(وَ) سُنَّ (ذِكْرٌ وَ دُعَاءٌ سِرًّا عَقِبَهَا) أَيِ الصَّلَاةِ. أَيْ يُسَنُّ الْإِسْرَارُ بِهِمَا لِمُنْفَرِدٍ وَ مَأْمُوْمٍ وَ إِمَامٍ لَمْ يُرِدْ تَعْلِيْمَ الْحَاضِرِيْنَ وَ لَا تَأْمِيْنَهُمْ لِدُعَائِهِ بِسَمَاعِهِ. وَ وَرَدَ فِيْهِمَا أَحَادِيْثٌ كَثِيْرَةٌ ذَكَرْتُ جُمْلَةً مِنْهَا فِيْ كِتَابِيْ إِرْشَادُ الْعِبَادِ فَاطْلُبْهُ فَإِنَّهُ مُهِمٌّ. وَ رَوَى التِّرْمِذِيُّ عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ قَالَ: “قِيْلَ لِرَسُوْلِ اللهِ: أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ؟ أَيْ أَقْرَبُ إِلَى الْإِجَابَةِ؟ قَالَ: جَوْفُ اللَّيْلِ، وَ دُبُرُ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَاتِ”. وَ رَوَى الشَّيْخَانِ عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ: “كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ فَكُنَّا إِذَا أَشْرَفْنَا عَلَى وَادٍ هَلَّلْنَا وَ كَبَّرُنَا وَ ارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُنَا، فَقَالَ النَّبِيُّ: يَأَيُّهَا النَّاسُ اِرْبِعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَ لَا غَائِبًا، إِنَّهُ حَكِيْمٌ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ”. اِحْتَجَّ بِهِ الْبَيْهَقِيُّ وَ غَيْرُهُ لِلْإِسْرَارِ بِالذِّكْرِ وَ الدُّعَاءِ. وَ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ: أَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَ الْمَأْمُوْمِ أَنْ يَذْكُرَا اللهَ تَعَالَى بَعْدَ السَّلَامِ مِنَ الصَّلَاةِ، وَ يُخْفِيَا الذِّكْرَ، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ إِمَامًا يُرِيْدُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرُ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعَلِّمَ مِنْهُ ثُمَّ يُسِرُّ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: {وَ لَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَ لَا تُخَافِتْ بِهَا} يَعْنِيْ وَ اللهُ أَعْلَمُ الدُّعَاءُ، وَ لَا تَجْهَرْ حَتَّى تُسْمِعَ غَيْرَكَ، وَ لَا تُخَافِتْ حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَكَ. اِنْتَهَى.
(Disunnahkan berdzikir dan berdoa dengan pelan setelah shalat). Maksudnya disunnahkan untuk melakukan keduanya dengan pelan bagi seorang yang shalat sendiri, ma’mūm dan imām yang tidak ingin mengajarkan ma’mūm yang hadir dan juga tidak ingin bacaan amin dari ma’mūm sebab mendengar doa dari sang imām. Dalam dzikir dan doa ini terdapat beberapa hadits yang banyak yang telah saya sebutkan sebagian darinya dalam kitabku yang bernama Irsyād-ul-‘Ibād, maka carilah kitab tersebut sebab kitab itu sangat penting. Imām Tirmidzī meriwayatkan dari Abū Umāmah yang berkata: Rasūl s.a.w. ditanya: Doa manakah yang lebih cepat dikabulkan? Rasūl menjawab: Doa di tengah malam dan setelah shalat fardhu Dua guru kita Imām Bukhārī (dan) Muslim meriwayatkan dari Abū Mūsā yang berkata: Kami bersama Nabi s.a.w., lalu sesampainya kami di dekat jurang, maka kami membaca tahlīl dan bertakbīr dan suara-suara kami sangat lantang, lantas Rasūl s.a.w. bersabda: Wahai manusia, kasihanilah diri kalian, sungguh kalian tidak berdoa terhadap Dzāt yang tuli dan Dzāt yang tidak hadir. Sesungguhnya Allah adalah Maha Bijaksana, Maha Mendengar dan Maha Dekat. Hadits itu dijadikan dasar oleh Imām Baihaqī dan selainnya untuk melirihkan suara terhadap dzikir dan doa. Imām Syāfi‘ī menyatakan dalam kitab al-Umm: Saya memilih bagi seorang imām dan ma’mūm untuk berdzikir kepada Allah setelah salām dari shalat dan melirihkan terhadap dzikir kecuali ia menjadi imām yang menghendaki untuk mengajari ma’mūm, maka imām mengeraskan suaranya sampai imām melihat bahwa ma’mūm telah mengikutinya lantas imām melirihkan suaranya, sesungguhnya Allah telah berfirman yang artinya: Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan janganlah melirihkannya. Maksudnya adalah doa, janganlah kamu mengeraskan doa sampai terdengar orang lain dan jangan melirihkannya sampai tidak terdengar olehmu. – selesai – Maqālah Imām Syāfi‘ī.
