Senin, 19 Juli 2021

fathul muin solat jama qosor

SHALAT QASHAR DAN JAMA‘

 

[تَتِمَّةٌ]: يَجُوْزُ لِمُسَافِرٍ سَفَرًا طَوِيْلًا قَصْرُ رُبَاعِيَّةٍ، مُؤَدَّاةٍ، وَفَائِتَةِ سَفَرٍ قَصَّرَ فِيْهِ، وَ جَمْعُ الْعَصْرَيْنِ وَ الْمَغْرِبَيْنِ تَقْدِيْمًا وَ تَأْخِيْرًا، بِفِرَاقِ سُوْرٍ خَاصٍ بِبَلَدِ سَفَرٍ، وَ إِنِ احْتَوَى عَلَى خَرَابٍ وَ مَزَارِعَ. وَ لَوْ جَمَعَ قَرْيَتَيْنِ، فَلَا يُشْتَرَطُ مُجَاوَزَتُهُ، بَلْ لِكُلٍّ حُكْمُهُ، فَبُنْيَانٌ وَ إِنْ تَخَلَّلَهُ خَرَابٌ أَوْ نَهْرٌ أَوْ مِيْدَانٌ. وَ لَا يُشْتَرَطُ مُجَاوَزَةُ بَسَاتِيْنَ وَ إِنْ حُوِّطَتْ وَ اتَّصَلَتْ بِالْبَلَدِ، وَ الْقَرْيَتَانِ إِنِ اتَّصَلَتَا عُرْفًا كَقَرْيَةٍ، وَ إِنِ اخْتَلَفَتَا اِسْمًا، فَلَوِ انْفَصَلَتَا وَ لَوْ يَسِيْرًا كَفَى مُجَاوَزَةُ قَرْيَةِ الْمُسَافِرِ، لَا لِمُسَافِرٍ لَمْ يبْلُغْ سَفَرُهُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ بِسَيْرِ الْأَثْقَالِ مَعَ النُّزُوْلِ الْمُعْتَادِ لِنَحْوِ اسْتِرَاحَةٍ وَ أَكْلٍ وَ صَلَاةٍ، وَ لَا لِآبِقٍ، وَ مُسَافِرٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ حَالٌ قَادِرٌ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ دَائِنِهِ، وَ لَا لِمَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ عَلَى الْأَصَحِّ. وَ يَنْتَهِي السَّفَرُ بِعَوْدِهِ إِلَى وَطَنِهِ، وَ إِنْ كَانَ مَارًّا بِهِ، أَوْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، وَ نَوَى إِقَامَتَهُ بِهِ مُطْلَقًا، أَوْ أَرْبَعَةَ أَيَامٍ صِحَاحٍ، أَوْ عَلِمَ أَنَّ إِرْبَهُ لَا يَنْقَضِيْ فِيْهَا، ثُمَّ إِنْ كَانَ يَرْجُوْ حُصُوْلَهُ كُلَّ وَقْتٍ: قَصَّرَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا.

Syarat Jama‘

(Penyempurnaan). Boleh bagi orang yang bepergian jauh melakukan shalat qashar terhadap shalat fardhu ada’ yang ber-raka‘at empat, dan shalat-shalat qadhā’ dalam perjalanan yang diqashar saat perjalanan itu. Begitu juga boleh menjama‘ taqdīm  atau dengan jama‘ ta’khīr  shalat Zhuhur-‘Ashar dan Maghrib-‘Isyā’. Qashar dan jama‘ tersebut boleh dilakukan setelah seseorang keluar dari batas desanya yang khusus, sekalipun di situ terdapat tanah-tanah gersang atau sawah ladang. Jika batas tersebut mengumpulkan dua desa, maka tidak disyaratkan harus melewatinya, tetapi masing-masing desa dihukumi sendiri-sendiri. Atau setelah melewati beberapa bangunan, sekalipun di sela-selai dengan bumi gersang (rusak), sungai atau tanah lapang. Tidak disyaratkan harus melewati perkebunan, sekalipun mengitari atau bersambung dengan balad. Dua desa yang menurut penilaian umum masih bersambung dianggap sebagai satu desa, sekalipun namanya berlainan.  Kalau sudah berpisah, sekalipun hanya sedikit, maka cukuplah musāfir melewati desanya sendiri. (Jama‘ dan qashar) tidak boleh dilakukan oleh musāfir yang menempuh perjalanan yang jaraknya kurang (tidak sampai) memakan waktu perjalanan sehari-semalam, dengan ukuran perjalanan membawa muatan (beban), juga menghitung waktu istirahatnya secara wajar, misalnya sekadar istirahat, makan dan shalat. Memakan waktu perjalanan membawa menghitung waktu istirahat, makan dan shalat.  Begitu juga tidak boleh bagi budak yang melarikan diri dari majikannya, musāfir pengutang yang mampu melunasi utangnya tanpa mendapat idzin dari pihak pemiutang. Demikian pula tidak boleh bagi orang musāfir yang perginya semata-mata ingin melihat negara, demikian menurut pendapat ashaḥḥ. Bepergian dianggap sudah berakhir dengan kembalinya musāfir di tanah kelahirannya – sekalipun hanya lewat saja – , atau sampai di tempat tujuan lain dan berniat bermuqīm di sana dalam waktu tidak tertentu atau selama 4 hari penuh, atau dia mengetahui bahwa di tempat tersebut kebutuhannya tidak dapat terpenuhi dalam waktu 4 hari. Jika masih mengharap tujuannya akan berhasil sewaktu-waktu, maka dia boleh mengqashar shalat selama 18 hari.

