا (بِأَرْبَعِيْنَ) مِمَّنْ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمْعَةُ، وَ لَوْ مَرْضَى، وَ مِنْهُمُ الْإِمَامُ. وَ لَوْ كَانُوْا أَرْبَعِيْنَ فَقَطْ وَ فِيْهِمْ أُمِّيٌّ وَاحِدٌ أَوْ أَكْثَرَ قَصُرَ فِي التَّعَلُّمِ، لَمْ تَصِحَّ جُمْعَتُهُمْ، لِبُطْلَانِ صَلَاتِهِ فَيَنْقُصُوْنَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُقَصِّرِ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ فَتَصِحُّ الْجُمْعَةُ بِهِ كَمَا جَزَمَ بِهِ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحَي الْعُبَابِ وَ الْإِرْشَادِ، تَبْعًا لِمَا جَزَمَ بِهِ شَيْخُهُ فِيْ شَرْحِ الرَّوْضِ ثُمَّ قَالَ فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: لَا فَرْقَ هُنَا بَيْنَ أَنْ يُقَصِّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ، وَ أَنْ لَا يُقَصِّرَ. وَ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا غَيْرُ قَوِيٍّ. انْتَهَى. وَ لَوْ نَقَصُوْا فِيْهَا بَطَلَتْ، أَوْ فِيْ خُطْبَةٍ لَمْ يُحْسَبْ رُكْنُ فِعْلٍ حَالَ نَقْصِهِمْ، لِعَدَمِ سِمَاعِهِمْ لَهُ. فَإِنْ عَادُوْا قَرِيْبًا عُرْفًا جَازَ الْبِنَاءُ عَلَى مَا مَضَى، وَ إِلَّا وَجَبَ الْاِسْتِئْنَافُ، كَنَقْصِهِمْ بَيْنَ الْخُطْبَةِ وَ الصَّلَاةِ، لِانْتِفَاءِ الْمُوَالَاةِ فِيْهِمَا.

(2. Shalat Jum‘at harus dikerjakan oleh 40 orang, termasuk imāmnya dari orang-orang yang dapat mengesahkan Jum‘at, sekalipun sedang menderita sakit. Andaikata orang-orang yang sedang mendirikan shalat Jum‘at itu 40 orang saja dan di antara mereka terdapat seorang atau lebih yang ummī yang ceroboh tidak mau belajar, maka shalat Jum‘at mereka tidak sah, sebab shalat ummī batal, yang berarti bilangan 40 orang menjadi berkurang. Namun jika ummī tidak ceroboh dalam meninggalkan belajar, maka sah shalat Jum‘at mereka, sebagaimana pendapat yang dipegang teguh oleh guru kami dalam kitab Syarḥ-ul-‘Ubāb dan al-Irsyād, dengan mengikuti pendapat yang telah diputuskan oleh gurunya dalam kitab Syarḥ-ur-Raudh. Kemudian dalam Syarḥ-ul-Minhāj guru kita berkata: Tiada perbedaan antara ummī yang ceroboh dalam belajar, ataupun tidak dalam masalah ini. Perbedaan keduanya tidaklah kuat. – Selesai -. Jika bilangan 40 itu berkurang di waktu shalat maka shalat Jum‘at menjadi batal atau di waktu khuthbah, maka rukun khuthbah yang dilakukan waktu bilangan berkurang tidaklah dianggap, karena rukun tersebut tidak didengarkan oleh mereka semua. Jika ia kembali dalam waktu dekat secara umum, maka boleh meneruskan rukun khuthbah yang telah dikerjakan. Kalau tidak dalam waktu dekat, maka khuthbah harus diulangi dari permulaan. Sebagaimana jika bilangan berkurang antara khuthbah dan shalat, lantaran hilangnya sambung-menyambung antara khuthbah dengan shalat.

[فَرْعٌ]: مَنْ لَهُ مَسْكَنَانِ بِبَلَدَيْنِ، فَالْعِبْرَةُ بِمَا كَثُرَتْ فِيْهِ إِقَامَتُهُ، فِيْمَا فِيْهِ أَهْلُهُ وَ مَالُهُ. وَ إِنْ كَانَ بِوَاحِدٍ أَهْلٌ وَ بِآخَرَ مَالٌ، فَبِمَا فِيْهِ أَهْلُهُ، فَإِنِ اسْتَوَيَا فِي الْكُلِّ، فَبِالْمَحَلِّ الَّذِيْ هُوَ فِيْهِ حَالَةَ إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ. وَ لَا تَنْعَقِدُ الْجُمْعَةُ بِأَقَلِّ مِنْ أَرْبَعِيْنَ، خِلَافًا لِأَبِيْ حَنِيْفَةَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فَتَنْعَقِدُ عِنْدَهُ بِأَرْبَعَةٍ، وَ لَوْ عَبِيْدًا أَوْ مُسَافِرِيْنَ. وَ لَا يُشْتَرَطُ عِنْدَنَا إِذْنُ السُّلْطَانِ لِإِقَامَتِهَا وَ لَا كَوْنُ مَحَلِّهَا مِصْرًا، خِلَافًا لَهُ فِيْهِمَا. وَ سُئِلَ الْبُلْقِيْنِيْ عَنْ أَهْلِ قَرْيَةٍ لَا يَبْلُغُ عَدَدُهُمْ أَرْبَعِيْنَ، هَلْ يُصَلُّوْنَ الْجُمْعَةَ أَوِ الظُّهْرَ؟ فَأَجَابَ رَحِمَهُ اللهُ: يُصَلُّوْنَ الظُّهْرَ عَلَى مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ. وَ قَدْ أَجَازَ جَمْعٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنْ يُصَلُّوا الْجُمْعَةَ، وَ هُوَ قَوِيٌّ، فَإِذَا قَلُّدُوْا أَيْ جَمِيْعُهُمْ مَنْ قَالَ هذِهِ الْمَقَالَةَ، فَإِنَّهُمْ يُصَلُّوْنَ الْجُمْعَةَ. وَ إِنِ احْتَاطُوْا فَصَلُّوا الْجُمْعَةَ ثُمَّ الظُّهْرَ كَانَ حَسَنًا.

(Cabangan Masalah). Seseorang yang mempunyai dua tempat tinggal pada dua daerah, maka yang dipandang sebagai tempatnya adalah yang banyak didiami, kalau keduanya sama, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami oleh keluarga dan harta bendanya. Jika di satu tempat tempat keluarganya, dan di tempat yang satu lagi terdapat harta bendanya, maka yang dipandang sebagai tempat tinggalnya, adalah tempat yang didiami keluarganya. Apabila masing-masing terdapat keluarga dan hartanya, maka yang dianggap sebagai tempat tinggalnya adalah tempat yang didiami di waktu terselenggara shalat Jum‘at. Shalat Jum‘at tidak sah dengan dikerjakan orang yang jumlahnya kurang dari 40. Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah r.a. Menurut beliau shalat Jum‘at tetap sah dengan jumlah empat orang, sekalipun mereka semua adalah hamba sahaya atau orang-orang musāfir. Menurut pendapat kita (Syāfi‘iyyah), penyelenggaraan shalat Jum‘at itu tidak disyaratkan harus mendapat idzin dari penguasa  dan tempatnya tidak harus di mishr (kota). Lain halnya dengan pendapat Imām Abū Ḥanīfah yang mensyaratkan kedua hal di atas. Imam al-Bulqīnī ditanya mengenai penduduk suatu daerah yang jumlahnya kurang dari 40 orang, mereka ini wajib mengerjakan shalat Jum‘at atau Zhuhur? Beliau menjawab: Mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur menurut madzhab Syāfi‘ī. Segolongan ‘ulamā’ memperbolehkan mereka melakukan shalat Jum‘at, dan justru pendapat ini yang kuat. Karena itu, jika mereka semuanya mengikuti imam yang berpendapat tersebut, maka boleh melakukan shalat Jum‘at. Kalau ingin hati-hati, hendaknya mereka melakukan shalat Jum‘at, lalu mengerjakan shalat Zhuhur, maka hal itu baik.

(وَ) ثَالِثُهَا: وُقُوْعُهَا (بِمَحَلٍّ مَعْدُوْدٍ مِنَ الْبَلَدِ) وَ لَوْ بِفَضَاءٍ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا، بِأَنْ كَانَ فِيْ مَحَلٍّ لَا تَقْصُرُ فِيْهِ الصَّلَاةُ، وَ إِنْ لَمْ يَتَّصِلْ بِالْأَبْنِيَةِ، بِخِلَافِ مَحَلِّ غَيْرَ مَعْدُوْدٍ مِنْهَا، وَ هُوَ مَا يُجَوِّزُ السَّفَرُ الْقَصْرَ مِنْهُ.

(3. Diselenggarakannya shalat Jum‘at pada tempat yang termasuk balad  sekalipun tempat lapang yang masuk wilayahnya, sekira berada pada jarak yang tidak diperkenankan mengqashar shalat, sekalipun tidak bersambung dengan bangunan. Lain halnya dengan yang sudah tidak termasuk wilayahnya, yaitu tempat jauh yang kalau seseorang pergi ke sana sudah diperbolehkan mengqashar shalat.

[فَرْعٌ]: لَوْ كَانَ فِيْ قَرْيَةٍ أَرْبَعُوْنَ كَامِلُوْنَ لَزِمَتْهُمُ الْجُمْعَةُ، بَلْ يَحْرُمُ عَلَيْهِمْ عَلَى الْمُعْتَمَدِ تَعْطِيْلُ مَحَلِّهِمْ مِنْ إِقَامَتِهَا، وَ الذِّهَابُ إِلَيْهَا فِيْ بَلَدٍ أُخْرَى، وَ إِنْ سَمِعُوا النِّدَاءَ. قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ وَ غَيْرُهُ: إِنَّهُمْ إِذَا سَمِعُوا النَّدَاءَ مِنْ مِصْرَ، فَهُمْ مُخَيَّرُوْنَ بَيْنَ أَنْ يَحْضَرُوا الْبَلَدَ لِلْجُمْعَةِ، وَ بَيْنَ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ قَرْيَتِهِمْ، وَ إِذَا حَضَرُوا الْبَلَدَ لَا يَكْمُلْ بِهِمِ الْعَدَدُ لِأَنَّهُمْ فِيْ حُكْمِ الْمُسَافِرِيْنَ، وَ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْقَرْيَةِ جَمْعُ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمْعَةُ وَ لَوْ بِامْتِنَاعِ بَعْضِهِمْ مِنْهَا يَلْزَمُهُمُ السَّعْيُ إِلَى بَلَدٍ يَسْمَعُوْنَ مِنْ جَانِبِهِ النِّدَاءُ. قَالَ ابْنُ عُجَيْلٍ: وَ لَوْ تَعَدَّدَتْ مَوَاضِعٌ مُتَقَارِبَةٌ وَ تَمَيَّزَ كُلٌّ بِاِسْمٍ، فَلِكُلِّ حُكْمُهُ. قَالَ شَيْخُنَا: إِنَّمَا يُتَّجَهُ ذلِكَ إِنْ عُدَّ كُلٌّ مَعَ ذلِكَ قَرْيَةً مُسْتَقِلَّةً عُرْفًا.