[فَائِدَةٌ]: قَالَ شَيْخُنَا: أَمَّا الْمُبَالَغَةُ فِي الْجَهْرِ بِهِمَا فِي الْمَسْجِدِ بِحَيْثُ يَحْصَلُ تَشْوِيْشٌ عَلَى مُصَلٍّ فَيَنْبَغِيْ حُرْمَتُهَا.
(Fā’idah) Guru kita berkata: Terlalu keras dalam berdzikir dan berdoa di dalam masjid sekira mengganggu terhadap orang yang shalat sebaiknya hukumnya haram.
[فُرُوْعٌ]: يُسَنُّ اِفْتِتَاحُ الدُّعَاءِ بِالْحَمْدِ للّهِ وَ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ، وَ الْخَتْمُ بِهِمَا وَ بِآمِيْنَ. وَ تَأْمِيْنُ مَأْمُوْمٍ سَمِعَ دُعَاءِ الْإِمَامِ، وَ إِنْ حَفَظَ ذلِكَ. وَ رَفْعُ يَدَيْهِ الطَّاهِرَتَيْنِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، وَ مَسْحُ الْوَجْهِ بِهِمَا بَعْدَهُ. وَ اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةِ حَالَةَ الذِّكْرِ أَوِ الدُّعَاءِ، إِنْ كَانَ مُنْفَرِدًا أَوْ مَأْمُوْمًا. أَمَّا الْإِمَامُ إِذَا تَرَكَ الْقِيَامَ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِيْ هُوَ أَفْضَلُ لَهُ فَالْأَفْضَلُ جَعْلُ يَمِيْنِهِ إِلَى الْمَأْمُوْمِيْنَ وَ يَسَارِه إِلَى الْقِبْلَةِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ لَوْ فِي الدُّعَاءِ. وَ انْصِرَافُهُ لَا يُنَافِيْ نَدْبُ الذِّكْرِ لَهُ عَقِبَهَا لِأَنَّهُ يَأْتِيْ بِهِ فِيْ مَحَلِّهِ الَّذِيْ يَنْصَرِفُ إِلَيْهِ، وَ لَا يَفُوْتُ بِفِعْلِ الرَّاتِبَةِ، وَ إِنَّمَا الْفَائِتُ بِهِ كَمَالُهُ لَا غَيْرُهُ. وَ قَضِيَّةُ كَلَامِهِمْ حُصُوْلُ ثَوَابُ الذِّكْرِ وَ إِن جَهَلَ مَعْنَاهُ، وَ نَظَرَ فِيْهِ الْأَسْنَوِيُّ. وَ لَا يَأْتِيْ هذَا فِي الْقُرْآنِ لِلتَّعَبُّدِ بِلَفْظِهِ فَأُثِيْبَ قَارِئُهُ وَ إِنْ لَمْ يَعْرِفْ مَعْنَاهُ، بِخِلَافِ الذِّكْرِ لَا بُدَّ أَنْ يَعْرِفَهُ وَ لَوْ بِوَجْهٍ. اِنْتَهَى.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk mengawali doa dengan memuji Allah dan shalawat atas Nabi s.a.w. dan mengakhiri dengan keduanya dan dengan amin. Sunnah membaca amin bagi ma’mūm yang mendengar doa sang imām walaupun ma’mūm hafal dengan doa tersebut. Sunnah mengangkat kedua tangan yang suci sejajar dengan kedua pundaknya, mengusap wajah dengan keduanya setelah berdoa, menghadap qiblat saat berdzikir dan doa, jika shalat sendiri atau menjadi seorang ma’mūm. Sedangkan imam, jika tidak beranjak dari tempat shalatnya, maka yang lebih utama baginya adalah menjadikan sisi tubuh sebelah kanannya menghadap ma’mūm dan sisi kirinya menghadap qiblat.Guru kita berkata: Walaupun pada waktu berdoa. Beranjaknya imām tidak menghilangkan kesunnahan dari dzikir baginya setelah itu sebab imām dapat mengerjakan dzikir tersebut di tempat yang dituju. Dzikir tidak hilang kesunnahannya dengan melakukan shalat rawātib, sedang yang hilang hanyalah kesempurnaannya, bukan selain itu. Komentar dari para ‘ulamā’ memberikan pemahaman bahwa pahala dzikir dapat didapat walaupun tidak mengerti ma‘nanya. Imām Asnawī membuat penyamaan hukum dalam masalah ini dan penyamaan ini tidak akan terjadi dalam kasus membaca al-Qur’ān sebab al-Qur’ān memang difungsikan untuk dibuat ibadah bagi pembacanya walaupun tidak mengerti ma‘nanya berbeda dengan masalah dzikir yang diharuskan mengetahui ma‘nanya, walaupun dari satu sisi. – Selesai.