وَ شُرِطَ لِقَصْرٍ نِيَّةٍ قَصْرٍ فِيْ تَحَرُّمٍ، وَ عَدَمُ اقْتِدَاءٍ وَ لَوْ لَحْظَةً بِمُتِمٍّ وَ لَوْ مُسَافِرًا وَ تَحَرَّزَ عَنْ مَنَافِيْهَا دَوَامًا، وَ دَوَامُ سَفَرِهِ فِيْ جَمِيْعِ صَلَاتِهِ، وَ لِجَمْعٍ تَقْدِيْمٍ، نِيَّةُ جَمْعٍ فِي الْأُوْلَى وَ لَوْ مَعَ التَّحَلُّلِ مِنْهَا وَ تَرْتِيْبٌ، وَ وَلَاءٌ عُرْفًا، فَلَا يَضُرُّ فَصْلٌ يَسِيْرٌ بِأَنْ كَانَ دُوْنَ قَدْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَ لِتَأْخِيْرِ نِيَّةُ جَمْعٍ فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى مَا بَقِيَ قَدْرَ رَكْعَةٍ، وَ بَقَاءُ سَفَرٍ إِلَى آخِرِ الثَّانِيَةِ.

Syarat Qashar

Disyaratkan untuk qashar shalat:
(1. Niat qashar di waktu takbīrat-ul-iḥrām. 
(2. Tidak berma’mūm sekalipun hanya sebentar kepada orang yang tidak mengqashar shalatnya, sekalipun imām ini adalah juga musāfir statusnya.
(3. Selama dalam shalatnya terhindar dari hal-hal yang membatalkan niat qashar. 
(4. Seluruh shalatnya masih dikerjakan selama menjadi musāfir.

Disyaratkan untuk pelaksanaan jama‘ taqdīm:
(a. Niat jama‘ di shalat pertama, sekalipun berada di tengah-tengah shalat tersebut.
(b. Pelaksanaannya shalat secara tertib.
(c. Muwālah atau sambung-menyambung antara shalat pertama dengan shalat kedua menurut penilaian umum. 

Karena itu, tidaklah menjadi masalah, jika antara dua shalat tersebut terpisah sebentar.

Disyaratkan untuk jama‘ ta’khīr:
(a. Niat jama‘ pada waktu shalat pertama sampai waktu tersebut masih cukup untuk mengerjakan satu raka‘at.
(b. Masih dalam bepergian hingga akhir shalat yang kedua. 

[فَرْعٌ]: يَجُوْزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ تَقْدِيْمًا وَ تَأْخِيْرًا عَلَى الْمُخْتَارِ وَ يُرَاعِي الْأَرْفَقَ، فَإِنْ كَانَ يَزْدَادُ مَرَضُهُ كَأَنْ كَانَ يَحُمُّ مَثَلًا وَقْتَ الثَّانِيَةِ قَدَّمَهَا بِشُرُوْطِ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ، أَوْ وَقْتَ الْأُوْلَى أَخَّرَهَا بِنِيَّةِ الْجَمْعِ فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى. وَ ضَبَطَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ الْمَرَضَ هُنَا بِأَنَّهُ مَا يَشُقُّ مَعَهُ فِعْلُ كُلِّ فَرْضٍ فِيْ وَقْتِهِ، كَمَشَقَّةِ الْمَشْيِ فِي الْمَطَرِ، بِحَيْثُ تَبْتَلُّ ثِيَابُهُ. وَ قَالَ آخِرُوْنَ: لَا بُدَّ مِنْ مَشَقَّةٍ ظَاهِرَةٍ زِيَادَةً عَلَى ذلِكَ، بِحَيْثُ تُبِيْحُ الْجُلُوْسَ فِي الْفَرْضِ. وَ هُوَ الْأَوْجَهُ.