(Cabang Masalah). Apabila sebuah desa berpenduduk 40 orang, maka bagi mereka wajib menyelenggarakan shalat Jum‘at. Bahkan menurut pendapat yang mu‘tamad, mereka haram meniadakannya di desa tersebut dan pergi melakukannya ke lain daerah , yang sekalipun ia masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari daerah lain tersebut. Imām Ibn-ur-Rif‘ah dan lainnya berkata: Jika mereka dapat mendengar panggilan shalat Jum‘at dari Mishr  maka boleh memilih antara pergi ke balad  untuk menunaikan shalat Jum‘at atau menyelenggarakannya di desanya sendiri. Apabila mereka pergi ke desa (dalam masalah di atas), maka mereka tidak bisa menyempurnakan bilangan keabsahan Jum‘at, sebab berkedudukan sebagai musāfir. Jika di desanya sendiri tidak ada golongan yang mendukung keabsahan shalat Jum‘at – sekalipun dengan memperhitungkan di antara mereka ada yang tidak mau pergi shalat Jum‘at – , maka mereka wajib menunaikan shalat Jum‘at di desa sebelahnya – , yang mereka masih mendengar panggilan shalat Jum‘at dari tempat itu. Imām Ibnu ‘Ujail berkata: Apabila ada beberapa tempat (desa) yang berdekataan, serta masing-masing mempunyai nama tersendiri, maka dihukumi sebagai tempat tersendiri. Guru kami berkata: Dihukumi seperti itu, jika masing-masing tempat tersebut berkedudukan sebagai desa tersendiri pula, menurut anggapan umum.

[فَرْعٌ]: لَوْ أَكْرَهَ السُّلْطَانُ أَهْلَ قَرْيَةٍ إِنْ يَنْتَقِلُوْا مِنْهَا وَ يَبْنُوْا فِيْ مَوْضِعٍ آخَرَ، فَسَكَنُوْا فِيْهِ وَ قَصْدُهُمُ الْعَوْدَ إِلَى الْبَلَدِ الْأَوَّلِ إِذَا فَرَّجَ اللهُ عَنْهُمْ، لَا تَلْزَمُهُمُ الْجُمْعَةُ، بَلْ لَا تَصِحُّ مِنْهُمْ، لِعَدَمِ الْاِسْتِيْطَانِ.

(Cabang Masalah). Apabila penguasa memaksa penduduk suatu desa agar berpindah dari desanya dan membangun tempat di daerah yang baru, yang kemudian tinggal di situ, tetapi mereka bermaksud untuk pulang ke tempat tinggal yang pertama, bila Allah s.w.t. telah menghilangkan kesusahannya, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at di tempat tersebut (tempat baru). Bahkan belum cukup syarat sah shalat Jum‘at bagi mereka, sebab mereka tidak mutawaththin (penduduk daerah itu).

(وَ) رَابِعُهَا: وُقُوْعُهَا (فِيْ وَقْتِ ظُهْرٍ) فَلَوْ ضَاقَ الْوَقْتُ عَنْهَا وَ عَنْ خُطْبَتيْهَا، أَوْ شَكَّ فِيْ ذلِكَ، صَلَّوْا ظُهْرًا، وَ لَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ يَقِيْنًا، أَوْ ظَنًّا، وَ هُمْ فِيْهَا، وَ لَوْ قُبَيْلَ السَّلَامَ، وَ إِنْ كَانَ ذلِكَ بِإِخْبَارِ عَدْلٍ، عَلَى الْأَوْجَهِ، وَجَبَ الظُّهْرُ، بِنَاءً عَلَى مَا مَضَى، وَ فَاتَتِ الْجُمْعَةُ، بِخِلَافِ مَا لَوْ شَكَّ فِيْ خُرُوْجِهِ، لِأَنَّ الْأَصْلَ بَقَاؤُءُ. وَ مِنْ شُرُوْطِهِمَا أَنْ لَا يَسْبِقَهَا بِتَحَرُّمٍ، وَ لَا يُقَارِنُهَا فِيْهِ جُمْعَةٌ بِمَحَلِّهَا، إِلَّا إِنْ كَثُرَ أَهْلُهُ، وَ عَسُرَ اجْتِمَاعُهُمْ بِمَكَانٍ وَاحِدٍ مِنْهُ وَ لَوْ غَيْرَ مَسْجِدٍ مِنْ غَيْرِ لُحُوْقَ مُؤْذٍ فِيْهِ، كَحَرٍّ وَ بَرْدٍ شَدِيْدَيْنِ، فَيَجُوْزُ حِيْنَئِذٍ تَعَدُّدُهَا لِلْحَاجَةِ بِحَسْبِهَا.

(4. Shalat Jum‘at diselenggarakan pada waktu Zhuhur.  Jika waktu sudah tidak mencukupi menunaikan shalat Jum‘at dan kedua khuthbahnya, atau hal tersebut masih diragukannya, maka mereka harus mengerjakan shalat Zhuhur. Jika dengan yakin atau hanya mengira waktu shalat sudah habis, sedang mereka ada di tengah-tengah mengerjakan shalat Jum‘at – sekalipun hampir saja salām, jika hal itu atas berita orang yang adil,  menurut pendapat yang aujah, maka mereka wajib meneruskan shalatnya sebagai shalat Zhuhur, dengan meneruskan apa yang sudah berlangsung, dan shalat Jum‘at sudah tertinggal. Lain halnya jika hanya mengira bahwa waktu Zhuhur sudah habis sebab pada dasarnya waktu masih ada. Termasuk syarat sah shalat Jum‘at adalah tidak didahului shalat Jum‘at dengan takbīrat-ul-iḥrām dan tidak dibarenginya shalat Jum‘at di tempat didirikannya shalat Jum‘at, kecuali jika penduduk tempat tersebut banyak dan sukar dikumpulkan jadi satu tempat – sekalipun tidak di masjid – dengan tanpa terjadi sesuatu yang menyakitkan di tempat itu, misalnya panas atau dingin sekali. Maka dalam keadaan seperti ini, boleh menyelenggarakan shalat Jum‘at di beberapa tempat itu, dengan memandang kebutuhannya.

[فَرْعٌ]: لَا يَصِحُّ ظُهْرُ مَنْ لَا عُذْرَ لَهُ قَبْلَ سَلَامِ الْإِمَامِ، فَإِنْ صَلَّاهَا جَاهِلًا انْعَقَدَتْ نَفْلًا، وَ لَوْ تَرَكَهَا أَهْلُ بَلَدٍ فَصَلُّوا الظُّهْرَ لَمْ يَصِحَّ، مَا لَم يَضِقِ الْوَقْتُ عَنْ أَقَلِّ وَاجِبِ الْخُطْبَتَيْنِ وَ الصَّلَاةِ، وَ إِنْ عَلِمَ مِنْ عَادَتِهِمْ أَنَّهُمْ لَا يُقِيْمُوْنَ الْجُمْعَةَ.

(Cabang Masalah). Orang yang tidak ber‘udzur tidaklah sah mengerjakan shalat Zhuhur sebelum imam shalat Jum‘at salām. Jika hal ini dilakukan karena tidak mengerti, maka shalat yang dilakukan menjadi shalat sunnah.  Jika semua penduduk suatu daerah hanya mengerjakan shalat Zhuhur, tanpa shalat Jum‘at, maka shalat mereka tidak sah, selagi masih ada untuk mengerjakan dua khuthbah dan shalatnya, sekalipun telah diketahui bahwa mereka pada kebiasaannya tidak mendirikan shalat Jum‘at.

(وَ) خَامِسُهَا: (وُقُوْعُهَا) أَيِ الْجُمْعَةُ، (بَعْدَ خُطْبَتَيْنِ) بَعْدَ زَوَالٍ، لِمَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ: أَنَّهُ “لَمْ يُصَلِّ الْجُمْعَةِ إِلَّا بِخُطْبَتَيْنِ” (بِأَرْكَانِهِمَا) أَيْ يُشْتَرَطُ وُقُوْعُ صَلَاةِ الْجُمْعَةِ بَعْدَ خُطْبَتَيْنِ مَعَ إِتْيَانِ أَرْكَانِهِمَا الْآتِيَةِ، (وَ هِيَ) خَمْسَةٌ أَحَدُهَا: (حَمْدُ اللهِ تَعَالَى). (وَ) ثَانِيْهَا: (صَلَاةٌ عَلَى النَّبِيِّ) (بِلَفْظِهِمَا): أَيْ حَمْدُ اللهِ وَ الصَّلَاةُ عَلَى رَسُوْلَ اللهِ، كَالْحَمْدُ للهِ، أَوْ أَحْمَدُ اللهَ، فَلَا يَكْفِيْ: الشُّكْرُ للهِ، أَوِ الثَّنَاءُ للهِ، وَ لَا: الْحَمْدُ لِلرَّحْمنِ، أَوْ لِلرَّحِيْمِ، وَ كَاللَّهُمَّ صَلِّ (عَلَى مُحَمَّدٍ)، أَوْ صَلَّى الله (عَلَى مُحَمَّدٍ)، أَوْ أُصَلِّيْ عَلَى مُحَمَّدٍ، أَوْ (عَلَى) أَحْمَدٍ، أَوِ (عَلَى) الرَّسُوْلِ، أَوِ (عَلَى) النَّبِيِّ أَوِ (عَلَى) الْحَاشِرِ أَوْ نَحْوِهِ فَلَا يَكْفِيْ: اَللَّهُمَّ سَلَّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ ارْحَمْ مُحَمَّدًا، وَ لَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ، بِالضَّمِيْرِ. وَ إِنْ تَقَدَّمَ لَهُ ذِكْرٌ يَرْجَعُ إِلَيْهِ الضَّمِيْرُ، كَمَا صَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ مُحَقِّقُوْنَ. وَ قَالَ الْكَمَالُ الدُّمَيْرِيْ: وَ كَثِيْرًا مَا يَسْهُو الْخُطَبَاءُ فِيْ ذلِكَ. انْتَهَى. فَلَا تَغْتَرُّ بِمَا تَجِدْهُ مَسْطُوْرًا فِيْ بَعْضِ الْخُطَبِ النَّبَاتِيَّةِ عَلَى خِلَافِ مَا عَلَيْهِ مُحَقِّقُوْنَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ.

(5. Shalat Jum‘at diselenggarakan setelah dua khuthbah yang dikerjakan sesudah tergelincir matahari, berdasarkan hadits Imām Bukhārī-Muslim bahwa Rasūlullāh s.a.w. shalat Jum‘at selalu setelah dua khuthbah. Maksudnya, shalat Jum‘at tersebut diselenggarakan setelah dua khuthbah beserta rukun-rukunnya yang akan dituturkan di bawah ini.

Rukun khuthbah shalat Jum‘at ada lima perkara:

(1. Memuji kepada Allah s.w.t.

(2. Membaca shalawat kepada baginda Nabi s.a.w., dengan menggunakan kedua lafazhnya. Maksudnya dengan lafazh pujian kepada Allah dan shalawat kepada Nabi. Untuk pujian kepada Allah seperti: (الْحَمْدُ للهِ) atau (أَحْمَدُ اللهَ) tidak cukup lafazh (الشُّكْرُ للهِ) atau (الثَّنَاءُ للهِ) dan tidak cukup pula lafazh (الْحَمْدُ لِلرَّحْمنِ) atau (الْحَمْدُ لِلرَّحِيْمِ). Sedang lafazh shalawat seperti: (اللَّهُمَّ صَلِّ (عَلَى مُحَمَّدٍ)), (صَلَّى الله (عَلَى مُحَمَّدٍ)), (أُصَلِّيْ عَلَى مُحَمَّدٍ) atau ((عَلَىأَحْمَدٍ), ((عَلَى)الرَّسُوْلِ), ((عَلَىالنَّبِيِّ), ((عَلَىالْحَاشِرِ) dan nama Nabi s.a.w. yang lain. Tidak cukup lafazh: (اَللَّهُمَّ سَلَّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ ارْحَمْ مُحَمَّدًا) dan juga tidak cukup lafazh: (وَ لَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ) dengan menggunakan dhamīr (kata gantinama) sekalipun tempat kembali dhamīr sebelumnya sudah disebutkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh segolongan ‘ulamā’ muḥaqqiqūn. Imām al-Kamāl ad-Damīrī berkata: Banyak sekali para khathīb yang melupakan hal itu (yaitu membaca shalawat hanya menggunakan Isim Dhamīr). – Selesai – . Karena itu anda janganlah tertipu dengan penggunaan isim dhamīr dalam pembacaan shalawat di sebagian khuthbah-khuthbah yang diterbitkan yang berbeda dengan pendapat ‘ulamā’ muḥaqqiqūn kurun akhir.