وَ يُنْدَبُ أَنْ يَنْتَقِلَ لِفَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ مِنْ مَوْضِعِ صَلَاتِهِ لِيَشْهَدَ لَهُ الْمَوْضِعُ حَيْثُ لَمْ تُعَارِضْهُ فَضِيْلَةٌ، نَحْوِ صَفٍّ أَوَّلٍ، فَإِنْ لَمْ يَنْتَقِلْ فَصَلَ بِكَلَامِ إِنْسَانٍ. وَ النَّفْلُ لِغَيْرِ الْمُعْتَكِفِ فِيْ بَيْتِهِ أَفْضَلُ إِنْ أَمِنَ فَوْتَهُ، أَوْ تَهَاوُنًا بِهِ، إِلَّا فِيْ نَافِلَةِ الْمُبْكِرِ لِلْجُمْعَةِ، أَوْ مَا سُنَّ فِيْهِ الْجَمَاعَةُ، أَوْ وَرَدَ فِي الْمَسْجِدِ كَالضُّحَى، وَ أَنْ يَكُوْنَ انْتِقَالُ الْمَأْمُوْمِ بَعْدَ انْتِقَالِ إِمَامِهِ.
Disunnahkan untuk berpindah tempat karena melaksanakan shalat fardhu ataupun shalat sunnah dari tempat shalatnya supaya tempat tersebut menjadi saksi baginya sekira tidak menghilangkan fadhīlah semacam shaf awal. Jika tidak mau berpindah tempat, maka pisahlah dengan menggunakan ucapan manusia. Shalat sunnah di rumah bagi selain orang yang i‘tikāf lebih utama – dibanding dilaksanakan di masjid – jika tidak khawatir habisnya waktu atau mengabaikannya, kecuali shalat yang disunnahkan untuk berada di awal waktu di hari Jum‘at, yang disunnahkan berjamā‘ah atau shalat yang Nabi s.a.w. laksanakan di masjid seperti shalat Dhuḥā. Disunnahkan berpindahnya ma’mūm setelah berpindahnya imām.
(وَ نُدِبَ) لِمُصَلٍّ (تَوَجُّهٌ لِنَحْوُ جِدَارٍ) أَوْ عَمُوْدٍ مِنْ كُلِّ شَاخِصٍ طُوْلُ ارْتِفَاعِهِ ثُلُثَا ذِرَاعٍ فَأَكْثَرَ. وَ مَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ عَقِبِ الْمُصَلِّيْ ثَلَاثَةُ أَذْرُعٍ فَأَقَلَّ، ثُمَّ إِنْ عَجِزَ عَنْهُ (فَــــ) لِنَحْوِ (عَصًا مَغْرُوْزَةً) كَمَتَاعٍ، (فَـــــ) إِنْ لَمْ يَجِدْهُ نُدِبَ (بَسْطُ مُصَلًّى) كَسَجَّادَةٍ، ثُمَّ إِنْ عَجِزَ عَنْهُ خَطَّ أَمَامَهُ خَطًّا فِيْ ثَلَاثَةِ أَذْرُعٍ عَرْضًا أَوْ طُوْلًا، وَ هُوَ أَوْلَى، لِخَبَرِ أَبِيْ دَاودَ: “إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ أَمَامَ وَجْهِهِ شَيْئًا، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ”. وَ قِيْسَ بِالْخَطِّ الْمُصَلَّى، وَ قُدِّمَ عَلَى الْخَطِّ لِأَنَّهُ أَظْهَرُ فِي الْمُرَادِ. وَ التَّرْتِيْبُ الْمَذْكُوْرُ هُوَ الْمُعْتَمَدُ، خِلَافًا لِمَا يُوْهِمهُ كَلَامُ ابنُ الْمُقْرِيِّ. فَمَتَى عَدَلَ عَنْ رُتْبَةٍ إِلَى مَا دُوْنَهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَيْهَا كَانَتْ كَالْعَدَمِ. وَ يُسَنُّ أَنْ لَا يَجْعَلَ السُّتْرَةَ تَلْقَاءَ وَجْهِهِ بَلْ عَنْ يَمِيْنِهِ أَوْ يَسَارِهِ، وَ كُلُّ صَفٍّ سُتْرَةٌ لِمَنْ خَلْفَهُ إِنْ قَرُبَ مِنْهُ. قَالَ الْبَغَوِيُّ: سُتْرَةُ الْإِمَامِ سُتْرَةُ مَنْ خَلْفَهُ. اِنْتَهَى.