(Cabang Masalah). Boleh menurut pendapat yang mukhtar menjama‘ shalat, – baik taqdīm atau ta’khīr – sebab sakit. Memilih mana yang dirasa lebih ringan. Jika penyakitnya selalu kambuh di waktu shalat kedua – umpamanya – , maka hendaknya melakukan jama‘ taqdīm dengan syarat-syaratnya di atas. Kalau kambuhnya di waktu shalat pertama, maka hendaknya dia mengerjakan shalat dengan jama‘ ta’khīr dengan niat jama‘ di waktu shalat pertama. Sekelompok ‘ulamā’ kurun akhir membatasi sakit dalam bab ini adalah sakit yang sampai memayahkan untuk mengerjakan setiap fardhu pada waktunya, sebagaimana kepayahan berjalan di waktu hujan yaitu sekira hujan dapat membasahi pakaian. ‘Ulamā’-‘ulamā’ lain berpendapat: Harus ada tambahan kesusahan yang jelas di atas kesusahan yang telah dituturkan, yaitu sekira dengan keadaan seperti itu seseorang diperbolehkan shalat dengan duduk. Pendapat inilah yang aujah. 

(خَاتِمَةٌ): قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: مَنْ أَدَّى عِبَادَةً مُخْتَلِفًا فِيْ صِحَّتِهَا مِنْ غَيْرِ تَقْلِيْدٍ لِلْقَائِلِ بِهَا، لَزِمَهُ إِعَادَتُهَا، لِأَنَّ إِقْدَامَهُ عَلَى فِعْلِهَا عَبَثٌ.

(Penutup). Guru kami dalam kitab Syaraḥ Minhāj berkata: Barang siapa mengerjakan suatu ‘ibādah yang masih diperselisihkan oleh ‘ulamā’ tentang keabsahannya,  sedangkan dia tidak mengikuti ‘ulamā’ yang memperbolehkan, maka dia wajib mengulanginya, sebab ‘ibādah yang dia kerjakan itu dianggap main-main.

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

(فَصْلٌ): فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ.

FASAL

TENTANG SHALAT JENAZAH

 

وَ شُرِعَت بِالْمَدِيْنَةِ، وَ قِيْلَ هِيَ مِنْ خَصَائِصِ هذِهِ الْأُمَّةِ. (صَلَاةُ الْمَيِّتِ) أَيِ الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ غَيْرِ الشَّهِيْدِ (فَرْضُ كِفَايَةٍ) لِلْإِجْمَاعِ وَ الْأَخْبَارِ، (كَغَسْلِهِ، وَ لَوْ غَرِيْقًا) لِأَنَّا مَأْمُوْرُوْنَ بِغَسْلِهِ، فَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنَّا إِلَّا بِفِعْلِنَا، وَ إِنْ شَاهِدْنَا الْمَلَائِكَةَ تَغْسِلُهُ. وَ يَكْفِيْ غَسْلُ كَافِرٍ.

Shalat terhadap mayat disyarī‘atkan di Madīnah. Ada yang mengatakan, bahwa shalat ini adalah termasuk kekhususan umat Islam. Menshalati jenazah orang Islam yang bukan mati syahīd hukumnya adalah fardhu kifāyah berdasarkan ijma‘ ‘ulamā’  dan beberapa hadits, sebagaimana hukum memandikannya sekalipun akibat tenggelam di dalam air, sebab kita diperintah memandikannya. Dengan demikian, perintah memandikan belum gugur sebelum kita sendiri yang memandikan, sekalipun kita sendiri menyaksikan bahwa ada malaikat yang memandikan mayat itu. Telah cukup memenuhi kewajiban dengan adanya seorang kafir yang memandikannya. 

وَ يَحْصُلُ أَقَلُّهُ (بِتَعْمِيْمِ بَدَنِهِ بِالْمَاءِ) مَرَّةً حَتَّى مَا تَحْتَ قُلْفَةِ الْأَقْلَفِ عَلَى الْأَصَحِّ صَبِيًّا كَانَ الْأَقْلَفُ أَوْ بَالِغًا. قَالَ الْعُبَادِيُّ وَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ: لَا يَجِبُ غَسْلُ مَا تَحْتَهَا. فَعَلَى الْمُرَجَّحِ لَوْ تَعَذَّرَ غَسْلُ مَا تَحْتَ الْقُلْفَةِ بِأَنَّهَا لَا تَتَقَلَّصُ إِلَّا بِجُرْحٍ، يُمَمُّ عَمَّا تَحْتَهَا. كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا، وَ أَقَرَّهُ غَيْرُهُ. وَ أَكْمَلُهُ: تَثْلِيْثُهُ، وَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ خَلْوَةٍ، وَ قَمِيْصٍ، وَ عَلَى مُرْتَفِعٍ بِمَاءٍ بَارِدٍ إِلَّا لِحَاجَةٍ كَوَسَخٍ وَ بَرْدٍ، فَالْمُسَخَّنُ حِيْنَئِذٍ أَوْلَى. وَ الْمَالِحُ أَوْلَى مِنَ الْعَذْبِ.