(وَ) ثَالِثُهَا: (وَصِيَّةٌ بِتَقْوَى اللهِ) وَ لَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا وَ لَا تَطْوِيْلُهَا، بَلْ يَكْفِيْ نَحْوُ أَطِيْعُوا اللهَ مِمَّا فِيْهِ حَثَّ عَلَى طَاعَةِ اللهِ، أَوْ زَجْرٌ عَنْ مَعْصِيَةٍ، لِأَنَّهَا الْمَقْصُوْدُ مِنَ الْخُطْبَةِ، فَلَا يَكْفِيْ مُجَرَّدُ التَّحْذِيْرِ مِنْ غُرُوْرِ الدُّنْيَا، وَ ذِكْرِ الْمَوْتِ وَ مَا فِيْهِ مِنَ الْفَظَاعَةِ وَ الْأَلِمِ. قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ: يَكْفِيْ فِيْهَا مَا اشْتَمَلَتْ عَلَى الْأَمْرِ بِالْاِسْتِعْدَادِ لِلْمَوْتِ. وَ يُشْتَرَطُ أَنْ يَأْتِيْ بِكُلٍّ مِنَ الْأَرْكَانِ الثَّلَاثَةِ (فِيْهِمَا)، أَيْ فِيْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنَ الْخُطْبَتَيْنِ. وَ يُنْدَبُ أَنْ يُرَتَّبَ الْخَطِيْبُ الْأَرْكَانَ الثَّلَاثَةِ، وَ مَا بَعْدَهَا، بِأَنْ يَأْتيَ أَوَّلًا بِالْحَمْدِ، فَالصَّلَاةِ، فَالْوَصِيَةِ، فَبِالْقِرَاءَةِ، فَبِالدُّعَاءِ. (وَ) رَابِعُهَا: (قِرَاءَةُ آيَةٍ) مُفْهِمَةٍ (فِيْ إِحْدَاهُمَا)، وَ فِي الْأُوْلَى أَوْلَى. وَ تُسَنُّ بَعْدَ فِرَاغِهَا قِرَاءَةُ “ق” أَوْ بَعْضُهَا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ، لِلْاِتِّبَاعِ.

(3. Wasiat taqwā kepada Allah. Kata-kata dan panjangnya tidak ditentukan, namun cukuplah dengan mengucapkan semisal kalimat yang mengandung anjuran untuk taat kepada Allah atau larangan mendurhakai-Nya. Karena wasiat itulah maksud diadakan khuthbah. Maka tidaklah cukup hanya menakut-nakuti dari bujukan dunia, mengingat kematian, ketidak-enakan dan kesakitan sesudah mati. Imām Ibnu Rif‘ah berkata: Wasiat cukup dengan kalimat yang mengandung perintah agar bersiap-siap menyambut kematian. Ketiga rukun di atas disyaratkan harus dibaca pada masing-masing dua khuthbah Jum‘at. Sunnah bagi seorang khathīb agar menertibkan  dalam mengerjakan ketiga rukun tersebut dan rukun-rukun setelahnya dengan membaca ḥamdalah, shalawat, wasiat, membaca al-Qur’ān, lalu membaca doa.

(4. Membaca ayat yang memberi kepahaman, pada salah satu dari dua khuthbah. Yang lebih utama adalah dibaca pada khuthbah pertama.

Sunnah setiap hari Jum‘at membaca surat Qāf, atau sebagian dari surat itu setelah shalat Jum‘at sebab mengikuti kepada Rasūl.

(وَ) خَامِسُهَا: (دُعَاءٌ) أُخْرَوِيٌّ لِلْمُؤْمِنِيْنَ إِنْ لَمْ يَتَعَرَّضْ لِلْمُؤْمِنَاتِ، خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ، (وَ لَوْ) بِقَوْلِهِ: (رَحِمَكُمُ اللهُ)، وَ كَذَا بِنَحْوِ: اَللَّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ النَّارِ إِنْ قَصَدَ تَخْصِيْصَ الْحَاضِرِيْنَ (فِيْ) خُطْبَةٍ (ثَانِيَةٍ) لِاِتِّبَاعِ السَّلَفِ وَ الْخَلَفِ. وَ الدُّعَاءُ لِلسُّلْطَانِ بِخُصُوْصِهِ لَا يُسَنُّ اتِّفَاقًا، إِلَّا مَعَ خَشْيَةِ فِتْنَةٍ، فَيَجِبُ، وَ مَعَ عَدَمِهَا لَا بَأْسَ بِهِ، حَيْثُ لَا مُجَازَفَةَ فِيْ وَصْفِهِ، وَ لَا يَجُوْزُ وَصْفُهُ بِصِفَةٍ كَاذِبَةٍ إِلَّا لِضَرُوْرَةٍ. وَ يُسَنُّ الدُّعَاءُ لِوُلَاةِ الصَّحَابَةِ قَطْعًا، وَ كَذَا لِوُلَاةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَ جُيُوْشِهِمْ، بِالصَّلَاحِ، (وَ النَّصْرِ)، وَ الْقِيَامِ بِالْعَدْلِ. وَ ذِكْرُ الْمَنَاقِبِ لَا يَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ، مَا لَمْ يُعَدْ بِهِ مُعْرِضًا عَنِ الْخُطْبَةِ. وَ فِي التَّوَسُّطِ يُشْتَرَطُ أَنْ لَا يُطِيْلَهُ إِطَالَةَ تَقْطَعُ الْمُوَالَاةَ، كَمَا يَفْعَلَهُ كَثِيْرٌ مِنَ الْخُطَبَاءِ الْجُهَّالِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ لَوْ شَكَّ فِيْ تَرْكِ فَرْضِ مِنَ الْخُطْبَةِ بَعْدَ فِرَاغِهَا لَمْ يُؤْثَرْ كَمَا لَا يُؤْثِرُ الشَّكُّ فِيْ تَرْكِ فَرْضٍ بَعْدَ الصَّلَاةِ، أَوِ الْوُضُوْءِ.

(5. Doa masalah akhirat  untuk orang-orang mu’min. Doa telah sah, sekalipun tidak menyebutkan mu’mināt (wanita-wanita mu’min),  lain halnya dengan pendapat Imām al-Adzra‘ī. Sah juga, sekalipun hanya dengan mengucapkan: (رَحِمَكُمُ اللهُ) – Semoga Allah merahmati kalian semua – , demikian pula dengan ucapan: (اَللَّهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ النَّارِ) – Ya Allah, selamatkan kami dari panas api neraka -, jika memang yang dimaksudkan dengan “kita” adalah hadirin sekalian. Doa tersebut harus dibaca pada khuthbah kedua, sebagai tindak mengikuti ‘ulamā’ salaf dan khalaf.  Doa khusus untuk penguasa, ‘ulamā’ sepakat tidak disunnahkan. Kecuali jika khawatir akan terjadi fitnah, maka doa untuk penguasa wajib dikerjakannya. Kalau tidak khawatir akan terjadi fitnah, maka mengerjakannya tidaklah mengapa, selama tidak berlebih-lebihan dalam menyebut sifat penguasa. Tidak boleh menyebutkan sifat penguasa yang tidak semestinya, kecuali jika terpaksa harus begitu. Sunnah berdoa untuk para penguasa dari golongan sahabat Nabi s.a.w. secara pasti, begitu juga doa untuk penguasa Muslim dan tentaranya, dengan dipanjatkan kemaslahatan, pertolongan, dan berlaku adil. Menyebutkan cerita kebaikan-kebaikan penguasa tidaklah memutus sambung-menyambung khuthbah,  selama penyebutan itu tidak dianggap berpaling dari khuthbah.  Dalam kitab at-Tawāsuth disebutkan: Disyaratkan agar tidak memperpanjang khuthbah yang sampai dapat memutus sambung-menyambungnya sebagaimana yang banyak dilakukan oleh khathib-khathib yang bodoh. Guru kami berkata: Apabila telah selesai khuthbah merasa ragu tentang meninggalkan rukunnya, maka tidak berpengaruh atas keabsahan khuthbah, sebagaimana tidak adanya pengaruh jika setelah shalat atau wudhū’ meragukan meninggalkan fardhunya.

(وَ شُرِطَ فِيْهِمَا)، الْخُطْبَتَيْنِ، (إِسْمَاعُ أَرْبَعِيْنَ) أَيْ تِسْعَةٍ وَ ثَلَاثِيْنَ سِوَاهُ، مِمَّنْ تَنْعَقِدُ بِهِمُ الْجُمْعَةُ (الْأَرْكَانَ) لَا جَمِيْعَ الْخُطْبَةِ. قَالَ شَيْخُنَا: لَا تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى أَرْبَعِيْنَ بَعْضُهُم أَصَمَّ، وَ لَا تَصِحُّ مَعَ وُجُوْدِ لَغَطٍ يَمْنَعُ سِمَاعَ رُكْنِ الْخُطْبَةِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ فِيْهِمَا، وَ إِنْ خَالَفَ فِيْهِ جَمْعٌ كَثِيْرُوْنَ، فَلَمْ يَشْتَرِطُوْا إِلَّا الْحُضُوْرَ فَقَطْ. وَ عَلَيْهِ يَدُلُّ كَلَامُ الشَّيْخَيْنِ فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ، وَ لَا يُشْتَرَطُ كَوْنُهُم بِمَحَلِّ الصَّلَاةِ، وَ لَا فَهْمُهُم لِمَا يَسْمَعُوْنَهُ. (وَ) شُرِطَ فِيْهِمَا (عَرَبِيَّةً) لِاِتِّبَاعِ السَّلَفِ وَ الْخَلَفِ. وَ فَائِدَتُهَا بِالْعَرَبِيَّةِ مَعَ عَدَمِ مَعْرِفَتِهِمْ لَهَا الْعِلْمُ بِالْوَعْظِ فِي الْجُمْلَةِ. قَالَهُ الْقَاضِيْ. وَ إِنْ لَمْ يُمْكِنْ تَعَلُّمُهَا بِالْعَرَبِيَّةِ قَبْلَ ضِيْقِ الْوَقْتِ خَطَبَ مِنْهُمْ وَاحِدٌ بِلِسَانِهِمْ، وَ إِنْ أَمْكَنَ تَعَلُّمُهَا وَجَبَ كُلٌّ عَلَى الْكِفَايَةِ، (وَ قِيَامُ قَادِرٍ عَلَيْهِ، وَ طُهْرٌ) مِنْ حَدَثٍ أَكْبَرٍ وَ أَصْغَرٍ، وَ عَنْ نَجَسٍ غَيْرَ مَعْفُوٍ عَنْهُ، فِيْ ثَوْبِهِ، وَ بَدَنِهِ، وَ مَكَانِهِ. (وَ سَتْرٌ) لِلْعَوْرَةِ. (وَ) شُرِطَ (جُلُوْسٌ بَيْنَهُمَا) بِطُمَأْنِيْنَةٍ فِيْهِ، وَ سُنَّ أَنْ يَكُوْنَ بِقَدْرِ سُوْرَةِ الْإِخْلَاصِ، وَ أَنْ يَقْرَأَهَا فِيْهِ. وَ مَنْ خَطَبَ قَاعِدًا لِعُذْرٍ فَصَلَ بَيْنُهُمَا بِسَكْتَةٍ وُجُوْبًا. وَ فِي الْجَوَاهِرِ: لَوْ لَمْ يَجْلِسْ حُسِبَتَا وَاحِدَةً، فَيَجْلِسُ وَ يَأْتِيْ بِثَالِثَةٍ. (وَ وِلَاءٌ) بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ أَرْكَانِهِمَا وَ بَيْنَهُمَا وَ بَيْنَ الصَّلَاةِ، بِأَنْ لَا يَفْصِلَ طَوِيْلًا عُرْفًا. وَ سَيَأْتِيْ أَنَّ اخْتِلَالَ الْمُوَالَاةِ بَيْنَ الْمَجْمُوْعَتَيْنِ بِفِعْلِ رَكْعَتَيْنِ، بَلْ بِأَقَلِّ مُجْزِىءٍ، فَلَا يَبْعُدُ الضَّبْطَ بِهذَا هُنَا، وَ يَكُوْنُ بَيَانًا لِلْعُرْفِ.