(Disunnahkan) bagi seorang yang shalat (untuk menghadap sejenis dinding) atau tiang ya‘ni dari setiap perkara yang tampak dengan tinggi 2/3 hasta lebih, dan jarak antara dinding dengan tumit orang shalat 3 hasta ke bahwa. Lantas jika tidak mampu dari sejenis dinding, maka dengan sejenis tongkat yang ditancapkan seperti perkakas. Jika tidak menemukannya, maka disunnahkan membentangkan tempat shalat seperti sajadah, lantas jika tidak mampu maka menggaris di depannya dengan panjang dan lebar 3 hasta. Menggaris dengan memanjang ini lebih utama dibanding melebar sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd: Ketika salah satu di antara kalian shalat, maka jadikanlah di depan wajah kalian sesuatu, jika tidak ditemukan, maka tegakkanlah tongkat, jika ia tidak membawa tongkat, maka garislah, kemudian tidak akan membahayakan sesuatu yang melintas di depannya. Disamakan dengan garis adalah tempat shalat, dan ia lebih didahulukan dari pada garis sebab tempat shalat seperti sajadah tersebut lebih jelas dari yang dikehendaki. Tartib yang telah disebutkan adalah pendapat yang mu‘tamad, berbeda dengan pendapat dari pemahaman komentar Imām Ibn-ul-Muqrī. Jika seseorang beralih dari penggunaan tingkat teratas menuju tingkat sebawahnya besertaan mampu untuk tingkat teratas tersebut, maka penggunaan itu dianggap seperti tidak ada. Disunnahkan untuk tidak menjadikan sutrah atau penghalang tepat di depan wajahnya, namun jadikanlah di samping kanan atau kirinya. Setiap barisan merupakan sutrah bagi orang yang berada di belakangnya jika jaraknya dekat. Imām Baghawī menyatakan: Sutrah-nya imām adalah sutrah-nya ma’mūm yang ada di belakangnya. – Selesai – .
وَ لَوْ تَعَارَضَتِ السُّتْرَةُ وَ الْقُرْبُ مِنَ الْإِمَامِ أَوِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ فَمَا الَّذِيْ يُقَدَّمُ؟ قَالَ شَيْخُنَا: كُلٌّ مُحْتَمَلٌ وَ ظَاهِرُ قَوْلِهِمْ يُقَدَّمُ الصَّفُّ الْأَوَّلُ فِيْ مَسْجِدِهِ وَ إِنْ كَانَ خَارِجَ مَسْجِدِهِ الْمُخْتَصِّ بِالْمُضَاعَفَةِ تَقْدِيْمُ نَحْوِ الصَّفِّ الْأَوَّلِ. اِنْتَهَى.
Jikalau terjadi pertentangan di antara sutrah dengan dekat terhadap imām atau dengan barisan awal maka manakah yang harus didahulukan? Guru kita mengatakan: Semuanya masih mungkin benar dan kejelasan komentar para ‘ulamā’ yang lebih mendahulukan barisan awal di masjid Nabi s.a.w., walaupun barisan awal itu berada di luar masjid yang ditertentukan dengan berlipat pahalanya menyimpulkan lebih didahulukannya semacam barisan awal. – Selesai – .
وَ إِذَا صَلَّى إِلَى شَيْءٍ مِنْهَا فَيُسَنُّ لَهُ وَ لِغَيْرِهِ دَفْعُ مَارٍّ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ السُّتْرَةِ الْمُسْتَوْفِيَةِ لِلشُّرُوْطِ، وَ قَدْ تَعَدَّى بِمُرُوْرِهِ لِكَوْنِهِ مُكَلَّفًا. وَ يَحْرُمُ الْمُرُوْرُ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ السُّتْرَةِ حِيْنَ يُسَنُّ لَهُ الدَّفْعُ، وَ إِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَارُّ سَبِيْلًا مَا لَمْ يُقَصِّرْ بِوُقُوْفٍ فِيْ طَرِيْقٍ أَوْ فِيْ صَفٍّ مَعَ فُرْجَةٍ فِيْ صَفٍّ آخَرَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلِدَاخِلٍ خَرْقَ الصُّفُوْفِ وَ إِنْ كَثُرَتْ حَتَّى يَسُدَّهَا.