Minimal memandikan mayat itu bisa terwujud dengan cara meratakan air pada tubuh mayat sampai bagian di bawah kulit kepala dzakar bagi mayat yang belum khitan menurut pendapat ashaḥḥ, baik anak itu kecil atau sudah bāligh. Imām al-‘Ubādī dan sebagian ‘ulamā’ Ḥanafiyyah berpendapat: hukumnya tidak wajib membasuh anggota di bawahnya. Berpijak dengan pendapat yang rājiḥ di atas, apabila dirasakan sulit membasuh bagian bawah kulit kepala dzakar tersebut, sebagaimana kulit itu tidak bisa dibuka, kecuali dengan melukainya, maka wajib melakukan tayammum sebagai gantinya. Demikianlah menurut pendapat guru kami, yang kemudian ditetapkan oleh lainnya. Yang paling sempurna, adalah menyiramkan air tersebut diulang sebanyak tiga kali. Dalam memandikan mayat hendaknya di tempat yang sepi dan berbaju kurung, di tempat yang lebih tinggi, dengan air dingin, kecuali ada keperluan, misalnya menghilangkan kotoran atau suasana dingin. Maka dalam keadaan seperti ini, mengenakan air panas adalah lebih utama. Sedang menggunakan air yang asin lebih utama dari pada yang tawar.

وَ يُبَادِرُ بِغَسْلِهِ إِذَا تَيَقَّنَ مَوْتُهُ، وَ مَتَى شَكَّ فِيْ مَوْتِهِ وَجَبَ تَأْخِيْرُهُ إِلَى الْيَقِيْنِ، بِتَغَيُّرِ رِيْحٍ وَ نَحْوِهِ. فَذِكْرِهُمُ الْعَلَامَاتُ الْكَثِيْرَةُ لَهُ إِنَّمَا تُفِيْدُ، حَيْثُ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَكٌّ. وَ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْغُسْلِ نَجَسٌ لَمْ يَنْقُضِ الطُّهْرَ، بَلْ تَجِبُ إِزَالَتُهُ فَقَطْ إِنْ خَرَجَ قَبْلَ التَّكْفِيْنِ، لَا بَعْدَهُ. وَ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِغَيْرِهِ: كَاحْتِرَاقٍ، وَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى يُمِمُّ وُجُوْبًا.

(Sunnah) segera memandikannya. Jika telah diyakini sudah mati. Apabila masih diragukan akan kematiannya, maka wajib menundanya  sampai benar-benar diyakini kematiannya, misalnya bau mayat berubah atau lainnya. Karena itu, para fuqahā’ menuturkan tanda-tanda kematian seseorang yang banyak sekali dan dapat berguna bila kematiannya sudah tidak diragukan lagi. Apabila setelah dimandikan mayat mengeluarkan najis,  maka kesuciannya tidak rusak tapi hanya wajib dihilangkan saja jika keluarnya sebelum dibungkus kafan tidak wajib menghilangkannya bukan jika keluarnya setelah dibungkus kafan. Mayat yang tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, misalnya akan rontok, maka wajib ditayammumi.

[فَرْعٌ]: الرَّجُلُ أَوْلَى بِغُسْلِ الرَّجُلِ، وَ الْمَرْأَةُ أَوْلَى بِغُسْلِ الْمَرْأَةِ، وَ لَهُ غُسْلُ حَلِيْلَةٍ، وَ لِزَوْجَةٍ لَا أَمَةٍ غُسْلُ زَوْجِهَا، وَ لَوْ نَكَحَتْ غَيْرَهُ، بِلَا مَسٍّ، بَلْ بِلَفِّ خِرْقَةٍ عَلَى يَدٍ. فَإِنْ خَالَفَ صَحَّ الْغُسْلُ. فَإِن لَمْ يَحْضَرْ إِلَّا أَجْنَبيٌّ فِي الْمَرْأَةِ أَوْ أَجْنَبِيَّةٌ فِي الرَّجُلِ يُمَمُّ الْمَيِّتُ. نَعَمْ، لَهُمَا غُسْلُ مَنْ لَا يُشْتَهَى مِنْ صَبِيٍّ أَوْ صَبِيَّةٍ، لِحِلِّ نَظَرِ كُلٍّ وَ مَسِّهِ. وَ أَوْلَى الرِّجَالِ بِهِ أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ كَمَا يَأْتِيْ.

(Cabangan Masalah). Orang laki-laki lebih utama untuk memandikan mayat laki-laki, dan perempuan lebih utama untuk memandikan mayat perempuan. Orang laki-laki boleh memandikan mayat yang merupakan ḥalīlah-nya (istri atau wanita amah (hamba perempuan)). Sang istri – bukan amah – , boleh memandikan suaminya, sekalipun ia telah menikah dengan laki-laki lain, tanpa menyentuh mayat itu, akan tetapi tangannya dibungkus dengan kain. Jika menyalahi aturan tersebut, maka mandinya tetap sah.  Apabila untuk mayat wanita hanya ada laki-laki lain atau untuk laki-laki hanya ada wanita lain, maka mayat cukup ditayammumi saja. Memang benar memandikan mayat yang tidak menimbulkan syahwat, baik itu berupa anak laki-laki atau perempuan, lantaran mereka halal memandang juga menyentuhnya. Laki-laki yang lebih utama memandikan mayat adalah laki-laki yang lebih berhak menshalatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.