Disyaratkan dalam dua khuthbah:

(1. Terdengar oleh 40 orang.  Maksudnya oleh 39 orang selain seorang khathīb, yang kesemuanya adalah orang-orang yang mengesahkan shalat Jum‘at. Yang harus terdengar tersebut adalah rukun-rukun khuthbah, bukan seluruh isi khuthbah. Guru kami berkata: Tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at bagi 40 orang yang sebagiannya ada yang buta. Shalat Jum‘at tidak sah jika terjadi suara bising yang dapat membuat rukun khuthbah tidak terdengar, menurut pendapat yang mu‘tamad. Sekalipun pendapat tersebut ditentang oleh segolongan ‘ulamā’ yang hanya mensyaratkan menghadiri khuthbah saja. sebagaimana yang ditunjukkan oleh ucapan dua guru kami (Imām Rāfi‘ī dan Nawawī) pada beberapa tempat, maka tidak disyaratkan 40 orang itu harus berada di tempat shalat dan tidak harus memahami apa yang mereka dengar 

(2. Dua khuthbah disyaratkan harus dengan berbahasa ‘Arab untuk mengikuti ‘ulamā’ salaf dan khalaf. Fā’idah khuthbah harus berbahasa ‘Arab – padahal hadirin tidak faham -, adalah agar mereka mengerti secara garis besar bahwa apa yang dikhuthbahkan adalah nasihat, demikianlah menurut yang dikatakan oleh Imām al-Qādhī Ḥusain. Jika tidak memungkinkan mempelajari khuthbah dengan bahasa ‘Arab, – padahal waktu sudah mendesak – , maka salah seorang dari mereka harus berkhuthbah dalam bahasa daerah yang bersangkutan. Jika mereka mungkin untuk mempelajari khuthbah berbahasa ‘Arab, maka bagi mereka hukumnya fardhu kifāyah untuk mempelajarinya.

(3. Khathīb yang mampu berdiri harus berdiri.

(4. Suci dari hadats besar dan kecil serta suci dari najis yang tidak di-ma‘fu (tidak dimaafkan) pada pakaian, badan dan tempat shalat.

(5. Menutup aurat. 

(6. Duduk di antara dua khuthbah dengan thuma’ninah. Sunnah duduk ini dilakukan seukuran membaca surat al-Ikhlāsh, dan sunnah membacanya. Bagi khathīb yang berkhuthbah dengan duduk karena ‘udzur, maka dia wajib memisah dua khuthbah dengan diam sebentar. Tersebut dalam kitab al-Jawāhir. Apabila antara dua khuthbah khathib tidak duduk, maka dua khuthbahnya dihitung satu khuthbah. Karena itu, ia harus duduk lagi dan meneruskan khuthbah yang ketiga.

(7. Sambung-menyambung antara dua khuthbah, antara rukun-rukunnya, dan antara dua khuthbah dengan shalat dengan tidak terpisah terlalu panjang  menurut ukuran umum. Dalam keterangan yang akan datang, bahwa hilangnya muwālah (sambung-menyambung) antara dua raka‘at yang dijama‘ adalah dengan melakukan dua raka‘at, bahkan dengan dua raka‘at yang sudah mencukupi keabsahan shalat. Batasaan tersebut tidaklah jauh untuk diterapkan pada masalah muwālah dua khuthbah di sini, maka hal itu menjadi keterangan mengenai “ukuran umum”.


(وَ سُنَّ لِمُرِيْدِهَا) أَيِ الْجُمْعَةِ، وَ إِنْ لَمْ تَلْزَمْهُ، (غُسْلٌ) بِتَعْمِيْمِ الْبَدَنِ وَ الرَّأْسِ بِالْمَاءِ، فَإِنْ عَجَزَ، سُنَّ تَيَمُّمٌ بِنِيَّةِ الْغُسْلِ، (بَعْدَ) طُلُوْعِ (فَجْرٍ). وَ يَنْبَغِيْ لِصَائِمٍ خَشِيَ مِنْهُ مُفْطِرًا تَرْكُهُ، وَ كَذَا سَائِرُ الْأَغْسَالِ الْمَسْنُوْنَةِ، وَ قُرْبُهُ مِنْ ذِهَابِهِ إِلَيْهَا أَفْضَلُ. وَ لَوْ تَعَارَضَ الْغُسْلُ وَ التَّبْكِيْرُ، فَمُرَاعَاةُ الْغُسْلِ أَوْلَى، لِلْخِلَافِ فِيْ وُجُوْبِهِ، وَ مِنْ ثَمَّ كُرِهَ تَرْكُهُ. وَ مِنَ الْأَغْسَالِ الْمَسْنُوْنَةِ: غَسْلُ الْعِيْدَيْنِ، وَ الْكُسُوْفَيْنِ، وَ الْاِسْتِسْقَاءِ، وَ أَغْسَالُ الْحَجِّ، وَ غَسْلُ غَاسِلِ الْمَيِّتِ، وَ الْغُسْلُ لِلْاِعْتِكَافِ، وَ لِكُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، وَ لِحِجَامَةٍ، وَ لِتَغَيُّرِ الْجَسَدِ، وَ غُسْلُ الْكَافِرِ إِذَا أَسْلَمَ لِلْأَمْرِ بِهِ وَ لَمْ يَجِبْ، لِأَنَّ كَثِيْرِيْنَ أَسْلَمُوْا وَ لَمْ يُؤْمَرُوْا بِهِ. وَ هذَا إِذَا لَمْ يَعْرِضْ لَهُ فِي الْكُفْرِ مَا يُوْجِبُ الْغُسْلَ  مِنْ جَنَابَةٍ أَوْ نَحْوِهَا وَ إِلَّا وَجَبَ الْغُسْلُ. وَ إِنِ اغْتَسَلَ فِي الْكُفْرِ، لِبُطْلَانِ نِيَّتِهِ. وَ آكِدُهَا غُسْلُ الْجُمْعَةِ ثُمَّ مِنْ غُسْلِ الْمَيِّتِ.

Kesunnahan bagi orang yang akan menghadiri shalat Jum‘at, sekalipun ia tidak wajib menghadirinya adalah:

(1. Mandi, yaitu meratakan air ke seluruh badan dan kepala. Jika tidak dapat mandi, maka sunnah bertayammum dengan niat mandi. Waktu mandi adalah setelah terbit fajar. Wajib bagi orang yang berpuasa jika dia khawatir puasanya batal agar tidak usah mandi Jum‘at. Begitu juga dalam hal mandi-mandi sunnah. Mandi yang dikerjakan dekat dengan waktu pergi shalat Jum‘at lebih utama. Jika terjadi pertentangan antara mandi dahulu dengan berangkat shalat Jum‘at pagi-pagi, maka yang lebih utama adalah mandi lebih dahulu, sebab menghindari perselisihan ‘ulamā’ yang menghukumi wājib mandi Jum‘at. Dari segi ini, meninggalkan mandi hukumnya adalah makrūh. Termasuk mandi-mandi sunnah adalah mandi dua hari raya, gerhana matahari atau bulan, istisqā’, mandi-mandi sunnah di waktu ber‘ibādah haji, setelah memandikan mayat, akan i‘tikāf, di setiap malam bulan Ramadhān, setela berbekam, di kala badan berbau tidak sedap dan orang kafir manakala masuk Islam, karena ada perintah melakukannya dari Nabi, namun tidak diwajibkan mandi, karena banyak sekali orang-orang kafir masuk Islam, mereka (oleh Nabi s.a.w.) tidak diperintahkan mandi. Hal ini jika memang di kala kafir tidak melakukan perkara yang mewajibkan mandi, misalnya janabah atau lain-lainnya. Jika di kala kafir terjadi hal seperti itu, maka mandi baginya adalah wajib, sekalipun di kala kafir ia sudah mandi, sebab niatnya dianggap batal. Di antara mandi-mandi di atas, yang paling kuat kesunnahannya adalah mandi Jum‘at, lalu mandi setelah memandikan mayat.

[تَنْبِيْهٌ]: قَالَ شَيْخُنَا: يُسَنُّ قَضَاءً غُسْلِ الْجُمْعَةِ كَسَائِرِ الْأَغْسَالِ الْمَسْنُوْنَةِ وَ إِنَّمَا طُلِبَ قَضَاؤُهُ لِأَنَّهُ إِذَا عَلمَ أَنَّهُ يُقْضَى دَاوَمَ عَلَى أَدَائِهِ، وَ اجتَنَبَ تَفْوِيْتَهُ.

(Peringatan). Guru kami berkata: Sunnah hukumnya mengqadhā’ mandi Jum‘at dan mandi-mandi lainnya. Kesunnahan mengqadhā’nya hanyalah jikalau ia mengerti kalau meninggalkan diperintahkan mengqadhā’, maka ia akan terus mengerjakannya dan menjauhi dari mengabaikannya.

(وَ بُكُوْرٌ) لِغَيْرِ خَطِيْبٍ إِلَى الْمُصَلَّى مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ، لِمَا فِي الْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: “إِنَّ لِلْجَائِيْ بَعْدَ اغتِسَالِهِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ أَيْ كَغُسْلِهَا، وَ قِيْلَ حَقِيْقَةً بِأَنْ يَكُوْنَ جَامِعٌ، لِأَنَّهُ يُسَنُّ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَوْ يَوْمَهَا فِي السَّاعَةِ الْأُوْلىَ بَدَنَةً، وَ فِي الثَّانِيَةِ: بَقَرَةً، وَ فِي الثَّالِثَةِ: كَبْشًا أَقْرَنَ، وَ الرَّابِعَةِ: دَجَاجَةً، وَ الْخَامِسَةِ: عُصْفُوْرًا، وَ السَّادِسَةِ: بَيْضَةً”. وَ الْمُرَادُ أَنَّ مَا بَيْنَ الْفَجْرِ وَ خُرُوْجِ الْخَطِيْبِ يَنْقَسِمُ سِتَّةَ أَجْزَاءٍ مُتَسَاوِيَةٍ، سَوَاءٌ أَطَالَ الْيَوْمُ، أَمْ قَصُرَ. أَمَّا الْإِمَامُ فَيُسَنُّ لَهُ التَّأْخِيْرُ إِلَى وَقْتِ الْخُطْبَةِ، لِلْاِتِّبَاعِ. وَ يُسَنُّ الذَّهَابُ إِلَى الْمُصَلَّى فِيْ طَرِيْقٍ طَوِيْلٍ، مَاشِيًا بِسَكِيْنَةٍ، وَ الرُّجُوْعَ فِيْ طَرِيْقٍ آخَرَ قَصِيْرٍ، وَ كَذَا فِيْ كُلِّ عِبَادَةٍ. وَ يُكْرَهُ عَدْوٌ إِلَيْهَا، كَسَائِرِ الْعِبَادَاتِ، إِلَّا لِضِيْقِ وَقْتٍ، فَيَجِبُ، إِذَا لَمْ يُدْرِكْهَا إِلَّا بِهِ.