Ketika seseorang shalat dengan sesuatu dari sutrah tersebut, maka disunnahkan baginya untuk mencegah orang yang lewat di antara dirinya dan sutrah yang memenuhi persyaratan, dan orang tersebut telah ceroboh dengan lewat di depan orang yang shalat sebab dirinya adalah orang mukallaf. Haram untuk lewat di antara orang yang shalat dan sutrah-nya saat disunnahkan baginya untuk menolak yang lewat walaupun tidak menemukan jalan selama ia tidak ceroboh dengan shalat di jalan atau berada di barisan padahal masih ada tempat kosong di barisan lain atau di depannya. Maka bagi seorang yang masuk boleh untuk menerobos barisan walaupun sangat banyak sampai ia menutup tempat kosong
(وَ كُرِهَ فِيْهَا) أَيِ الصَّلَاةِ، (اِلْتِفَاتٌ) بِوَجْهٍ بِلَا حَاجَةٍ. وَ قِيْلَ: يَحْرُمُ. وَ اخْتِيْرَ لِلْخَبِرِ الصَّحِيْحِ: “لَا يَزَالُ اللّهُ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ فِيْ مُصَلَّاهُ أَيْ بِرَحْمَتِهِ وَ رِضَاهُ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا الْتَفَتَ أَعْرَضَ عَنْهُ”. فَلَا يُكْرَهُ لِحَاجَةٍ، كَمَا لَا يُكْرَهُ مُجَرَّدُ لَمْحِ الْعَيْنِ (وَ نَظَرٌ نَحْوِ سَمَاءٍ) مِمَّا يُلْهِيْ، كَثَوْبٍ لَهُ أَعْلَامٌ لِخَبَرِ الْبُخَارِيِّ: “مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِيْ صَلَاتِهِمْ”. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِيْ ذلِكَ حَتَّى قَالَ: “لِيَنْتَهُنَّ عَنْ ذلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارَهُم”. وَ مِنْ ثَمَّ كُرِهَتْ أَيْضًا فِيْ مُخَطَّطٍ أَوْ إِلَيْهِ أَوْ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يَخِلُّ بِالْخُشُوْعِ.
(Dimakruhkan) di dalam shalat (menolehkan) wajah tanpa ada hajat, sebagian pendapat menghukumi haram dan pendapat tersebut dipilih sebab ada sebuah hadits yang shaḥīḥ: Allah akan selalu memperhatikan terhadap hamba-Nya di tempat shalat – maksudnya dengan rahmat dan ridha-Nya. – selama hamba tersebut tidak menoleh, maka jika hamba tersebut menoleh, maka Allah-pun akan berpaling dari hamba tersebut. Tidak dimakruhkan bila ada hajat seperti tidak dimakruhkannya sekedar lirikan mata. (Makruh melihat semacam langit) ya‘ni dari setiap hal yang dapat melupakan seperti baju yang bergambar sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī: “Bagaimana keadaan para kaum yang mengangkat pandangan matanya ke langit saat shalat!” lantas Rasūl s.a.w. mempertajam sabdanya itu sampai Rasūl bersabda: “Sebaiknya mereka menghentikan hal itu atau ingin disambar matanya.” Oleh karena itu, dimakruhkan juga baju yang bergaris-garis di depannya atau yang digunakan untuk shalat sebab hal itu dapat mengganggu kekhusyū‘an.