(وَ تَكْفِيْنُهُ بِسَاتِرِ عَوْرَةٍ) مُخْتَلِفَةٍ بِالذُّكُوْرَةِ وَ الْأُنُوْثَةِ، دُوْنَ الرِّقِّ وَ الْحُرِّيَةِ، فَيَجِبُ فِي الْمَرْأَةِ وَ لَوْ أَمَةً مَا يَسْتُرُ غَيْرَ الْوَجْهِ وَ الْكَفَّيْنِ. وَ فِي الرَّجُلِ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَ الرُّكْبَةِ. وَ الْاِكْتِفَاءُ بِسَاتِرِ الْعَوْرَةِ هُوَ مَا صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ أَكْثَرِ كُتُبِهِ، وَ نَقَلَهُ عَنِ الْأَكْثَرِيْنَ، لِأَنَّهُ حَقٌّ للهِ تَعَالَى. وَ قَالَ آخَرُوْنَ: يَجِبُ سَتْرُ جَمِيْعَ الْبَدَنِ وَ لَوْ رَجُلًا. وَ لِلْغَرِيْمِ مَنْعُ الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ كُلِّ الْبَدَنِ، لَا الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ الْعَوْرَةِ، لِتَأَكُّدِ أَمْرِهِ، وَ كَوْنِهِ حَقًّا لِلْمَيِّتِ بِالنِّسْبَةِ لِلْغُرَمَاءِ، وَ أَكْمَلُهُ لِلذَّكَرِ ثَلَاثَةٌ يَعُمُّ كُلٌّ مِنْهَا الْبَدَنَ، وَ جَازَ أَنْ يُزَادَ تَحْتَهَا قَمِيْصٌ وَ عِمَامَةٌ، وَ لِلْأُنْثَى إِزَارٌ، فَقَمِيْصٌ، فَخِمَارٌ فَلَفَافَتَانِ.

Hukumnya juga fardhu kifāyah membungkus mayat dengan kafan yang dapat menutup auratnya  yang dapat membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan dan tidak usah dibedakan antara mayat budak dengan yang merdeka. Karena itu, wajib untuk mayat wanita – sekalipun budak – kafan yang dapat menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua tapak tangannya, dan untuk mayat laki-laki adalah kafan yang dapat menutupi antara pusat dan lutut. Mencukupkan – sekedar cukup – dengan kafan yang dapat menutup aurat adalah yang dibenarkan oleh Imām an-Nawawī di dalam kebanyakan kitabnya, di mana beliau mengutipnya dari mayoritas ‘ulamā’ sebab yang demikian tersebut merupakan hak Allah s.w.t. ‘Ulamā’-‘ulamā’ lain berkata: Wajib menutup seluruh tubuh mayat, sekalipun laki-laki. Bagi pemiutang boleh melarang pemakaian kafan yang melebihi penutupan seluruh tubuh mayat bukan melarang penutupan yang melebihi menutup aurat  -, sebab sangat dianjurkan perintah untuk menutup melebihi penutupan aurat dan karena merupakan hak si mayat jika dinisbatkan kepada para pemiutang. Yang paling sempurna kafan untuk laki-laki adalah tiga lapis, yang masing-masing menutup seluruh tubuh dan masih boleh ditambah di dalamnya dengan baju kurung dan serban. Untuk wanita adalah kebaya, baju kurung, penutup kepala dan dua lapis kafan.

وَ يُكْفَنُ الْمَيِّتُ بِمَا لَهُ لَبْسُهُ حَيًّا، فَيَجُوْزُ حَرِيْرٌ وَمُزَعْفَرٌ لِلْمَرْأَةِ وَ الصَّبِيِّ، مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَ مَحَلُّ تَجْهِيْزِهِ: التَّرْكَةُ، إِلَّا زَوْجَةٌ وَ خَادِمُهَا: فَعَلَى زَوْجٍ غَنِيٍّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ فَعَلَى مَنْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، مِنْ قَرِيْبٍ، وَ سَيِّدٍ، فَعَلَى بَيْتِ الْمَالِ، فَعَلَى مَيَاسِيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ.