(2. Berangkat shalat Jum‘at pagi-pagi bagi selain khathīb, yaitu setelah terbit fajar.  Berdasarkan hadits Bukhārī-Muslim, bahwa: Sesungguhnya orang yang berangkat shalat Jum‘at setelah mandi janābah – maksudnya seperti mandi janābah, pendapat lain yang mengatakan: benar-benar mandi janābah setelah bersetubuh sebab bersetubuh di malam atau hari Jum‘at, hukumnya sunnah – apabila pergi shalat Jum‘at pada waktu pertama, maka mendapat pahala sebesar seekor unta, waktu kedua sebesar sapi, waktu ketiga sebesar kambing kibasy yang bertanduk, waktu keempat sebesar jago, waktu kelima sebesar burung emprit, waktu keenam sebesar butir telor.  Yang dimaksudkan dengan waktu-waktu tersebut adalah bahwa waktu antara terbit fajar hingga khathīb keluar dari rumah itu dibagi menjadi enam bagian yang sama, baik di kala hari itu panjang ataupun pendek. Sedangkan untuk imam disunnahkan untuk mengakhirkan kedatangannya pada waktu khuthbah sebab mengikuti Nabi s.a.w. Sunnah pergi ke tempat shalat melewati jurusan jalan yang jauh  dengan berjalan kaki dan tenang, kemudian pulangnya lewat jalan lain yang lebih dekat.  Hal ini pula berlaku untuk ‘ibādah-‘ibādah yang lain. Hukumnya makruh berlari waktu pergi shalat Jum‘at dan juga ‘ibādah-‘ibādah lainnya, kecuali waktu telah mendesak, maka wajib berlari, kalau tidak demikian akan tertinggal.

(وَ تَزَيُّنٌ بِأَحْسَنِ ثِيَابِهِ) وَ أَفْضَلُهَا الْأَبْيَضُ، وَ يَلِي الْأَبْيَضُ مَا صُبِغَ قَبْلَ نَسْجِهِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ يُكْرَهُ مَا صُبِغَ بَعْدَهُ، وَ لَوْ بِغَيْرِ الْحُمْرَةِ. إِهـــ. وَ يُحْرَمُ التَّزَيُّنِ بِالْحَرِيْرِ، وَ لَوْ قَزًّا، وَ هُوَ نَوْعٌ مِنْهُ كَمَدِّ اللَّوْنِ، وَ مَا أَكْثَرُهُ وَزْنًا مِنَ الْحَرِيْرِ، لَا مَا أَقَلُّهُ مِنْهُ، وَ لَا مَا اسْتَوَى فِيْهِ الْأَمْرَانِ. وَ لَوْ شَكَّ فِي الْأَكْثَرِ، فَالْأَصْلُ الْحِلُّ، عَلَى الْأَوْجَهِ.

(3. Berhias diri dengan memakai pakaian yang paling bagus. Yang paling utama adalah pakaian putih.  Sedangkan tingkatan di bawahnya adalah pakaian yang pewarnaannya sebelum di tenun. (Dalam hal ini), guru kami berkata: Makrūh memakai pakaian yang yang pewarnaannya (pencelupannya) sesudah di tenun, sekalipun tidak dengan warna merah. Haram memakai pakaian dari sutera, sekalipun sutera kasar yaitu jenis sutera berwarna kelabu, dan memakai pakaian yang kadar suteranya lebih banyak dari segi timbangannya, bukan tampaknya. Tidak haram jika kadar sutera lebih sedikit, atau yang sama banyaknya. Apabila diragukan tentang lebih banyak suterannya, maka asal hukumnya adalah halal dipakai menurut pendapat yang aujah. 

[فَرْعٌ]: يَحِلُّ الْحَرِيْرُ لِقِتَالٍ، إِنْ لَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ، أَوْ لَمْ يَقُمْ مُقَامَهُ فِيْ دَفْعِ السِّلَاحِ. وَ صَحَّحَ فِي الْكِفَايَةِ قَوْلُ جَمْعٍ: يَجُوْزُ الْقُبَاءُ وَ غَيْرُهُ مِمَّا يَصْلُحُ لِلْقِتَالِ وَ إِنْ وُجِدَ غَيْرُهُ، إِرْهًابًا لِلْكُفَّارِ، كَتَحْلِيَةِ السَّيْفِ بِفِضَّةٍ. وَ لِحَاجَةٍ كَجَرَبٍ إِنْ آذَاهُ غَيْرُهُ، أَوْ كَانَ فِيْهِ نَفْعٌ لَا يُوْجَدُ فِيْ غَيْرِهِ، وَ قَمَلٌ لَمْ يَنْدَفِعْ بِغَيْرِهِ، وَ لِاِمْرَأَةٍ وَ لَوْ بِاِفْتِرَاشٍ، لَا لَهُ، بِلَا حَائِلٍ. وَ يَحِلُّ مِنْهُ حَتَّى لِلرَّجُلِ خَيْطُ السُّبْحَةِ، وَ زَرُّ الْجَيْبِ، وَ كَيْسُ الْمُصْحَفِ وَ الدَّرَاهِمِ، وَ غِطَاءُ الْعِمَامَةِ، وَ عَلَمُ الرُّمْحِ لَا الشَّرَابَةُ الَّتِيْ بِرَأْسِ السُّبْحَةِ. وَ يَجِبُ لِرَجُلٍ لَبِسَهُ حَيْثُ لَمْ يَجِدْ سَاتِرُ الْعَوْرَةِ غَيْرَهُ، حَتَّى فِي الْخَلْوَةِ. وَ يَجُوْزُ لَبْسُ الثَّوْبِ الْمَصْبُوْغِ بِأَيِّ لَوْنٍ كَانَ، إِلَّا الْمُزَعْفَرَ. وَ لَبْسُ الثَّوْبِ الْمُتَنَجِّسِ فِيْ غَيْرِ نَحْوِ الصَّلَاةِ، حَيْثُ لَا رُطُوْبَةَ، لَا جِلْدُ مَيْتَةٍ، بِلَا ضَرُوْرَةٍ، كَافْتِرَاشِ جِلْدِ سَبُعٍ كَأَسَدٍ، وَ لَهُ إِطْعَامُ مَيْتَةٍ لِنَحْوِ طَيْرٍ، لَا كَافِرٍ، وَ مُتَنَجَّسٍ لِدَابَّةٍ، وَ يَحِلُّ مَعَ الْكَرَاهَةِ، اِسْتِعْمَالُ الْعَاجِ فِي الرَّأْسِ وَ اللِّحْيَةِ حَيْثُ لَا رُطُوْبَةَ، وَ إِسْرَاجٌ بِمُتَنَجَّسٍ بِغَيْرِ مُغَلَّظٍ إِلَّا فِيْ مَسْجِدٍ، وَ إِنْ قَلَّ دُخَانُهُ خِلَافًا لِجَمْعٍ. وَ تَسْمِيْدُ أَرْضٍ بِنَجَسٍ، لَا اقْتِنَاءُ كَلْبٍ إِلَّا لِصَيْدٍ أَوْ حِفْظِ مَالٍ وَ يُكْرَهُ وَ لَوْ لِاِمْرَأَةٍ تَزْيِيْنُ غَيْرِ الْكَعْبَةِ، كَمَشْهَدِ صَالِحٍ بِغَيْرِ حَرِيْرٍ، وَ يَحْرُمُ بِهِ.

(Cabang Masalah). Halal memakai sutra untuk berperang, jika tidak ada pakaian yang lain, atau tidak ada penggantinya sebagai penolang pedang. Imām Ibn-ur-Rif‘ah dalam kitab kitab Kifāyah membenarkan pendapat segolongan ‘ulamā’ yang memperbolehkan memakai baju kurung atau lainnya dari sutra yang patut untuk berperang, sekalipun masih ada yang bukan sutra, karena untuk menggentarkan orang-orang kafir, sebagaimana diperbolehkannya menghiasi pedang dengan perak atau memakai sutra karena suatu kebutuhan, misal gatal-gatal, di mana memakai selain sutra terasa sakit, atau pada sutra itu justru terdapat kemanfaatan yang tidak dapat ditemukan pada lainnya atau kutu seperti banyak kutunya yang tidak dapat diberantas dengan selain sutra dan boleh digunakan oleh wanita, sekalipun untuk alas, namun tidak halal untuk alas orang laki-laki tanpa ada pemisahnya. Halal bagi laki-laki untuk menggunakan sutra untuk tali tasbīḥ, kancing baju, kantong mushḥaf atau tempat dirham (uang), tutup serban atau bendera di ujung tombak. Tidak halal untuk kuncung dipucuk tasbīḥ. Wajib bagi laki-laki memakai sutra untuk menutup aurat, jika tidak ada yang lainnya, sekalipun di tempat sepi. Boleh memakai pakaian yang dicelup dengan warna apapun kecuali yang dicelup dengan za‘farān.  Juga boleh memakai pakaian najis di luar shalat, asal tidak basah. Tidak boleh memakai kulit bangkai tanpa ada darurat, sebagaimana tidak boleh beralas dengan kulit binatang buas, misalnya singa. Boleh memberi makan semisal burung, bukan kepada orang kafir, dengan makanan bangkai, begitu juga memberi makan pada ternak dengan makanan yang terkena najis. Halal, namun makrūh memakai gading gajah yang tidak basah di atas kepala dan pada jenggot,  membuat penerangan dengang benda najis yang bukan najis mughallazhah selain di masjid, sekalipun hanya sedikit asapnya, lain halnya dengan pendapat segolongan ‘ulamā’. Begitu juga (halal) merabuk tanah dengan najis. Tidak halal memelihara anjing selain bertujuan untuk berburu atau menjaga keamanan harta benda. Makrūh, sekalipun bagi wanita, menghiasi selain Ka‘bah, misalnya makam (maqām) orang yang shāliḥ dengan kain selain sutra, kalau dengan sutra hukumnya adalah haram.