(وَ بُصَقٌ) فِيْ صَلَاتِهِ، وَ كَذَا خَارِجِهَا، (أَمَامًا) أَيْ قِبَلَ وَجْهِهِ، وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ مَنْ هُوَ خَارِجِهَا مُسْتَقْبِلًا، كَمَا أَطْلَقَهُ النَّوَوِيُّ (وَ يَمِيْنًا) لَا يَسَارً، لِخَبَر الشَّيْخَيْنِ: “إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِيْ رَبَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ، فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَ لَا عَنْ يَمِيْنِهِ، بَلْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ الْيُسْرَى أَوْ فِيْ ثَوْبٍ مِنْ جِهَةِ يَسَارِهِ”. وَ هُوَ أَوْلَى. قَالَ شَيْخُنَا: وَ لَا بُعْدَ فِيْ مَرَاعَاةِ مَلَكِ الْيَمِيْنِ دُوْنَ مَلَكِ الْيَسَارِ إِظْهَارًا لِشَرَفِ الْأَوَّل، وَ لَوْ كَانَ عَلَى يَسَارِهِ فَقَطْ إِنْسَانٌ بَصَقَ عَنْ يَمِيْنِهِ، إِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ أَنْ يُطَأْطِىءَ رَأْسَهُ، وَ يَبْصُقَ لَا إِلَى الْيَمِيْنِ وَ لَا إِلَى الْيَسَارِ. وَ إِنَّمَا يَحْرُمُ الْبِصَاقُ فِي الْمَسْجِدِ إِنْ بَقِيَ جُرْمُهُ لَا إِنِ اسْتُهْلِكَ فِيْ نَحْوِ مَاءِ مَضْمَضَةٍ وَ أَصَابَ جُزْءًا مِنْ أَجْزَائِهِ دُوْنَ هَوَائِهِ. وَ زَعْمُ حُرْمَتِهِ فِيْ هَوَائِهِ وَ إِنْ لَمْ يُصِبْ شَيْئًا مِنْ أَجْزَائِهِ بَعِيْدٌ غَيْر مُعَوَّلٍ عَلَيْهِ، وَ دُوْنَ تُرَابٍ لَمْ يَدْخُلْ فِيْ وَقْفِهِ. قِيْلَ: وَ دُوْنَ حُصُرِهِ، لكِنْ يَحْرُمُ عَلَيْهَا مِنْ جِهَةِ تَقْذِيْرِهَا كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ. اه. وَ يَجِبُ إِخْرَاجُ نَجَسٍ مِنْهُ فَوْرًا عَيْنِيًّا عَلَى مَنْ عَلِمَ بِهِ، وَ إِنْ أَرْصَدَ لِإِزَالَتِهِ مَنْ يَقُوْمَ بِهَا بِمَعْلُوْمٍ، كَمَا اقْتَضَاهُ إِطْلَاقُهُمْ. وَ يَحْرُمُ بَوْلٌ فِيْهِ وَ لَوْ فِيْ نَحْوِ طِشْتٍ. وَ إِدْخَالُ نَعْلٍ مُتَنَجِّسَةٍ لَمْ يَأْمَنِ التَّلْوِيْثَ. وَ رَمْيُ نَحْوِ قَمْلَةٍ فِيْهِ مَيْتَةٍ وَ قَتْلُهَا فِيْ أَرْضِهِ وَ إِنْ قَلَّ دَمُهَا، وَ أَمَّا إِلْقَاؤُهَا أَوْ دَفْنُهَا فِيْهِ حَيَّةً، فَظَاهِرُ فَتَاوِي النَّوَوِيِّ حِلُّهُ، وَ ظَاهِرُ كَلَامِ الْجَوَاهِرِ تَحْرِيْمُهُ، وَ بِهِ صَرَّحَ ابْنُ يُوْنُسٍ. وَ يُكْرَهُ فَصْدٌ وَ حِجَامَةٌ فِيْهِ بِإِنَاءٍ، وَ رَفْعُ صَوْتٍ، وَ نَحْوُ بَيْعٍ وَ عَمْلُ صِنَاعَةٍ فِيْهِ.