Kafan mayat adalah sesuai dengan jenis kain yang boleh dipakai di waktu hidup. Karena itu, boleh bagi wanita atau anak kecil dikafani dengan kain sutra dan yang dicelup dengan za‘faran, namun hukumnya adalah makrūh. Biaya perawatan mayat diambilkan dari harta peninggalan mayat, kecuali yang mati itu istri atau pelayannya, maka pembiayaan ditanggug oleh suami yang kaya yang wajib memberi nafkah kepada mereka. Jika si mayat tidak meninggalkan harta, maka pembiayaannya dibebankan kepada penanggung nafkah, baik itu kerabat atau majikannya. Jika mayat tidak ada penanggung nafkahnya, maka pembiayaan dipikul oleh bait-ul-māl, kemudian jika bait-ul-māl tidak ada, maka orang-orang kaya dari golongan Muslimīn harus menanggungnya.

وَ يَحْرُمُ التَّكْفِيْنُ فِيْ جِلْدٍ إِنْ وُجِدَ غَيْرُهُ، وَ كَذَا الطِّيْنُ، وَ الْحَشِيْشُ، فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ ثَوْبٌ وَجَبَ جِلْدٌ، ثُمَّ حَشِيْشٌ، ثُمَّ طِيْنٌ فِيْمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا. وَ يَحْرُمُ كِتَابَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآن وَ اسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى عَلَى الْكَفَنِ. وَ لَا بَأْسَ بِكِتَابَتِهِ بِالرِّيْقِ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ. وَ أَفْتَى ابْنُ الصَّلَاحِ بِحُرْمَةِ سَتْرِ الْجَنَازَةِ بِحَرِيْرٍ وَ لَوِ امْرَأَةً كَمَا يَحْرُمُ تَزْيِيْنُ بَيْتِهَا بِحَرِيْرٍ. وَ خَالَفَهُ الْجَلَالُ الْبُلْقِيْنِيُّ، فَجَوَّزَ الْحَرِيْرَ فِيْهَا وَ فِي الطِّفْلِ، وَ اعْتَمَدَهُ جَمْعٌ، مَعَ أَنَّ الْقِيَاسَ الْأَوَّلَ.

Haram mengkafani mayat dengan kulit,  bila masih ada yang lainnya. Begitu juga haram memakai lumpur atau rumput. Jika tidak ada pakaian, maka wajib membungkus dengan kulit, kalau tidak ada, maka memakai rumput, kalau tidak ada, maka memakai lumpur, demikian menurut pendapat yang dijelaskan oleh guru kami. Haram menuliskan lafazh-lafazh al-Qur’ān atau nama-nama Allah s.w.t. di atas kafan mayat. Kalau ditulis menggunakan air ludah, maka tidaklah menjadi masalah, sebab hal ini tidak akan membekas. Imām Ibnu Shalāḥ memberi fatwā bahwa menutup mayat dengan kain sutra, sekalipun mayat wanita adalah haram sebagaimana halnya seorang wanita menghiasi rumahnya dengan sutra. Pendapat tersebut ditentang oleh Imām Jalāl al-Bulqīnī di mana dia memperbolekan hal itu untuk jenazah wanita dan kanak-kanak.  Pendapat ini lantas dibuat pegangan oleh segolongan ‘ulamā’ besertaan hukum qiyasnya adalah yang pertama (haram).

(وَ دَفْنُهُ فِيْ حُفْرَةٍ تَمْنَعُ) بَعْدَ طَمِّهَا (رَائِحَةً) أَيْ ظُهُوْرُهَا، (وَ سَبُعًا) أَيْ نَبْشُهُ لَهَا، فَيَأْكُلَ الْمَيِّتَ. وَ خَرَجَ بِحُفْرَةٍ: وَضْعُهُ بِوَجْهِ الْأَرْضِ وَ يُبْنَى عَلَيْهِ مَا يَمْنَعُ ذَيْنِكَ، حَيْثُ لَمْ يَتَعَذَّرِ الْحَفْرُ. نَعَمْ، مَنْ مَاتَ بِسَفِيْنَةٍ وَ تَعَذَّرَ الْبَرُّ جَازَ إِلْقَاؤُهُ فِي الْبَحْرِ، وَ تَثْقِيْلُهُ لِيَرْسُبَ، وَ إِلَّا فَلَا. وَ بِتَمْنَعُ ذَيْنِكَ مَا يَمْنَعُ أَحَدُهُمَا كَأَنِ اعْتَادَتْ سِبَاعُ ذلِكَ الْمَحَلِّ الْحَفْرَ عَنْ مَوْتَاهُ  فَيَجِبُ بِنَاءُ الْقَبْرِ، بِحَيْثُ يَمْنَعُ وُصُوْلَهَا إِلَيْهِ. وَ أَكْمَلُهُ قَبْرٌ وَاسِعٌ عُمُقِ أَرْبَعَةِ أَذْرُعٍ وَ نِصْفٍ بِذِرَاعِ الْيَدِ. وَ يَجِبُ اضْطِجَاعُهُ لِلْقِبْلَةِ. وَ يُنْدَبُ الْإِفْضَاءُ بِخَدِّهِ الْأَيْمَنِ بَعْدَ تَنْحِيَةِ الْكَفْنِ عَنْهُ إِلَى نَحْوِ تُرَابٍ، مُبَالَغَةً فِي الْاِسْتِكَانَةِ وَ الذُّلِّ، وَ رَفْعُ رَأْسِهِ بِنَحْوِ لَبِنَةٍ. وَ كُرِهَ صُنْدُوْقٌ إِلَّا لِنَحْوِ نَدَاوَةٍ فَيَجِبُ