(وَ تَعَمُّمٌ) لِخَبَرِ: “إِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتُهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى أَصْحَابِ الْعَمَائِمِ يَوْمَ الْجُمْعَةِ”، وَ يُسَنُّ لِسَائِرِ الصَّلَوَاتِ. وَ وُرِدَ فِيْ حَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ مَا يَدُلُّ عَلَى أَفْضَلِيَّةِ كِبَرِهَا. وَ يَنْبَغِيْ ضَبْطُ طُوْلِهَا وَ عَرْضِهَا بِمَا يَلِيْقُ بِلَابِسِهَا عَادَةً، فِيْ زَمَانِهِ، فَإِنْ زَادَ فِيْهَا عَلَى ذلِكَ كُرِهَ، وَ تَنْخَرِمُ مُرُوْأَةُ فَقِيْهٍ بِلِبْسِ عِمَامَةٍ سُوْقِيٍّ لَا تَلِيْقُ بِهِ، وَ عَكَسُهُ. قَالَ الْحُفَّاظُ: لَمْ يَتَحَرَّرْ شَيْءٌ فِيْ طُوْلِ عَمَامَتِهِ وَ عَرْضِهَا. قَالَ الشَّيْخَانِ: مَنْ تَعَمَّمَ فَلَهُ فِعْلُ الْعَذْبَةِ، وَ تَرْكُهَا، وَ لَا كَرَاهَةَ فِيْ وَاحِدٍ مِنْهُمَا. زَادَ النَّوَوِيُّ: لِأَنَّهُ لَمْ يَصِحَّ فِي النَّهْيِ عَنْ تَرْكِ الْعَذْبَةِ شَيْءٌ. اِنْتَهَى. لكِنْ قَدْ وَرَدَ فِي الْعَذْبَةِ أَحَادِيْثٌ صَحِيْحَةٌ وَ حَسَنَةٌ، وَ قَدْ صَرَّحُوْا بِأَنَّ أَصْلَهَا سُنَّةٌ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ إِرْسَالُهَا بَيْنَ الْكَتِفَيْنِ أَفْضَلُ مِنْهُ عَلَى الْأَيْمَنِ. وَ لَا أَصْلَ فِي اخْتِيَارِ إِرْسَالِهَا عَلَى الْأَيْسَرِ. وَ أَقَلُّ مَا وَرَدَ فِيْ طُوْلِهَا أَرْبَعَةُ أَصَابِعَ، وَ أَكْثَرُهُ ذِرَاعٌ. قَالَ ابْنُ الْحَاجِّ الْمَالِكِيِّ: عَلَيْكَ أَنْ تَتَعَمَّمَ قَائِمًا، وَ تَتَسَرْوَلَ قَاعِدًا. قَالَ فِي الْمَجْمُوْعِ: وَ يُكْرَهُ أَنْ يَمْشِيَ فِيْ نَعْلٍ وَاحِدَةٍ، وَ لِبْسُهَا قَائِمًا، وَ تَعْلِيْقُ جَرَسٍ فِيْهَا. وَلِمَنْ قَعَدَ فِيْ مَكَانٍ أَنْ يُفَارِقَهُ قَبْلَ أَنْ يُذْكَرَ اللهُ تَعَالَى فِيْهِ.

(4. Memakai serban. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang artinya: “Sesungguhnya Allah s.w.t. dan malaikat-Nya membacakan shalawat kepada orang-orang yang memakai serban di hari Jum‘at.” Memakai serban sunnah juga di semua shalat. Dalam sebuah hadits dha‘īf disebutkan fadhīlah membesarkan serban. Seyogianya panjang-lebar serban itu sesuai dengan kepantasan pemakainya secara adat di masanya. Kalau melebihi ukuran tersebut, maka hukumnya makrūh. Harga diri (murū’ah) seorang ahli fikih hilang lantaran memakai serban orang pasar yang tidak patut baginya dan sebaliknya. Para ahli hadits berkata: Mengenai panjang dan lebar serban baginda Nabi s.a.w., adalah tidak ada yang menerangkan seberapa. Imām Rāfi‘ī dan an-Nawawī berkata: Bagi orang yang memakai serban, dia boleh menambah sepotong kain di pucuk serban atau tidak, kedua-duanya sama-sama tidak makruh. Imām an-Nawawī menambah: Yang demikian itu, karena satu pun tidak didapati dasar yang sah tentang larangan tidak menambah kain di pucuk serban. – Selesai – . Tetapi, tentang menambah kain di pucuk serban, terdapat hadits-hadits shaḥīḥ dan ḥasan dan para fuqahā’ menerangkan, bahwa pada dasarnya hukum memakai tambahan di pucuk serban adalah sunnah. Guru kami berkata: “Menyelempangkan pucuk serban pada antara dua pundak lebih utama dari pada hanya meletakkannya di kanan saja. Sedangkan penyelempangkan di pundak kiri saja tidak ada dasarnya. Sesuai dengan hadits yang sampai, paling tidak kain yang ada pada pucuk serban panjangnya empat jari, dan paling panjang satu hasta.  Imām Ibnu al-Ḥajj al-Mālikī berkata: Jangan sampai pada memakai serban dalam keadaan berdiri dan memakai serban celana dengan duduk. Imām an-Nawawī dalam kitab al-Majmū‘ berkata: “Makrūh berjalan dengan memakai satu sandal, memakai sandal sambil berdiri, memasang kelintungan (genta = alat bunyi-bunyian dari kayu atau logam) pada sandal, dan bagi orang yang sedang duduk dimakrūhkan berdiri untuk pergi sebelum dzikir kepada Allah s.w.t.

(وَ تَطَيُّبٌ) لِغَيْرِ صَائِمٍ عَلَى الْأَوْجَهِ لِمَا فِي الْخَبَرِ الصَّحِيْحِ: “أَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الْغُسْلِ، وَ لَبْسِ الْأَحْسَنِ، وَ التَّطَيُّبِ، وَ الْإِنْصَاتِ، وَ تَرْك التَّخَطِّيْ، يُكَفِّرُ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ”. وَ التَّطَيُّبِ بِالْمِسْكِ أَفْضَلُ، وَ لَا تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ عِنْدَ شَمِّهِ، بَلْ حَسُنَ الْاِسْتِغْفَارُ عِنْدَهُ كَمَا قَالَ شَيْخُنَا، وَ نُدِبَ تَزَيُّنٌ بِإِزَالَةِ ظُفْرٍ مِنْ يَدَيْهِ، وَ رِجْلَيْهِ، لَا إِحْدَاهُمَا، فَيُكْرَهُ. وَ شَعْرِ نَحْوِ إِبْطِهِ وَ عَانَتِهِ لِغَيْرِ مُرِيْدِ التَّضْحِيَةِ فِيْ عُشْرِ ذِي الْحِجَّةِ، وَ ذلِكَ لِلْاِتِّبَاعِ. وَ بِقَصِّ شَارِبِهِ حَتَّى تَبْدُوَ حُمْرَةُ الشَّفَةِ وَ إِزَالَةِ رِيْحٍ كَرِيْهٍ، وَ وَسَخٍ. وَ الْمُعْتَمَدُ فِيْ كَيْفِيَّةِ تَقْلِيْمِ الْيَدَيْنِ: أَنْ يَبْتَدِىءَ بِمُسَبِّحَةَ يَمِيْنِهِ إِلَى خِنْصِرِهَا، ثُمَّ إِبْهَامِهَا، ثُمَّ خِنْصِرِ يَسَارِهَا إِلَى إِبْهَامِهَا عَلَى التَّوَالِيْ، وَ الرِّجْلَيْنِ: أَنْ يَبْتَدِىءَ بِخِنْصُرِ الْيُمْنَى إِلَى خِنْصِرِ الْيُسْرَى عَلَى التَّوَالِيْ، وَ يَنْبَغِي الْبَدَارُ بِغُسْلِ مَحَلِّ الْقَلْمِ، وَ يُسَنُّ فِعْلُ ذلِكَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ أَوْ بُكْرَةَ الْجُمْعَةِ. وَ كَرِهَ الْمُحِبُّ الطَّبْرِيُّ نَتْفَ شَعْرِ الْأَنْفِ، قَالَ: بَلْ يَقُصُّهُ، لِحَدِيْثٍ فِيْهِ. قَالَ الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَنْ نَظَفَ ثَوْبَهُ قَلَّ هَمُّهُ، وَ مَنْ طَابَ رِيْحُهُ زَادَ عَقْلُهُ.

(5. Memakai harum-haruman, selain orang yang sedang berpuasa, menurut pendapat yang aujah. Hal ini berdasarkan sebuah hadits shaḥīḥ bahwa: Sesungguhnya mengumpulkan antara mandi, memakai pakaian yang bagus, memakai harum-haruman mendengarkan khuthbah secara seksama dan tidak melangkahi pundak orang lain, dapat menghapus dosa-dosa yang di antara dua Jum‘at. Menggunakan misik lebih utama. Ketika mencium misik, tidak disunnahkan membaca shalawat kepada Nabi s.a.w., namun yang lebih baik adalah membaca istighfār, sebagaimana yang dikatakan oleh guru kami. Sunnah berhias dengan memotong kuku di kedua tangan dan kaki – hukumnya makruh kalau yang dipotong hanya salah satunya – , memotong rambut semisal rambut ketiak dan kelamin bagi selain orang yang akan berqurban pada tanggal 10 Dzul-Hijjah. Demikian itu adalah sebagai mengikuti kepada Nabi s.a.w. Juga sunnah mencukur kumis sampai kelihatan warna merah bibir, dan menghilangkan bau busuk serta kotoran yang ada di badan. Menurut pendapat yang mu‘tamad cara memotong kuku dua tangan adalah dimulai dari telunjuk kanan sampai kelingkingnya, kemudian ibu jarinya, setelah itu memotong (kuku) kelingking kiri sampai ibu jari secara urut. Sedangkan cara memotong kuku kaki adalah dimulai dari kelingking kaki kiri secara urut. Setelah memotong kuku, seyogianya mencuci tempat yang dipotong. Sunnah melakukan pemotongan kuku seperti yang tersebut di atas pada hari kamis atau di pagi hari Jum‘at. Imām al-Muḥibb ath-Thabarī menghukumi makruh mencabuti bulu hidung, – katanya – . Akan tetapi hendaknya digunting berdasarkan hadits yang menjelaskan hal ini. Imām asy-Syāfi‘ī berkata: Barang siapa bersih pakaiannya, maka sedikitlah susahnya, barang siapa harum baunya, maka bertambahlah kecerdasannya.

(وَ) سُنَّ (إِنْصَاتٌ) أَيْ سُكُوْتٌ مَعَ إِصْغَاءٍ (لِخُطْبَةٍ) وَ يُسَنُّ ذلِكَ، وَ إِنْ لَمْ يَسْمَعِ الْخُطْبَةَ، نَعَمْ، الْأَوْلَى لِغَيْرِ السَّامِعِ أَنْ يَشْتَغِلَ بِالتِّلَاوَةِ وَ الذِّكْرِ سِرًّا، وَ يُكْرَهُ الْكَلَامُ، وَ لَا يَحْرُمُ، خِلَافًا لِلْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ: حَالَةَ الْخُطْبَةِ، لَا قَبْلَهَا، وَ لَوْ بَعْدَ الْجُلُوْسِ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَ لَا بَعْدَهَا، وَ لَا بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ، وَ لَا حَالَ الدُّعَاءِ لِلْمَمْلُوْكِ، وَ لَا لِدَاخِلِ مَسْجِدٍ، إِلَّا إِنِ اتَّخَذَ لَهُ مَكَانًا وَ اسْتَقَرَّ فِيْهِ. وَ يُكْرَهُ لِلدَّاخِلِ السَّلَامُ، وَ إِنْ لَمْ يَأْخُذْ لِنَفْسِهِ مَكَانًا، لِاشْتِغَالِ الْمُسْلِمِ عَلَيْهِمْ، فَإِنْ سَلَّمَ لَزِمَهُمُ الرَّدَّ، وَ يُسَنُّ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ، وَ الرَّدُّ عَلَيْهِ، وَ رَفْعُ الصَّوْتِ مِنْ غَيْرِ مُبَالَغَةٍ بِالصَّلَاةِ وَ السَّلَامِ عَلَيْهِ عِنْدَ ذِكْرِ الْخَطِيْبِ اسْمَهُ أَوْ وَصْفَهُ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ لَا يَبْعُدُ نَدْبُ التَّرَضِّيْ عَنِ الصَّحَابَةِ، بِلَا رَفْعِ صَوْتٍ. وَ كَذَا التَّأْمِيْنُ لِدُعَاءِ الْخَطِيْبِ. اهـــ.