(Makruh meludah) di dalam shalat begitu pula di luar shalat (ke arah depan), walaupun orang yang berada di luar shalat tidak menghadap qiblat seperti yang telah dimutlakkan oleh Imām Nawawī (dan ke arah kanan) bukan arah kiri sebab hadits yang diriwayatkan oleh dua guru kita Imām Bukhārī (dan) Muslim: Ketika salah satu di antara kalian berada dalam shalat, maka sungguh ia adalah orang yang sedang berbisik dengan Tuhannya yang Maha Mulia dan Agung, maka janganlah meludah ke arah depan atau kanannya, namun ke arah kiri atau di bawah telapak kaki kiri atau pada baju dari sisi kirinya. Meludah pada baju dari arah kirinya lebih utama. Guru kita berkata: Tidak jauh dari kebenaran dalam menjaga malaikat yang berada di arah kanannya, bukan malaikat arah kiri sebab untuk memperlihatkan kemuliaan malaikat yang awal. Jika manusia hanya berada di arah kirinya, maka meludahlah ke arah kanan ketika tidak mungkin untuk menundukkan kepala dan meludah tidak ke arah kanan dan tidak ke arah kiri. Diharamkannya meludah di masjid hanyalah terjadi jika bentuk ludah itu masih ada, bukan bila telah larut di dalam semacam air berkumur, dan ketika mengenai bagian dari masjid bukan langit-langitnya. Praduga keharaman meludah pada langit-langit masjid walaupun tidak mengenai bagian dari masjid sangat jauh dari kebenaran yang tidak berarti. Tidak haram meludah pada debu yang tidak masuk dalam pewakafan masjid, sebagian pendapat menyatakan: Tidak haram pada tikar masjid, namun hal itu haram dari sisi mengotori masjid seperti yang telah jelas. – Selesai – . Wajib ‘ain hukumnya untuk mengeluarkan najis dari masjid dengan segera bagi orang yang mengetahui najis tersebut walaupun telah ada petugas khusus yang digaji untuk membersihkan najis seperti komentar para ‘ulamā’. Haram kencing di dalam masjid walaupun di dalam semacam wadah, memasukkan sandal yang terkena najis yang tidak aman dari mengenai masjid, melempar semacam kutu yang mati dan membunuh kutu di tanah masjid walaupun darahnya sedikit. Sedangkan melempar kutu atau menguburnya dalam keadaan hidup di dalam masjid dalam Fatāwā Nawawī hukumnya halal, sedang dalam kitab Jawāhir hukumnya haram. Keharaman ini juga telah dijelaskan oleh Imām Yūnus. Dimakruhkan untuk tusuk jarum dan bekam di dalam masjid dengan menggunakan wadah, mengeraskan suara, melakukan transaksi semacam berdagang dan melakukan pertukangan di dalamnya.
(وَ كَشْفُ رَأْسٍ وَ مَنْكِبٍ) وَ اضْطِبَاعٌ وَ لَوْ مِنْ فَوْق الْقَمِيْصَ. قَالَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ: لَا يَرُدُّ رِدَاءَهُ إِذَا سَقَطَ، أَيْ إِلَّا لِعُذْرٍ، وَ مِثْلُهُ الْعَمَامَةَ وَ نَحْوُهَا. (وَ) كُرِهَ (صَلَاةٌ بِمُدَافَعِةِ حَدَثٍ) كَبَوْلٍ وَ غَائِطٍ وَ رِيْحٍ، لِلْخَبَرِ الْآتِيْ، وَ لِأَنَّهَا تُخِلُّ بِالْخُشُوْعِ. بَلْ قَالَ جَمْعٌ: إِنْ ذَهَبَ بِهَا بَطَلَتْ. وَ يُسَنُّ لَهُ تَفْرِيْغُ نَفْسِهِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَ إِنْ فَاتَتِ الْجَمَاعَةُ، وَ لَيْسَ لَهُ الْخُرُوْجُ مِنَ الْفَرْضِ إِذَا طَرَأَتْ لَهُ فِيْهِ، وَ لَا تَأْخِيْرُهُ إِذَا ضَاقَ وَقْتُهُ. وَ الْعِبْرَةُ فِيْ كَرَاهَةِ ذلِكَ بِوُجُوْدِهَا عِنْدَ التَّحَرُّمِ. وَ يَنْبَغِيْ أَنْ يُلْحِقَ بِهِ مَا لَوْ عَرَضَتْ لَهُ قَبْلَ التَّحَرُّمِ فَزَالَتْ وَ عَلِمَ مِنْ عَادَتِهِ أَنَّهَا تَعُوْدُ إِلَيْهِ فِي الصَّلَاةِ. وَ تُكْرَهُ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ أَوْ شَرَابٍ يُشْتَاقُ إِلَيْهِ، لِخَبَرِ مُسْلِمٍ: “لَا صَلَاةَ أَيْ كَامِلَةً بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَ لَا صَلَاةَ وَ هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ أَيِ الْبَوْلُ وَ الْغَائِطُ”.
(Di waktu shalat makruh hukumnya membuka penutup kepala dan pundak), memakai selendang walaupun dari atas baju kurung. Imām Ghazālī mengatakan dalam kitab Iḥyā’-nya: Jangan mengembalikan selendang ketika jatuh. Maksudnya ketika tidak ada ‘udzur. Seperti halnya selendang adalah serban dan sejenisnya. (Dimakruhkan shalatnya seseorang yang menahan hadats) seperti kencing, berak dan kentut sebab hadits Nabi yang akan dipaparkan nanti dan sebab hal itu dapat mengganggu kekhusyū‘an bahkan sebagian ‘ulamā’ mengatakan jika kekhusyū‘an hilang sebab menahan hadats, maka shalatnya batal. Disunnahkan untuk mengosongkan dirinya dari hadats sebelum melaksanakan shalat walaupun kehilangan shalat jamā‘ah. Tidak diperkenankan keluar dari shalat fardhu jika hadats tersebut tiba-tiba terasa akan keluar dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat jika waktu shalat hampir habis. Tolok-ukur dimakruhkannya hal itu adalah adanya hadats sebelum takbīrat-ul-iḥrām dan sebaiknya disamakan dengan waktu itu adalah jikalau hadats tersebut ada sebelum takbīrat-ul-iḥrām kemudian hilang dan secara adat hadats tersebut diketahui akan kembali lagi di waktu shalat. Dimakruhkan shalat di hadapan makanan dan minuman yang disukai sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim: Tidaklah sempurna shalat di hadapan makanan, dan tidaklah sempurna shalat sedang orang yang shalat menahan dua hadats. Maksudnya kencing dan berak.