(Fardhu kifāyah) mengubur mayat di dalam lubang yang setelah ditimbuni tanah kembali, sehingga bau mayat tidak tampak, serta aman dari binatang buas yang akan memakannya. Tidak masuk dalam ketentuan “di dalam lubang” jika mayat diletakkan di atas tanah,  kemudian dibangun sedemikian rupa di atasnya, sehingga bau mayat tidak tampak lagi dan aman dari pembongkaran binatang buas selagi penggalian lubang tidak mendapat kesulitan. Memang benar, tapi orang yang mati di atas perahu dan sulit untuk menemukan daratan, maka boleh melemparkan ke laut dan diberi beban agar dapat tenggelam. Jika tidak sukar, maka mayat tidak boleh dilemparkan ke laut. Dan dikecualikan dengan ucapanku: “Dapat mencegah dua hal tersebut” adalah dapat mencegah salah satunya saja seperti kebiasaan binatang buas di tempat tersebut menggali maqam mayat yang ada maka wajib untuk membangunnya sekira dapat mencegah sampainya binatang tersebut. Kesempurnaan dalam mengubur mayat adalah maqam yang luas dengan dalam 4 ½ Hasta tangan. Wajib untuk memiringkan mayit ke arah qiblat. Sunnah untuk meletakkan pipi mayat yang kanan pada semacam tanah setelah melepas kain kafan agar terasa rendah diri dan hina. Sunnah untuk meninggikan kepalanya dengan semacam bantalan tanah. Makruh untuk mengubur mayat di dalam peti, kecuali tanahnya basah maka wajib untuk menaruh dalam peti.

وَ يَحْرُمُ دَفْنُهُ بِلَا شَيْءٍ يَمْنَعُ وُقُوْعَ التُّرَابِ عَلَيْهِ وَ يَحْرُمُ دَفْنُ اثْنَيْنِ مِنْ جِنْسَيْنِ بِقَبْرٍ، إِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا مَحْرَمِيَّةٌ، أَوْ زَوْجِيَّةٌ، وَ مَعَ أَحَدِهِمَا كُرِهَ كَجَمْعِ مُتحِدَيْ جِنْسٍ فِيْهِ بِلَا حَاجَةٍ. وَ يَحْرُمُ أَيْضًا: إِدْخَالُ مَيِّتٍ عَلَى آخَرَ، وَ إِنِ اتَّحَدَا جِنْسًا، قَبْلَ بَلَاءِ جَمِيْعِهِ، وَ يَرْجَعُ فِيْهِ لِأَهْلِ الْخُبْرَةِ بِالْأَرْضِ. وَ لَوْ وُجِدَ بَعْضُ عَظْمِهِ قَبْلَ تَمَامِ الْحَفْرِ وَجَبَ رَدُّ تُرَابِهِ، أَوْ بَعْدَهُ فَلَا. وَ يَجُوْزُ الدَّفْنُ مَعَهُ، وَ لَا يُكْرَهُ الدَّفْنُ لَيْلًا خِلَافًا لِلْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَ النَّهَارُ أَفْضَلُ لِلدَّفْنِ مِنْهُ وَ يُرْفَعُ الْقَبْرُ قَدْرَ شِبْرٍ نَدْبًا، وَ تَسْطِيْحُهُ أَوْلَى مِنْ تَسْنِيْمِهِ. وَ يُنْدَبُ لِمَنْ عَلَى شَفِيْرِ الْقَبْرِ أَنْ يُحْثِيَ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ بِيَدَيْهِ قَائِلًا مَعَ الْأُوْلىَ: {مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ}. وَ مَعَ الثَّانِيَةِ: {وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ}. وَ مَعَ الثَّالِثَةِ: {وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى}.

Haram mengubur mayat tanpa sesuatu yang dapat mencegah longsornya tanah pada mayat. Haram mengubur dua mayat yang berlainan jenis kelamin dalam satu lubang kubur, jika antara keduanya tiada hubungan mahram atau suami istri. Jika masih ada hubungan mahram atau suami-istri, maka hukumnya adalah makrūh sebagaimana halnya dengan mengumpulkan dua mayat yang tunggal jenis tanpa ada hajat yang mengharuskan. Haram juga mengubur mayat pada lubang kubur yang sudah ditempati mayat lain sekalipun tunggal jenisnya, selama mayat lama belum lebur keseluruhannya. Untuk mengetahui leburnya adalah diserahkan kepada orang yang ahli tentang tanah. Jika ada sepotong tulang mayat yang lama ditemukan sebelum selesai penggalian kubur untuk mayat baru, maka wajib menimbunkan tanah kembali. Jika penemuannya setelah selesai penggalian, maka tidak wajib menimbun kembali, dan boleh dikubur bersama dengannya.

Tidaklah makrūh mengubur mayat di malam hari, lain halnya dengan pendapat Imām al-Ḥasan al-Bashrī. Sedang di siang hari lebih utama dari pada malam hari. Sunnah meninggikan kuburan kira-kira satu jengkal, sedangkan meratakan tanah lebih utama dari pada membuat gundukan di atasnya. Sunnah bagi orang yang mengubur mayat yang berada di pinggir kubur untuk menaburkan debu sebanyak tiga kali.  Untuk taburan pertama ucapkan: (مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ) taburan kedua membaca: (وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ) dan untuk ketiga kali mengucapkan: (وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى).

[مُهِمَّةٌ]: يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةِ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ، لِلِاتِّبَاعِ، وَ لِأَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا. وَ قِيْسَ بِهَا مَا اُعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطِبِ. وَ يَحْرُمُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا لِمَا فِيْ أَخْذِ الْأُوْلَى مِنْ تَفْوِيْتِ حَظِّ الْمَيِّتِ الْمَأْثُوْرِ عَنْهُ، وَ فِي الثَّانِيَةِ مِنْ تَفْوِيْتِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِاِرْتِيَاحِ الْمَلَائِكَةِ النَّازِلِيْنَ لِذلِكَ. قَالَهُ شَيْخَانَا ابْنِ حَجَرٍ وَ زِيَادٍ.

(Penting). Sunnah hukumnya meletakkan pelepah kurma yang masih segar – sebagai tindak mengikuti Nabi s.a.w. – karena berkat tasbih pelepah tersebut, siksa orang yang berada dalam kubur diperingan. Disamakan dengan pelepah kurma adalah hal yang telah dibiasakan yaitu menaburkan semacam bunga yang segar. Haram mengambil pelepah kurma atau bunga seperti yang tersebut di atas sebelum kering karena pengambilan pelepah kurma dapat memutuskan bagian mayat sebagaimana yang telah sampai dari Nabi s.a.w. Sedang mengambil bunga yang masih basah dapat memutuskan hak mayat dengan perginya para malaikat yang turun untuk mencium bunga tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh guru kami, Ibnu Ḥajar dan Ibnu Ziyād. 

(وَ كُرِهَ بِنَاءٌ لَهُ) أَيْ لِلْقَبْرِ، (أَوْ عَلَيْهِ) لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْهُ بِلَا حَاجَةٍ، كَخَوْفِ نَبْشٍ، أَوْ حَفْرِ سَبُعٍ أَوْ هَدْمِ سَيْلٍ. وَ مَحَلُّ كَرَاهَةِ الْبِنَاءِ، إِذَا كَانَ بِمُلْكِهِ، فَإِنْ كَانَ بِنَاءُ نَفْسِ الْقَبْرِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ مِمَّا مَرَّ، أَوْ نَحْوِ قُبَّةٍ عَلَيْهِ بِمُسَبِّلَةٍ، وَ هِيَ مَا اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فِيْهَا، عُرِفَ أَصْلُهَا وَ مُسْبِلُهَا أَمْ لَا، أَوْ مَوْقُوْفَةٍ، حَرُمَ، وَ هُدِمَ وُجُوْبًا، لِأَنَّهُ يَتَأَبَّدُ بَعْدَ انْمِحَاقِ الْمَيِّتِ، فَفِيْهِ تَضْيِيْقٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ بِمَا لَا غَرَضَ فِيْهِ.

Makrūh membangun kubur, baik untuk liang kubur atau di sekelilingnya – karena ada hadits shaḥīḥ yang melarangnya – , tanpa ada hajat semisal khawatir terbongkar, penggalian binatang buas atau hanyut oleh air. Hukum makrūh tersebut jika pembangunan kubur di tanah miliknya sendiri. Apabila membangun tanpa keperluan seperti di atas kubur di tanah milik penduduk daerah yang memang disediakan untuk penguburan mayat, baik pemilik semula diketahui atau tidak, atau dilakukan di atas kuburan wakaf, maka hukumnya adalah haram dan wajib dibongkar sebab bangunan yang seperti itu akan menjadi permanen setelah mayat membusuk dan hal tersebut akan menyempitkan orang-orang Islam tanpa ada tujuan di dalamnya.


1 | 2 |3 |4 |5  |

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terjemah kitab kuning

Taqrib tengah Safinatun naja   Fathul muin Nashoihul ibad Syarah sittin Jurumiah Riyadul badiah Ta'limul muta...