(6. Mendengarkan khuthbah dengan seksama. Hal tersebut sunnah dikerjakan, sekalipun bagi orang yang tidak mendengar khuthbah. Memang benar sunnah, tetapi yang lebih utama bagi orang yang tidak mendengar khuthbah, adalah tersibukkan dengan membaca al-Qur’ān atau dzikir secara pelan-pelan. Makrūh hukumnya, berbicara ketika khuthbah dibaca. Hal ini tidak sampai haram. Lain halnya dengan pendapat tiga imām (selain Imām Syāfi‘ī). (Tidak makrūh berbicara sebelum khuthbah dimulai, sekalipun khathīb sudah duduk di atas mimbar, selesai khuthbah, di antara dua khuthbah, ketika berdoa untuk raja, dan tidak makrūh berbicara bagi orang yang masuk masjid kecuali jika ia mengambil posisi tempat duduk dan duduk di situ. Makrūh bagi orang yang masuk masjid mengucapkan salām, sekalipun tidak mengambil tempat untuk dirinya, sebab hal ini akan merepotkan hadirin Jum‘at yang diberi salām. Jika ternyata orang tersebut memberi salām, maka bagi mereka wajib menjawabnya. Sunnah memuji bagi orang yang bersin, menjawabnya, meninggikan suara tanpa berlebihan dalam membaca shalawat dan salām kepada Nabi s.a.w. ketika sang khathīb menyebut nama atau sifat beliau. Guru kami berkata: Tidaklah jauh disunnahkan membaca Radhiyallāhu ‘anhu untuk para sahabat Nabi s.a.w., tanpa meninggikan suara, demikian pula amin dari doa imām. – Selesai -

وَ تُكْرَهُ تَحْرِيْمًا وَ لَوْ لِمَنْ لَمْ تَلْزَمْهُ الْجُمْعَةُ بَعْدَ جُلُوْسِ الْخَطِيْبِ عَلَى الْمِنْبَرِ: وَ إِنْ لَمْ يَسْمَعِ الْخُطْبَةَ صَلَاةُ فَرْضٍ، وَ لَوْ فَائِتَةٍ تَذَكَّرَهَا الْآنَ، وَ إِنْ لَزِمَتْهُ فَوْرًا، أَوْ نَفْلٍ، وَ لَوْ فِيْ حَالِ الدُّعَاءِ لِلسُّلْطَانِ. وَ الْأَوْجَهُ أَنَّهَا لَا تَنْعَقِدُ كَالصَّلَاةِ بِالْوَقْتِ الْمَكْرُوْهِ، بَلْ أَوْلَى. وَ يَجِبُ عَلَى مَنْ بِصَلَاةٍ تَخْفِيْفُهَا، بِأَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَقَلِّ مُجْزِىءٍ عِنْدَ جُلُوْسِهِ عَلَى الْمِنْبَرِ. وَ كُرِهَ لِدَاخِلٍ تَحِيَّةٌ فَوَّتَتْ تَكْبِيْرَةُ الْإِحْرَامِ إِنْ صَلَّاهَا، إِلَّا فَلَا تُكْرَهُ، بَلْ تُسَنُّ، لكِنْ يَلْزَمُهُ تَخْفِيْفُهَا بِأَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى الْوَاجِبَاتِ كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا وَ كُرِهَ احْتِبَاءٌ حَالَةَ الْخُطْبَةِ لِلنَّهْيِ عَنْهُ، وَ كَتْبُ أَوْرَاقٍ حَالَتُهَا فِيْ آخِرِ جُمْعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ، بَلْ وَ إِنْ كُتِبَ فِيْهَا نَحْوُ أَسْمَاءٍ سُرْيَانِيَّةٍ يَجْهَلُ مَعْنَاهَا حَرُمَ.

Makrūh taḥrīm sekalipun bagi seorang yang tidak wajib menunaikan shalat Jum‘at untuk mengerjakan shalat fardhu, sekalipun qadhā’ yang baru ingat waktu itu, dan sekalipun wajib dikerjakan seketika atau melakukan shalat sunnah, sedangkan khathīb sudah duduk di atas mimbar, sekalipun khuthbah tidak terdengar dan sekalipun ketika khathīb sedang memanjatkan doa untuk sultan. Menurut pendapat yang aujah, shalat yang dikerjakan pada saat seperti di atas, adalah tidak sah, sebagaimana tidak sah melakukan shalat di waktu-waktu yang dimakrūhkan. Bahkan kasus malah lebih utama tidak sahnya. Wajib bagi orang yang di tengah shalatnya, sedangkan khathīb sudah duduk di atas mimbar, agar mempercepat shalatnya, dengan cukup mengerjakan perkara yang mengesahkan shalat. Makrūh bagi orang yang masuk masjid mengerjakan shalat tahiyyat-ul-masjid jika dapat menyebabkan tertinggal takbīrat-ul-iḥrām dari imām shalat Jum‘at. Kalau tidak tertinggal, hukumnya tidak makrūh, bahkan sunnah untuk dilakukan. Namun, wajib dikerjakan seringan mungkin dengan hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja sesuai yang dikatakan oleh guru kami. Makrūh di waktu khuthbah mengerjakan duduk dengan menahan serban pada lutut dengan badan (duduk iḥtibā’), karena terdapat larangan mengenai hal ini. Juga makrūh menulis pada kertas di akhir bulan Ramadhān, bahkan jika tulisan itu nama-nama bahasa Suryani, yang tidak diketahui ma‘nanya, maka haram hukumnya.

(وَ) سُنَّ (قِرَاءَةُ) سُوْرَةِ (“كَهْفِ”) يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَ لَيْلَتَهَا، لِأَحَادِيْثَ فِيْهَا. وَ قِرَاءَتُهَا نَهَارًا آكِدٌ، وَ أَوْلَاهُ بَعْدَ الصُّبْحِ، مُسَارَعَةً لِلْخَيْرِ، وَ أَنْ يُكْثِرَ مِنْهَا، وَ مِنْ سَائِرِ الْقُرْآنِ فِيْهِمَا. وَ يُكْرَهُ الْجَهْرُ بِقِرَاءَةِ “الْكَهْفِ” وَ غَيْرِهِ إِنْ حَصَلَ بِهِ تَأَذٍّ لِمُصَلٍّ أَوْ نَائِمٍ كَمَا صَرَّحَ النَّوَوِيُّ فِيْ كُتُبِهِ وَ قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْعُبَابِ: يَنْبَغِيْ حُرْمَةَ الْجَهْرِ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ. وَ حُمِلَ كَلَامُ النَّوَوِيِّ بِالْكَرَاهَةِ: عَلَى مَا إِذَا خَفَّ التَّأَذِّيْ، وَ عَلَى كَوْنِ الْقِرَاءَةِ فِيْ غَيْرِ الْمَسْجِدِ.

Disunnahkan membaca surat al-Kahfi di hari Jum‘at atau pada malam harinya berdasarkan beberapa hadits. Membacanya di siang hari dihukumi lebih dianjurkan dan paling utama membacanya setelah Shubuḥ karena mempercepat mendapat kebaikan. Sunnah memperbanyak membaca surat al-Kahfi dan surat-surat al-Qur’ān yang lain di malam dan hari Jum‘at. Makruh membaca surat al-Kahfi dan surat-surat lainnya dengan mengeraskan suara, jika hal ini dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau tidur sebagaimana yang dijelaskan oleh Imām an-Nawawī dalam beberapa kitabnya. Dalam Syarḥ-ul-‘Ubāb, guru kami berkata: Seyogianya hukum haram diterapkan pada bacaan keras di dalam masjid. Perkataan Imām an-Nawawī yang menghukumi makrūh diarahkan jika gangguan yang ditumbulkannya hanya sedikit, atau pembacaannya berada di luar masjid.

وَ إِكْثَارُ صَلَاةٍ عَلَى النَّبِيِّ (يَوْمَهَا وَ لَيْلَتَهَا) لِلْأَخْبَارِ الصَّحِيْحَةِ الْآمِرَةِ بِذلِكَ، فَالْإِكْثَارُ مِنْهَا أَفْضَلُ مِنْ إِكْثَارِ ذِكْرٍ لَمْ يَرِدْ بِخُصُوْصِهِ. قَالَهُ شَيْخُنَا. (وَ دُعَاءٌ) فِيْ يَوْمِهَا، رَجَاءً أَنْ يُصَادِفَ سَاعَةَ الْإِجَابَةِ، وَ أَرْجَاهَا، مِنْ جُلُوْسِ الْخَطِيْبِ إِلَى آخِرِ الصَّلَاةِ. وَ هِيَ لَحْظَةٌ لَطِيْفَةٌ. وَ صَحَّ أَنَّهَا آخِرُ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ، وَ فِيْ لَيْلَتِهَا لَمَّا جَاءَ عَنِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِيْهَا، وَ أَنَّهُ اسْتَحَبَّهُ فِيْهَا.

Disunnahkan memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. baik di siang atau malam hari Jum‘at, berdasarkan hadits shaḥīḥ yang memuat perintah melakukannya. Memperbanyak membaca shalawat lebih utama dari pada memperbanyak dzikir atau membaca al-Qur’ān yang tidak secara khusus diterangkan dalam hadits Nabi, demikianlah menurut guru kami.

(3. Memperbanyak bacaan doa di hari Jum‘at, sebab berharap agar dapat bertepatan dengan waktu ijābah. Saat ijābah yang paling bisa diharapkan adalah saat khathīb duduk sampai selesai shalat dan saat tersebut sangat sebentar sekali. Sah pendapat yang mengatakan bahwa saat ijābah adalah pada akhir setelah waktu ‘Ashar. Sunnah juga memperbanyak doa di malam hari Jum‘at karena hadits yang sampai pada Imām Syāfi‘ī bahwa doa di malam hari Jum‘at dikabulkan. Di samping itu, beliau menyunnahkan di malam Jum‘at untuk berdoa.

وَ سُنَّ إِكْثَارُ فِعْلِ الْخَيْرِ فِيْهِمَا كَالصَّدَقَةِ وَ غَيْرِهَا وَ أَنْ يَشْتَغِلَ فِيْ طَرِيْقِهِ وَ حُضُوْرِهِ مَحَلَّ الصَّلَاةِ بِقِرَاءَةٍ، أَوْ ذِكْرٍ، أَفْضَلُهُ الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ قَبْلَ الْخُطْبَةِ، وَ كَذَا حَالَةَ الْخُطْبَةِ إِنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَمَا مَرَّ لِلْأَخْبَارِ الْمُرَغِّبَةِ فِيْ ذلِكَ. وَ أَنْ يَقْرَأَ عَقِبَ سَلَامِهِ مِنَ الْجُمْعَةِ قَبْلَ أَنْ يُثْنِيَ رِجْلَيْهِ، وَ فِيْ رِوَايَةٍ: قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ الْفَاتِحَةَ، وَ الْإِخْلَاصَ، وَ الْمُعَوِّذَتَيْنِ، سَبْعًا سَبْعًا، لِمَا وَرَدَ أَنَّ “مَنْ قَرَأَهَا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَ مَا تَأَخَّرَ، وَ أُعْطِيَ مِنَ الْأَجْرِ بِعَدَدِ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَ رَسُوْلِهِ”

Sunnah memperbanyak ber‘amal kebaikan di malam atau siang hari Jum‘at, misalnya bersedekah  atau lainnya dan sunnah tersibukkan dengan membaca al-Qur’ān atau dzikir di sepanjang jalan dan pada kehadirannya di tempat shalat. Dzikir yang paling utama adalah membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. sebelum khuthbah dimulai atau ketika khuthbah berjalan jika tidak bisa mendengarkannya – sebagaimana keterangan yang telah lalu – berdasarkan hadits-hadits yang menganjurkan hal itu. Sunnah sesudah salam shalat Jum‘at dan sebelum memindah posisi kaki saat salām – riwayat yang lain mengatakan: Sebelum berbicara – , untuk membaca al-Fātiḥah, al-Ikhlāsh, al-Falaq dan an-Nās masing-masing sebanyak 7 kali. Kesunnahan itu berdasarkan sebuah hadits yang mengatakan: Bahwa barang siapa mau membacanya, maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lewat dan akan datang, serta dianugerahi pahala sebanyak bilangan orang yang beriman kepada Allah dan Rasūlullāh s.a.w.

[مُهِمَّةٌ]: يُسَنُّ أَنْ يَقْرَأَهَا، وَ آيَةَ الْكُرْسِيِّ وَ {شَهِدَ اللَّهُ}، بَعْدَ كُلِّ مَكْتُوْبَةٍ وَ حِيْنَ يَأْوِيْ إِلَى فِرَاشِهِ، مَعَ أَوَاخِرِ “الْبَقَرَةِ، وَ الْكَافِرُوْنَ”، وَ يَقْرَأُ خَوَاتِيْمَ “الْحَشْرُ” وَ أَوَّلَ “غَافِرٌ إِلَى إِلَيْهِ الْمَصِيْرُ” وَ {أَفَحَسِبْتمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُم عَبَثًا} إِلَى آخِرِهَا، صَبَاحًا وَ مَسَاءً، مَعَ أَذْكَارِهِمَا، وَ أَنْ يُوَاظِبَ كُلُّ يَوْمٍ عَلَى قِرَاءَةِ “آلم، السَّجْدَةُ، وَ يس، وَ الدُّخَانُ، وَ الْوَاقِعَةُ، وَ تَبَارَكَ، وَ الزَّلْزَلَةَ، وَ التَّكَاثُرُ” وَ عَلَى “الْإِخْلَاصِ” مِائَتَيْ مَرَّةٍ، وَ “الْفَجْرُ” فِيْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ، وَ “يس، وَ الرَّعْدُ” عِنْدَ الْمُحْتَضَرِ. وَ وَرَدَتْ فِيْ كُلِّهَا أَحَادِيْثُ غَيْرُ مَوْضُوْعَةٍ.

(Penting). Sunnah membaca surat-surat di atas dan Ayat Kursi, Ayat Syahida Allāhu setiap selesai shalat fardhu lima waktu, dan ketika akan tidur, lalu disambung dengan ayat akhir surat al-Baqarah dan al-Kāfirūn, akhir dari al-Ḥasyr, permulaan surat Ghāfir sampai lafazh: (إِلَيْهِ الْمَصِيْرُ) dan (أَفَحَسِبْتمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُم عَبَثًا) sampai selesai dibaca pada waktu pagi dan sore hari, lalu disambung dengan dzikir-dzikirnya. Sunnah membiasakan membaca surat as-Sajdah, Yā Sīn, ad-Dhukhān, al-Wāqi‘ah, Tabārak, az-Zalzalah dan at-Takātsur di setiap hari. Sunnah membaca surat al-Ikhlāsh dan al-Fajr sebanyak 200 kali pada setiap tanggal 10 Dzul-Ḥijjah. Sunnah membaca surat Yā Sīn dan ar-Ra‘d pada orang yang sedang sakit keras.

(وَ حَرُمَ تَخَطِّ) رِقَابِ النَّاسِ، لِلْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ فِيْهِ، وَ الْجَزْمُ بِالْحُرْمَةِ مَا نَقَلَهُ الشَّيْخُ أَبُوْ حَامِدٍ عَنْ نَصِّ الشَّافِعِيِّ، وَ اخْتَارَهَا فِي الرَّوْضَةِ، وَ عَلَيْهَا كَثِيْرُوْنَ. لكِنْ قَضِيَّةَ كَلَامِ الشَّيْخَيْنِ: الْكَرَاهَةُ، وَ صَرَّحَ بِهَا فِي الْمَجْمُوْعِ (لَا لِمَنْ وَجَدَ فُرْجَةً قُدَّامَهُ) فَلَهُ بِلَا كَرَاهَةٍ تَخَطِّيْ صَفٍّ وَاحِدٍ أَوِ اثْنَيْنٍ، وَ لَا لِإِمَامٍ لَمْ يَجِدْ طَرِيْقًا إِلَى الْمِحْرَابِ إِلَّا بِتَخَطِّيْ، وَ لَا لِغَيْرِهِ إِذَا أَذِنُوْا لَهُ فِيْهِ لَا حَيَاءً عَلَى الْأَوْجَهِ، وَ لَا لِمُعَظَّمٍ أُلِفَ مَوْضِعًا. وَ يُكْرَهُ تَخَطِّي الْمُجْتَمِعِيْنَ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ، وَ يُحْرَمُ أَنْ يُقِيْمَ أَحَدًا بِغَيْرِ رِضَاهُ لِيَجْلِسَ مَكَانَهُ. وَ يُكْرَهُ إِيْثَارُ غَيْرِهِ بِمَحَلِّهِ، إِلَّا إِنِ انْتَقَلَ لِمِثْلِهِ أَوْ أَقْرَبَ مِنْهُ إِلَى الْإِمَامِ. وَ كَذَا الْإِيْثَارُ بِسَائِرِ الْقُرَبِ. وَ لَهُ تنْحِيَةُ سَجَادَةِ غَيْرِهِ بِنَحْوِ رِجْلِهِ وَ الصَّلَاةِ فِيْ مَحَلِّهَا، وَ لَا يَرْفَعُهَا وَ لَوْ بِغَيْرِ يَدِهِ  لِدُخُوْلِهَا فِيْ ضَمَانِهِ.

Diharamkan melangkahi pundak orang lain, berdasarkan hadits-hadits shaḥīḥ. Keputusan hukum haram ini adalah sebagaimana yang dikutip oleh Imām asy-Syaikh Abū Ḥāmid dari nash Imām asy-Syāfi‘ī, kemudian ini dipilih oleh Imām Nawawī dalam kitab ar-Raudhah. Pendapat tersebut merupakan pendapat mayoritas ‘ulamā’. Namun Imām ar-Rāfi‘ī dan an-Nawawī menghukumi makrūh, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab al-Majmū‘. Melangkahi tersebut hukumnya tidak haram bagi orang yang menemukan barisan kosong di depannya, maka baginya boleh tanpa hukum makruh melangkahi satu atau dua baris di depannya. Demikian pula tidak haram, jika dilakukan oleh imām yang tidak menemukan jalan menuju mimbar, kecuali dengan melangkahi pundak. Demikian juga tidak haram dilakukan oleh selain imām, jika mereka yang dilangkahi sudah memberi idzin, namun bukan karena malu menurut pendapat yang aujah. Juga tidak haram melangkahi pundak bagi orang yang dimuliakan dan sudah disediakan tempat tertentu. Makrūh melangkahi pundak sekelompok manusia di luar shalat. Haram menyuruh orang berdiri tanpa kerelaannya untuk ditempati tempatnya. Makrūh memberi prioritas kepada orang lain untuk menempati tempatnya, kecuali jika berpindah ke tempat sejajar atau lebih dekat pada imam. Begitu juga dalam ‘ibādah-‘ibādah lainnya. Diperbolehkan menyingkirkan sajadah orang lain dengan semacam kaki dan melakukan shalat di situ, namun tidak boleh mengangkat sajadah tersebut sekilipun tidak dengan tangannya sebab sajadah tersebut akan menjadi tanggungannya.

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ (نَحْوُ مُبَايَعَةٍ) كَاشْتِغَالٍ بِصُنْعَةٍ (بَعْدَ) شُرُوْعٍ فِيْ (أَذَانِ خُطْبَةٍ)، فَإِنْ عَقَدَ صَحَّ الْعَقْدُ، وَ يُكْرَهُ قَبْلَ الْأَذَانِ بَعْدَ الزَّوَالِ. (وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ وَ إِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمْعَةُ، كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يُدْرِكْهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصَدِهِ، وَ لَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا، أَوْ وَاجِبًا، (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرَ يَوْمِ الْجُمْعَةِ، إِلَّا خَشِيَ مِنْ عَدَمِ سَفَرِهِ ضَرَرًا، كَانْقِطَاعِهِ عَنِ الرُّفْقَةِ، فَلَا يَحْرُمُ إِنْ كَانَ غَيْرَ سَفَرٍ مَعْصِيَةٍ، وَ لَوْ بَعْدَ الزَّوَالِ، وَ يُكْرَهُ السَّفَرُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، لِمَا رُوِيَ بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ: “مَنْ سَافَرَ لَيْلَتَهَا دَعَا عَلَيْهِ مَلَكَاهُ”. أَمَّا الْمُسَافِرِ لِمَعْصِيَةٍ فَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ الْجُمْعَةُ مُطْلَقًا. قَالَ شَيْخُنَا: وَ حَيْثُ حَرُمَ عَلَيْهِ السَّفَرُ هُنَا لَمْ يَتَرَخَّصْ مَا لَمْ تَفُتِ الْجُمْعَةَ، فَيُحْسَبُ اِبْتِدَاءُ سَفَرِهِ مِنْ وَقْتِ فَوْتِهَا.

Bagi orang yang berkewajiban melakukan shalat Jum‘at, haram melakukan jual-beli  dan sebagainya – selesai pertukangan – , sesudah dikumandangkan adzan khuthbah Jum‘at. Jika terpaksa melakukannya, maka akad tetap sah. Makruh sebelum adzan dan setelah tergelincirnya matahari melakukan hal tersebut. Bagi orang yang berkewajiban melakukan shalat Jum‘at – sekalipun tidak bisa mengabsahkannya – , haram bepergian yang dapat menyebabkan tertinggal shalat Jum‘at seperti menduga bahwa tidak dapat melakukan shalat Jum‘at dipertengahan jalan atau tujuannya, dan sekalipun bepergian dalam rangka taat yang sunnah atau wajib. Keharaman melakukan bepergian tersebut jika dilakukan setelah fajar hari Jum‘at, kecuali jika dikhawatirkan akan terjadi mudharat dengan ketidak-pergiannya – semisal tertinggal dengan teman-temannya – , maka tidaklah haram jika kepergiannya bukan untuk maksiat, sekalipun waktu pergi setelah matahari tergelincir. Makrūh bepergian di malam Jum‘at  berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dengan sanad dha‘īf yang artinya: “Barang siapa bepergian di malam Jum‘at, maka ada dua malaikat yang mendoakan kerusakan kepadanya.” Mengenai orang yang bepergian untuk maksiat, maka secara mutlak tidak gugur baginya shalat Jum‘at. Guru kami berkata: Jika seseorang diharamkan melakukan bepergian, maka ia tidak berhak mendapat rukhshah atau keringanan hukum selama shalat Jum‘at belum usai, maka permulaan perjalanannya dimulai dari berakhirnya shalat Jum‘at.


Selanjutnya klik disini

Terjemah kitab kuning

Taqrib tengah Safinatun naja   Fathul muin Nashoihul ibad Syarah sittin Jurumiah Riyadul badiah Ta'limul muta...