(وَ) كُرِهَ صَلَاةٌ فِيْ طَرِيْقِ بُنْيَانٍ لَا بَرِّيَّةٍ، وَ مَوْضِعِ مَكْسٍ، وَ (بِمَقْبَرَةٍ) إِنْ لَمْ يَتَحَقَّقْ نَبْشَهَا، سَوَاءٌ صَلَّى إِلَى الْقَبْرِ أَمْ عَلَيْهِ أَمْ بِجَانِبِهِ، كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْأُمِّ. وَ تَحْرُمُ الصَّلَاةُ لِقَبْرِ نَبِيٍّ أَوْ نَحْوَ وَلِيٍّ تَبَرُّكًا أَوْ إِعْظَامًا. وَ بَحَثَ الزَّيْنُ الْعِرَاقِيُّ عَدَمَ كَرَاهَةِ الصَّلَاةِ فِيْ مَسْجِدٍ طَرَأَ دَفْنُ النَّاسِ حَوْلَهُ وَ فِيْ أَرْضٍ مَغْصُوْبَةٍ. وَ تَصِحُّ بِلَا ثَوْبِ كَمَا فِيْ ثَوْبٍ مَغْصُوْبٍ، وَ كَذَا إِنْ شَكَّ فِيْ رِضَا مَالِكِهِ لَا إِنْ ظَنَّهُ بِقَرِيْنَةٍ. وَ فِي الْجِيْلِيِّ: لَوْ ضَاقَ الْوَقْتُ وَ هُوَ بِأَرْضٍ مَغْصُوْبَةٍ أَحْرَمَ مَاشِيًا. وَ رَجَّحَهُ الْغَزِّيُّ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ الَّذِيْ يَتَّجِهُ أَنَّهُ لَا يَجُوْزُ لَهُ صَلَاةُ شِدَّةِ الْخَوْفِ وَ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ التَّرْكُ حَتَّى يَخْرُجَ مِنْهَا، كَمَا لَهُ تَرْكُهَا لِتَخْلِيْصِ مَالِهِ لَوْ أُخِذَ مِنْهُ، بَلْ أَوْلَى.
(Dimakruhkan) shalat di tengah jalan ramai bukan jalan di hutan, di tempat menarik pajak, (di pemakaman). Jika tidak jelas telah digali, baik shalat menghadap maqam, di atasnya atau di sampingnya seperti yang telah dijelaskan dalam al-Umm. Haram shalat di pemakaman Nabi atau semacam wali untuk mencari barakah atau mengagungkan. Imām Zain-ud-Dīn al-‘Irāqī membahas tentang tidak dimakruhkannya shalat di masjid yang di sekitarnya dibangun pemakaman setelah berdirinya masjid, di bumi yang dighashab, namun hukumnya sah tanpa pahala seperti sahnya shalat menggunakan baju ghashaban, begitu pula jika masih ragu kerelaan dengan adanya pertanda. Dalam kitab al-Jailī disebutkan: Jikalau waktu shalat hampir habis sedang dirinya masih berada di tanah yang dighashab, maka baginya harus takbīrat-ul-iḥrām dengan berjalan, dan ini diunggulkan oleh Imām Ghazālī. Guru kita berkata: Yang lebih unggul adalah tidak diperbolehkan shalat dengan cara shalat syiddat-ul-khauf dan wajib baginya untuk meninggalkan shalat sampai ia keluar dari tempat ghashaban tersebut seperti halnya diperbolehkan untuk meninggalkan shalat untuk menyelamatkan harta jikalau harta tersebut diambil darinya bahkan meninggalkan shalat di tanah yang dighasab lebih utama.
Selanjutnya klik disini
1 | 2 |3 |4 |5 |6 |7 | 8 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar